Filipina Mengayun di Antara Dua Raksasa, AS dan China
Setelah bersikap keras, Presiden Filipina Rodrigo Duterte berbalik 180 derajat kepada China soal Laut China Selatan. Filipina ingin berhubungan baik dengan China, tetapi juga tetap menggandeng Amerika Serikat.
Presiden Filipina Rodrigo Duterte tiba-tiba melunak setelah bersuara sangat keras mengecam sepak terjang China di Laut China Selatan. Dia mengimbau semua anggota kabinetnya dan pejabat pemerintah untuk tidak lagi berbicara secara terbuka dan keras terkait isu tersebut.
"Ini perintah saya sekarang kepada kabinet dan semua orang yang berbicara untuk pemerintah. Semua pihak agar menahan diri untuk tidak membahas Laut Filipina Barat dengan siapa pun," kata Duterte dalam pidato nasional seperti dilaporkan Reuters, Senin (17/5/2021) malam.
Manila menyebut Laut China Selatan sebagai Laut Filipina Barat. "Kalau bicara, bicaralah hanya di antara kita," kata Duterte kepada para pejabat merujuk isu Laut China Selatan.
Duterte bahkan kembali menyalahkan pemerintahan Presiden Benigno "Noynoy" Aquino III karena menarik diri dari konflik dengan China pada 2012 di Karang Scarborough atau Gosong Panatag. Saat itu Filipina tidak mengusir kapal China, tetapi sebaliknya mundur. Kapal China pun tak beranjak dari sana. Padahal seharusnya dapat dibuat kesepakatan bersama bagi kedua belah pihak untuk sama-sama mundur dari Panatag.
Hanya dalam tiga hari sikap Duterte berubah drastis. Sebelumnya, Jumat (14/5), dia dalam pidato yang disiarkan televisi nasional mengecam China. Dia bahkan mengatakan tidak takut mati menghadapi China. Filipina takkan mundur satu inci pun menghadapi China di perairan sengketa di Laut China Selatan dan akan membangun Pulau Thitu menjadi pusat logistik militernya.
Baca juga: Pulau Thitu Jadi Pusat Logistik, Militer Filipina Siap Menghadapi China
Militer dan otoritas penjaga pantai Filipina pun meningkatkan patroli di Laut China Selatan. Manila mengumumkan rencana untuk memasang kamera pengintai di titik-titik tertentu.
”Kami memiliki pendirian di sini. Saya ingin menegaskan, kapal kami di Pagasa dan di wilayah lain takkan mundur satu inci pun. Kalian bisa membunuh saya, tapi di sinilah saya tinggal. Di sini pula persahabatan kita akan berakhir,” kata Duterte seperti dikutip South China Morning Post.
Dalam pidatonya pada Jumat lalu itu, Duterte menolak seruan Beijing untuk menarik kapal dari wilayah sengketa di Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Filipina, termasuk Pulau Thitu atau Pagasa menurut Filipina, Zhongye Dao menurut China, dan Dao Thi Tu menurut Vietnam. Namun, nada Duterte tiba-tiba melunak pada Senin karena “tidak mampu melawan China” tulis The Philippine Star (Philstar), Selasa (18/5).
Di ZEE yang luasnya 200 mil laut dari garis dasar pantai, suatu negara pantai memiliki hak atas kekayaan alam di dalamnya. Negara itu juga berhak menggunakan hukum, kebebasan navigasi, terbang di atas wilayah udara, dan aktivitas lain, seperti memasang kabel dan pipa. Pada titik inilah Duterte menilai seruan China terhadap kapal Filipina absurd.
Sikap keras Manila terhadap Beijing sebenarnya sudah berjalan sejak Maret lalu. Duterte saat itu berang setelah mendapat laporan bahwa 220 kapal China yang diawaki milisi berbaris memasuki perairan ZEE Filipina di sekitar Whitsun Reef. Amerika Serikat (AS) pun menyokong Filipina.
Kedutaan Besar AS di Manila menyatakan, AS mendukung seruan Filipina yang mendesak kapal-kapal China agar segera meninggalkan kawasan sekitar Whitsun Reef atau Karang Julian Felipe menurut Filipina, Niu e Jiao (China), Da Ba Dau (Vietnam). Karang itu terletak di barat kota Bataraza, Provinsi Palawan. China mengabaikan seruan itu.
AS menuduh China mengerahkan milisi maritim untuk mengintimidasi, memprovokasi, dan mengancam negara lain. Tindakan itu dinilai merusak perdamaian dan keamanan kawasan. Menteri Pertahanan Filipina Delfin Lorenzana mengatakan, kehadiran kapal-kapal China merupakan provokasi nyata atas militerisasi kawasan. Dia mendesak China agar menarik lagi kapal-kapal itu.
Baca juga: Filipina Kehilangan Kesabaran pada China
Dalam perkembangannya, pada pertengahan April lalu, AS-Filipina sepakat memperkuat kerja sama pertahanan. Seperti dilaporkan The Straits Times, Menteri Pertahanan AS Lloyd Austin dan Menhan Filipina Delfin Lorenzana membahas situasi yang berkembang di Laut China Selatan. Austin mengusulkan perlunya peningkatan kesadaran situasional terkait ancaman di kawasan.
Upaya memperkuat kerja sama pertahanan AS-Filipina kemudian diikuti dua nota protes diplomatik baru dari Pemerintah Filipina ke Beijing. Hal itu dilakukan karena petugas penjaga laut dan pantai Filipina masih melihat “kehadiran dan aktivitas tidak sah yang terus berlanjut” oleh 160 kapal ikan dan milisi China di Kepulauan Spratly dan Karang Scarborough pada 20 April.
Agresif
Konflik maritim di Laut China Selatan dalam setidaknya lima tahun terakhir terus meningkat seiring kehadiran ekspansif China yang juga kian agresif. Tampaknya Beijing sadar betul, dengan mengamankan dan menguasai laut, maka China akan menguasai dunia. Sebab, laut berperan penting baik dari sisi keamanan, ekonomi, maupun politik.
Sekalipun demikian, tetap dibutuhkan sebuah landasan yang kuat terhadap penentuan batas maritim antarnegara. Batas maritim tidak bisa hanya berdasarkan klaim historis yang tidak memiliki basis hukum internasional, seperti yang dilakukan China. Basisnya adalah Konvensi PBB tentang Hukum Laut (UNCLOS) 1982, sebuah perjanjian internasional yang mengatur tentang dasar hukum untuk hampir semua aktivitas dan persoalan tentang kelautan.
Aktivitas itu, misalnya, tentang pengaturan zona-zona maritim dengan status hukum yang berbeda-beda, penetapan rezim negara kepulauan, dan pemanfaatan dasar laut. Begitu pula tentang pengaturan hak lintas bagi kapal, perlindungan lingkungan laut, pelaksanaan riset ilmiah kelautan, pengelolaan perikanan, dan penyelesaian sengketa.
Selain sebagai suatu perangkat hukum laut, UNCLOS 1982 ini sangat penting karena mencerminkan hasil usaha masyarakat internasional untuk mengodifikasikan ketentuan-ketentuan hukum internasional yang telah ada. Di samping itu hukum laut juga menggambarkan suatu perkembangan yang progresif dalam hukum internasional.
Baca juga: Amerka Serikat Dukung Filipina Terkait Isu Laut China Selatan
Beijing mengklaim sebagian besar Laut China Selatan, jalur perdagangan internasional bernilai total sekitar 5 triliun dollar AS setiap tahun. Klaim China itu didasarkan pada peta lama "sembilan garis putus-putus" (nine-dash-line), yang pertama kali ditulis pada peta China pada 1947.
Garis putus-putus pada peta China kehilangan dua tanda hubungnya pada 1952. Pemimpin China saat itu, Mao Zedong, mengklaim Teluk Tonkin di Vietnam masuk wilayahnya.
Klaim sepihak China itu digugat Manila ke Pengadilan Arbitrase Internasinal (PCA) di Den Haag, Belanda, pada 2013 setelah terjadi sengketa di Karang Scarborough; Filipina menyebutnya Gosong Panatag. Filipina memasukkan Scarborough ke wilayahnya karena memang pulau karang itu berada dalam perairan ZEE Filipina.
Pada Juli 2016, PCA memutuskan bahwa klaim China, yang didasarkan pada peta lama itu ilegal. PCA memutuskan demarkasi "sembilan garis putus-putus" tidak dapat digunakan Beijing untuk mengajukan klaim Laut China Selatan karena tak sejalan dengan hukum laut internasional atau UNCLOS.
Terasa janggal, jika Duterte kini kembali mengecilkan putusan PCA itu dan mengatakan tidak berarti lagi. Sejak menjabat pada tahun 2016, Duterte memang telah berusaha membina hubungan yang lebih hangat dengan China. Duterte mengesampingkan perselisihan teritorial dengan imbalan janji Beijing atas miliaran dollar dalam bentuk pinjaman, bantuan, dan investasi.
“Duterte kembali mengecilkan putusan PCA yang diajukan Filipina pada 2013, dengan mengatakan (putusan) itu menjadi tidak berarti,” tulis Philstar merujuk video rekaman pertemuan Duterte dan para petinggi terkait, Senin (17/5) malam.
Padahal keputusan PCA yang berlandaskan hukum laut internasional pada Juli 2016 itu memenangkan Filipina. Pemerintah China yang menolak dan tidak mengindahkan semua amar putusannya. “Putusan pengadilan takkan memengaruhi kedaulatan teritorial dan hak berlayar China di Laut Cina Selatan,” kata Presiden Xi Jinping, seperti dilansir BBC, saat itu.
Baca juga: Pantau Kapal Nelayan China, Filipina Kerahkan Pesawat Tempur
Metode yang digunakan PCA adalah yuridis normatif dan merujuk hukum internasional, yakni UNCLOS 1982. China disebutkan telah melanggar hak-hak kedaulatan Filipina dan menyebabkan \'kerusakan parah pada lingkungan terumbu karang\' dengan membangun pulau buatan.
PCA menekankan semua pihak, termasuk China, agar mematuhi keputusan itu. Namun, China tidak mematuhinya. Hanya, kemudian PBB tidak dapat menegakkannya kembali, ditambah lagi China dapat memveto keputusan apa pun di PBB.
Beberapa pakar mengatakan, putusan PCA yang tidak dieksekusi PBB sebenarnya menjadi sarana menekan China untuk lebih fleksibel dan menerima keputusan tersebut. Dengan sikap China yang tidak menerima keputusan PCA, Filipina sebenarnya bisa membawa kasus ini ke Pengadilan Internasional untuk Hukum Laut (ITLOS) yang merupakan pengadilan independen Hukum Laut Internasional.
Keputusan ITLOS biasanya bersifat final dan mengikat para pihak yang bersengketa. Lembaga ini juga mewajibkan para pihak untuk mematuhi keputusan tersebut. Sengketa Laut China Selatan pun dapat diselesaikan secara damai dan tidak menimbulkan dampak negatif bagi China dan Filipina.
Sejak Beijing mengangkangi putusan PCA, Juli 2016, kehadiran militer China justru menguat di Laut China Selatan. Pembangunan infrastruktur pendukung, baik untuk kepentingan sipil maupun militer, termasuk radar pengintai, pangkalan militer, dan pengembangan wilayah administratif China, dilaporkan maju pesat.
Baca juga: Filipina Kembali Ajukan Protes ke China soal Laut China Selatan
Bermain ayunan
Duterte seperti sedang bermain ayun-ayunan di antara dua raksasa, China dan AS. Sesekali kakinya diayunkan ke China sambil bermain mata dengan AS. Namun, Manila juga pernah mengatakan ingin menendang AS, mitra tradisionalnya, keluar dari persahabatan mereka dan menjaga hubungan baik dengan China.
Presiden Duterte dan mantan Senator Juan Ponce Enrile, Senin malam kemarin, secara bergiliran menekankan bahwa Filipina terlalu lemah untuk menggunakan putusan PCA 2016. Filipina tidak mampu memusuhi China.
"Sayangnya kami tidak berada di pihak yang kuat sehingga kami tidak dapat melakukan apa pun karena karena kami tidak memiliki kekuatan yang seimbang. Jadi, kami harus bicara, hanya berbicara dan berbicara," kata Duterte seperti dilaporkan Philstar.
Peningkatan kemampuan militer Filipina berjalan lambat, meskipun baru-baru ini ada akuisisi kapal baru untuk memperkuat Angkatan Laut. “Kita bisa eksis di kawasan ini. Kita, secara realistis, tidak bisa mengabaikan China," kata Enrile.
Menurut Enrile, Filipina harus tetap berhubungan dengan China daripada menjadikan China sebagai musuh. "Mengapa kita tidak berteman dengan China tanpa menyerahkan hak-hak kita? Kita berteman China karena kita orang Timur, kita memahami satu sama lain," kata Enrile.
Sementara Duterte mengatakan, Filipina sekarang memiliki "hubungan terbaik" dengan China. Dia menambahkan, China sekarang "mengizinkan" nelayan Filipina untuk mengakses Panatag, tidak mengusir mereka dengan tembakan meriam air. Duterte tidak akan menyia-nyiakan hubungan hangat yang telah berjalan baik dengan Beijing.
Pada awal Meli lalu, Menteri Luar Negeri Filipina Teodoro Locsin Jr mengecam China dengan bahasa non-diplomatik di Twitter. Ia mengusir China dengan kalimat "Get The Fuck Out". Ia memang terkenal vokal mengkritik Beijing.
Locsin mengatakan, "Pembicaraan diplomatik yang ramah tak membuahkan hasil". Dia pun menyamakan China dengan "orang bodoh dan jelek yang kerap memaksakan kehendak pada pria tampan yang hanya ingin jadi teman".
Kini para menteri kabinet Duterte "dibungkam" untuk tidak lagi berbicara keras atau mengecam China. Filipina ingin berteman baik dengan China sekaligus dengan AS. (AFP/REUTERS/AP)