Militer Junta Menggempur, Ribuan Warga Myanmar Bersembunyi di Hutan
Ribuan warga Negara Bagian Chin, yang mengungsi dan bersembunyi di hutan-hutan, kini kekurangan bahan makanan. Mereka tak bisa kembali ke kota karena akses masuk kota ditutup dan dijaga ketat oleh aparat militer junta.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
YANGON, SELASA — Sedikitnya 5.000-8.000 warga kota Mindat, Negara Bagian Chin, Myanmar, bersembunyi di hutan, desa, dan perbukitan untuk menghindari serangan aparat militer junta. Aparat junta memasuki kota setelah berhari-hari menekan kelompok milisi setempat dengan serangan udara dan darat.
Ribuan warga itu kini kekurangan bahan makanan. Mereka tak bisa kembali ke kota karena akses masuk kota ditutup dan dijaga ketat oleh aparat militer.
Junta militer Myanmar memberlakukan status darurat militer di Mindat, Kamis lalu, sebelum militer menyerang wilayah itu dengan helikopter dan artileri untuk melumpuhkan kelompok milisi Pasukan Pertahanan Chinland. ”Hampir semua orang meninggalkan kota dan bersembunyi,” kata salah seorang anggota milisi yang bersembunyi di hutan, Senin (17/5/2021).
Banyak perempuan dan anak-anak juga ikut bersembunyi. Mereka berjalan kaki melewati jalanan yang berbatu dan berbukit-bukit sambil membawa selimut, beras, dan peralatan memasak. Ada lokasi persembunyian para warga yang ditembaki aparat militer ketika mereka melihat ada asap dari api yang digunakan untuk memasak. ”Kami terpaksa pindah-pindah tempat sembunyi terus supaya tidak ketahuan,” kata salah seorang warga.
Banyak warga kemudian ditangkap saat mereka hendak masuk kota lagi untuk mencari bahan makanan. Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak (Unicef) meminta junta militer menjamin keamanan anak-anak di Mindat. Kelompok-kelompok bantuan kemanusiaan yang bisa berkomunikasi langsung dengan warga Mindat meminta bantuan bahan makanan, pakaian, dan obat-obatan melalui media sosial.
Sanksi
Komunitas internasional juga mendesak junta militer menghentikan penggunaan persenjataan terhadap warga sipil. Untuk menekan junta militer, Amerika Serikat, Inggris, dan Kanada menjatuhkan sanksi lagi terhadap individu dan pengusaha yang terkait dengan junta militer. AS menjatuhkan sanksi pada empat anggota Dewan Pemerintahan Negara (SAC) dan sembilan pejabat junta militer, termasuk gubernur bank pusat dan kepala komisi pemilu bersatu yang ditunjuk oleh junta militer.
Seluruh aset mereka di AS dibekukan. Warga AS juga tidak diperbolehkan berurusan dengan mereka. Adapun Inggris menjatuhkan sanksi pada perusahaan milik negara, Myanmar Gems Enterprise.
Menteri Luar Negeri AS, Antony Blinken menilai, sanksi diberikan karena junta militer tampaknya tidak berusaha memulihkan Myanmar ke jalur demokrasi. Ia mendorong negara-negara lain untuk melakukan hal yang sama, termasuk embargo persenjataan dan mengakhiri kerja sama perdagangan dengan junta militer.
Kelompok-kelompok milisi di Chin, yang merupakan bagian dari Pasukan Pertahanan Rakyat, bentukan pemerintah bayangan Myanmar berulang kali meminta bantuan dari komunitas internasional. Pemerintah bayangan juga meminta semua kelompok milisi untuk beroperasi dalam satu komando dan kendali sepenuhnya dari pemerintah bayangan.
”Tentara menjarah rumah-rumah warga, lalu semua dibakar. Banyak warga di kota terluka karena ditembak,” kata warga Mindat, Salai (24).
PBB tunda resolusi
Namun, permintaan bantuan dari rakyat Myanmar itu tampaknya masih harus menunggu lama. Pasalnya, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa menunda pembahasan rancangan resolusi terkait Myanmar. Sedianya resolusi yang akan meminta penghentian transfer persenjataan dan amunisi ke junta militer itu akan dibahas pada hari Selasa. Sejumlah diplomat di PBB mengaku penundaan pembahasan itu dilakukan untuk mengumpulkan dukungan yang lebih banyak.
Rancangan resolusi Majelis Umum PBB itu meminta junta militer Myanmar mengakhiri status darurat, menghentikan kekerasan terhadap pengunjuk rasa, dan menghormati aspirasi rakyat dalam hasil pemilu, November lalu. Resolusi dari Majelis Umum PBB ini memang tidak mengikat, seperti resolusi Dewan Keamanan PBB, tetapi tetap signifikan secara politik. Di Majelis Umum PBB tidak ada negara anggota yang memiliki hak veto, seperti di DK PBB.
Jika resolusi Majelis Umum PBB ini diadopsi, hal itu bisa mendesak junta militer untuk memperbolehkan Utusan Khusus PBB untuk Myanmar, Christine Schraner Burgener, masuk ke Myanmar dan implementasi hasil konsensus KTT ASEAN.
Belum ada respons dari junta militer terkait serangan mereka terhadap warga Mindat. Namun, dalam siaran stasiun pemerintah, MRTV, disebutkan bahwa aparat militer hanya menyerang untuk membalas serangan dari kelompok perlawanan di Mindat dan daerah-daerah lain di Chin. Sejauh ini, sedikitnya 790 orang tewas sejak kudeta militer, 1 Februari lalu. (REUTERS/AFP)