Kisah Dua Kota : Jakarta dan Moskwa
Berkat hubungan baik dengan Uni Soviet, Indonesia memiliki sedikitnya 104 kapal perang di era 1960-an. Ini menempatkan Indonesia sebagai salah satu negara dengan kekuatan laut terbesar di Asia.
Di era 1960-an, Indonesia memiliki sedikitnya 104 kapal perang. Dengan itu, Nusantara dipagari oleh 12 kapal selam, 1 kapal penjelajah, 7 kapal perusak, 7 fregat, 62 kapal perang ukuran kecil, dan kapal tambahan lainnya. Dengan itu pula, Indonesia menjadi salah satu negara dengan kekuatan laut terbesar di Asia.
Sementara hari ini, 60 tahun kemudian, saat ekonomi jauh lebih baik, kekuatan laut Indonesia justru susut. Untuk kapal selam misalnya, dulu Indonesia punya 12 unit. Sekarang, tinggal 4 unit setelah KRI Nanggala 402 tenggelam di perairan utara Pulau Bali, Rabu (21/05/2021).
Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Bagaimana mungkin Indonesia, negara yang saat itu masih ingusan dan kantong kempes, punya kekuatan laut sedemikian besar? Di sinilah kisah dua kota, Jakarta dan Moskwa, menyimpan jawabannya.
Di tahun 1960-an, hubungan Jakarta sebagai ibukota pemerintahan Indonesia dan Moskwa sebagai ibukota pemerintahan Uni Soviet amat dekat. Hubungan itu sedekat tingkah kedua pemimpin negaranya, Soekarno dan Nikita Khrushchev, yang bisa rileks saat pertemuan di Istana Tampak Siring, Kabupaten Gianyar, Bali, 1960.
Hubungan itu sedekat tingkah kedua pemimpin negaranya, Soekarno dan Nikita Khrushchev, yang bisa riles saat pertemuan di Istana Tampak Siring, Kabupaten Gianyar, Bali, 1960.
Hubungan dekat ini tidak dibangun dalam semalam melainkan melalui hubungan diplomasi selama beberapa tahun. Awalnya adalah perjuangan diplomasi Indonesia untuk mendapatkan pengakuan internasional atas kemerdekaan dan kedaulatan pada 1945-1950. Saat itu, hanya beberapa negara yang memberi dukungan. Salah satunya adalah Uni Soviet.
Mengutip catatan Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia (RI), Uni Soviet menyambut baik lahirnya Indonesia sebagai negara merdeka sekaligus mengecam segala bentuk kolonialisme. Hal ini diartikulasikan berkali-kali di berbagai forum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dan organisasi internasional lainnya.
Uni Soviet berulang-kali mengangkat masalah Indonesia, menuntut PBB untuk menghentikan agresi militer Belanda, serta mengimbau dunia internasional untuk mengakui Indonesia sebagai negara merdeka. Ini antara lain diserukan pada pertemuan Dewan Keamanan PBB di London, 21 Januari 1946.
Singkat cerita, hubungan Indonesia dan Uni Soviet semakin dekat hingga akhirnya sepakat membuka hubungan diplomatik pada 25 Januari 1950. Per 16 Mei 1950, kedua negara sepakat membuka kedutaan besar sampai akhirnya terealisasi dan meningkat ke sejumlah kerjasama konkret, termasuk di bidang militer.
Puncak hubungan Indonesia dan Uni Soviet berlangsung pada 1956-1962 yang tecermin dari kunjungan resiprokal pemimpin kedua negara. Presiden Soekarno berkunjung ke Moskwa pada 28 Agustus - 12 September 1956. Tahun berikutnya, giliran Ketua Presidium Uni Soviet Tertinggi K.Y. Voroshilov berkunjung ke Jakarta. Kemudian pada Februari 1960, Perdana Menteri Nikita Khrushchev berkunjung ke Indonesia yang dibalas dengan kunjungan Presiden Soekarno ke Uni Soviet pada Juni 1961.
Selama periode itu, masih merujuk catatan Kementerian Luar Negeri RI, sejumlah kesepakatan penting dicapai, mulai bidang politik, ekonomi, sosial budaya, kemanusiaan, sampai militer. Bentuknya antara lain berupa pengucuran bantuan dana, pembangunan proyek infrastruktur, dan pasokan peralatan militer. Semuanya dari Uni Soviet untuk Indonesia.
Contoh proyek pembangunan infrastruktur misalnya adalah stadion raksasa yang saat ini disebut Gelora Bung Karno, Hotel Indonesia, dan Rumah Sakit Persahabatan. Semuanya di Jakarta. Proyek lainnya adalah pembangunan jalan, jembatan, dan lapangan terbang di sejumlah daerah di Indonesia. Ada pula pembangunan pabrik baja.
Di bidang militer, Indonesia menandatangani kontrak pengadaan peralatan militer oleh Uni Soviet pada 28 Desember 1960. Pengirimannya dilakukan mulai awal 1962. Tak kurang 104 kapal perang dipasok ke Indonesia. Di antaranya adalah 12 kapal selam, 1 kapal penjelajah, 7 kapal perusak, 7 fregat, 62 kapal perang ukuran kecil, dan kapal tambahan lainnya.
Sepaket dengan pasokan mesin perang itu, Uni Soviet juga memberikan pelatihan kepada tentara Indonesia. Pemerhati militer, F Djoko Poerwoko dalam tulisannya di Harian Kompas, 9 September 2009, menceritakan sekelumit kisah tentang pelatihan prajurit yang akan menjadi awak kapal selam buatan Uni Soviet.
Untuk gelombang pertama, Indonesia mengirimkan 110 orang tentara pada Agustus 1958 ke Uni Soviet untuk menjalani pelatihan. Mereka berangkat dari Surabaya dengan kapal laut Heinrich Jensen berbendera Denmark. Setiba di Reijeka, Yugoslavia, rombongan meneruskan perjalanan dengan kereta api ke Polandia lewat Cekoslowakia dan Hongaria secara nonstop.
Selama sembilan bulan di Gdanz, rombongan dilatih oleh prajurit Rusia. Adapun praktik berlayar dilakukan di Laut Baltik.
Setelah menuntaskan pendidikan dan pelatihan, tentara Indonesia diangkut dengan kereta api Trans Siberia selama sembilan hari menuju Vladivostok, lokasi pangkalan kapal selam terbesar Uni Soviet di Pasifik. Di sinilah dua kapal selam kelas Whiskey menunggu untuk dilayarkan ke Indonesia lewat Samudra Pasifik. Dalam pengiriman ke Indonesia, kedua kapal selam tetap berbendera Rusia dengan sebagian besar awaknya adalah tentara Indonesia.
Pada 7 September 1959 sore, dua kapal selam sepanjang 76 meter dengan 12 torpedo merapat di dermaga Surabaya, Jawa Timur. Setelah berlatih lagi selama satu minggu di bawah instruktur Rusia, kedua kapal selam dari Uni Soviet itu resmi masuk jajaran kekuatan Angkatan Laut Republik Indonesia per 12 September 1959 dengan menyandang nama RI Tjakra/S-01 dan RI Nanggala/S-02. Untuk Pendidikan gelombang berikutnya, calon awak buah kapal selam berlatih di Vladivostok.
Kebijakan Bantuan
Bantuan ke Indonesia menjadi bagian dari kebijakan luar negeri Uni Soviet di era Perang Dingin. Pada pertengahan 1950-an, Uni Soviet mulai mengembangkan kebijakan bantuan ke negara-negara miskin-berkembang. Tujuannya untuk bersaing pengaruh dengan AS yang sudah menerapkan kebijakan serupa sejak awal 1950-an menyusul proposal Presiden AS, Harry Truman, yang disampaikan pada pidato pelantikannya di 1949.
Ragna Boden, pakar sejarah hubungan internasional asal Jerman, dalam artikel berjudul, ”Perekonomian Perang Dingin : Bantuan Uni Soviet ke Indonesia,” menyebutkan, Indonesia merupakan satu dari segelintir negara miskin-berkembang yang mendapatkan bantuan dari Uni Soviet dalam skala besar. Dan bukan kebetulan jika perjanjian bilateral sebagai pembuka kran bantuan itu terjadi pada konteks waktu yang amat strategis bagi kedua negara.
Sebagai negara miskin yang baru saja merdeka, Indonesia butuh bantuan untuk membangun sehingga memerlukan suntikan dana. Untuk itu, Soekarno melakoni safari dunia untuk mendapatkan pinjaman dana pada 1956. Dalam kunjungan ke Washington di semester I-1956, proposal Soekarno ditolak oleh Presiden AS, Dwight Eisenhower.
Namun ketika Soekarno mampir ke Uni Soviet, Khrushchev membuka diri dan menawarkan pinjaman lunak. Nilainya 100 juta dollar AS dengan bunga 2,5 persen. Ini merupakan perjanjian bilateral perdana antara Uni Soviet dan Indonesia. Perjanjian bilateral kedua ditandatangani saat Khrushchev mengunjungi Soekarno di Indonesia pada 1960. Kali ini, Uni Soviet menggerojok Indonesia dengan pinjaman lunak senilai 250 juta dollar AS.
Sepanjang 1959-1965, masih merujuk artikel Ragna, Indonesia menerima bantuan dengan skala yang luar biasa dari Uni Soviet. Berdasarkan data berklasifikasi top secret yang dihimpun Gosplan, Uni Soviet memberikan bantuan senilai 789 juta rubel ke Indonesia. Jumlah itu mencakup 21 persen dari total bantuan yang disediakan Moskwa kepada seluruh negara-negara berkembang nonsosialis.
Di Asia Tenggara, Indonesia adalah negara yang mendapatkan bantuan terbesar, mengalahkan Vietnam yang jelas-jelas seideologi dengan Uni Soviet. Sementara dari total bantuan Uni Soviet ke Asia, sepertiganya mengalir ke Jakarta. Mayoritas berupa utang bunga lunak. Di samping motivasi meluaskan pengaruh di era Perang Dingin melawan AS dan negara-negara Barat, Uni Soviet menjalankan kebijakan itu dengan harapan Indonesia bisa mengembalikan utang dalam 12 tahun.
Dari total bantuan Uni Soviet ke Asia, sepertiganya mengalir ke Jakarta. Mayoritas berupa utang bunga lunak.
Perjanjian 1956 dan 1960 adalah tentang kerjasama ekonomi dan teknis. Namun perjanjian itu tidak disertai spesifikasi bentuk pembelanjaan maupun syarat-syarat. Merujuk data Gosplan, total bantuan Uni Soviet ke Indonesia selama periode itu mencapai 789 juta rubel. Senilai 701 juta rubel atau 89 persen dialokasikan untuk militer. Sementara sisanya, 88 juta rubel atau 11 persen, untuk ekonomi.
Bandingan dengan India yang juga mendapatkan bantuan dari Uni Soviet tetapi tidak sebesar Indonesia. Dari total bantuan senilai 470 juta rubel, 442 juta rubel atau 94 persen untuk ekonomi. Sisanya, 28 juta rubel atau 6 persen untuk militer.
Besarnya porsi bantuan untuk militer itu bukan terjadi karena skema yang ditetapkan Uni Soviet melainkan pilihan Soekarno yang saat itu tengah memprioritaskan klaim atas Papua melawan Belanda serta melancarkan konfrontasi dengan Malaysia.
Pilihan ini menyebabkan armada perang Indonesia menjadi kuat. Namun risikonya, ekonomi nasional menjadi ”stunting” karena hanya mendapatkan asupan minimalis di masa ketika butuh banyak ”nutrisi”. Hal ini menjadi salah satu faktor yang akhirnya menyebabkan instabilitas perekonomian Indonesia sampai akhirnya berujung pada pergantian rezim di 1965.
Peristiwa Gerakan 30 September 1965 menjadi akhir kisah mesra dua kota, Jakarta dan Moskwa. Bersama dengan tumbangnya Soekarno, tamat pula hubungan dekat Jakarta dan Moskwa.
Di masa awal Orde Baru, Jakarta tidak lagi dekat dengan Moskwa. Sekali pun tidak sampai putus, tetapi relasi kedua kota tiba-tiba jauh. Di bawah Soeharto, Indonesia mendekat dan lebih dekat dengan AS serta negara-negara Barat. Indonesia bahkan ikut memboikot Olimpiade Musim Panas di Moskwa pada 1980.
Hubungan renggang ini berlangsung bertahun-tahun. Upaya perbaikan baru diinisiasi Soeharto saat mengunjungi Presiden Mikhail Gorbachev di Moskwa, 7-12 September 1989 atau 24 tahun pasca peristiwa 1965. Dalam kesempatan itu, kedua belah pihak menandatangani Pernyataan tentang Dasar-Dasar Hubungan Persahabatan dan Kerjasama antara Indonesia dan Republik-Republik Uni Soviet Sosialis.
Tiga hari setelah Uni Soviet bubar per 25 Desember 1991, Menteri Luar Negeri RI, Ali Alatas, melalui surat kepada Menteri Luar Negeri Rusia, Andrei Vladimirovich Kozyrev, mengakui secara resmi Federasi Rusia sebagai pengganti sah atau legal successor dari Uni Soviet.
Selanjutnya upaya peningkatan hubungan bilateral Indonesia dan Rusia terus dilakukan. Dari pihak Indonesia, ini konsisten ditempuh sepanjang estafet presiden RI, mulai BJ Habibie hingga Joko Widodo. Salah satu yang mutakhir adalah pertemuan virtual tingkat menteri yang menyepakati penghapusan hambatan perdagangan, 3 Maret 2021.
Rusia sejauh ini memang tidak termasuk 10 besar negara mitra dagang Indonesia. Nilai investasi negara itu pun tidak termasuk 10 besar di Indonesia. Namun Rusia adalah lima besar negara eksportir peralatan militer di dunia selain AS, Perancis, Jerman, dan China.
Guna konsisten pada politik luar negeri bebas aktif, penting bagi Indonesia untuk tidak mengonsentrasikan belanja senjata hanya pada salah satu negara produsen mesin perang tersebut. Ini strategis karena pasar senjata beda dengan pasar barang komersial. Dalam pasar senjata, realisasi jual-beli tidak sekadar urusan kecocokan harga melainkan lebih dari itu adalah soal pola hubungan dan posisi politik luar negeri kedua negara.
Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Suharso Monoarfa, Jakarta, Senin (10/05/2021), menyatakan, uang saja tidak cukup untuk membeli persenjataan. Sebab, untuk memutuskan mau menjual atau tidak, negara penjual akan terlebih dahulu melihat profil negara pembeli.
”Teman atau lawan. Teman saja ada tingkatannya. Kalau lawan, pasti tidak dikasih. Bukan lawan saja, kalau tidak benar-benar teman baik, juga belum tentu dikasih. Ini sudah menjadi praktek umum dalam jual-beli senjata di berbagai negara selama ini,” kata Suharso.
Proposal pembelian persenjataan oleh Indonesia, menurut Suharso, berkali-kali ditolak oleh negara tertentu. Pengalaman ini semakin menegaskan bahwa membangun sistem pertahanan dan ketahanan nasional itu bukan sekadar urusan memperkuat sistem persenjataan dan tentara nasional tetapi juga menyangkut kebijakan diplomasi Indonesia di panggung internasional. Pemahaman ini penting untuk mendudukkan diskusi penguatan sistem pertahanan dan keamanan negara yang menghangat pasca tenggelamnya KRI Nanggala 402.
Politik luar negeri Indonesia, berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, sekali lagi adalah bebas aktif. Terdengar ideal dan sempurna. Namun tantangan sebenarnya adalah mendefinisikannya pada kebijakan luar negeri yang konkret dengan jangkar kepentingan domestik dan global yang rasional, aktual, dan berkelanjutan.
”Suatu negara yang mensyaratkan kesempurnaan moral dalam kebijakan luar negerinya tidak akan memperoleh kesempurnaan maupun keamanan.” Demikian kata Henry Kissinger, menteri luar negeri AS 1973-1977. Apa iya? Atau tidak? Atau bagaimana?
Yang pasti, di tahun kedua pandemi ini, dunia tengah menuju tatanan baru yang masih samar-samar rezimnya. Sejumlah perubahan besar dan kompetisi sengit kemungkinan akan terjadi. Dalam koridor itu, Jakarta dan Moskwa tetaplah dua mitra yang berkepentingan untuk terus menjalin hubungan baik.
Maka ketika mendengar KRI Nanggala 402 tenggelam pada 21 April lalu, sahabat lama itu menyapa. Melalui akun Facebook Kedutaan Besar Rusia di Indonesia per 26 April 2021 pukul 20.00, Presiden Vladimir Putin menyampaikan bela sungkawa kepada Presiden Jokowi. Putin juga memohon agar simpatinya diteruskan kepada keluarga dan sahabat dari 53 tentara yang gugur.
Inilah sekelumit kisah dua kota ; Jakarta dan Moskwa. Tahun ini, hubungan berjarak 9.310 kilometer itu memasuki tahun ke-71. Dua sahabat lama selalu punya kesempatan untuk bernostalgia, tetapi sekarang waktunya menuliskan cerita tentang hari-hari baru dan kemungkinan-kemungkinan baru. (FX LAKSANA AS)