Jajak Pendapat Penduduk Jepang Ungkap Penolakan Olimpiade 2021
Sejumlah media arus utama di Jepang membuat jajak pendapat terkait penyelenggaraan Olimpiade Tokyo. Sebagian besar responden menginginkan olimpiade ditunda atau dibatalkan.
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
TOKYO, SELASA – Jajak pendapat yang dilakukan oleh sejumlah media arus utama Jepang menunjukkan bahwa mayoritas penduduk Negara Matahari Terbit menginginkan Olimpiade 2021 dibatalkan, atau setidaknya ditunda. Jepang tengah mengalami gelombang keempat pandemi Covid-19 sehingga masyarakat menilai tidak masuk akal memaksakan diri menyelenggarakan pesta olahraga dunia di saat seperti ini.
Jajak pendapat terkini dilakukan surat kabar Asahi Shimbun dengan 1.527 responden. Dari poling itu terungkap 43 persen responden menginginkan pembatalan Olimpiade dan 40 persen menginginkannya ditunda. Hanya 14 persen yang menyatakan setuju agar Olimpiade tetap dilangsungkan pada tanggal 23 Juli, sisa responden mengatakan ragu-ragu atau tidak menjawab.
Demikian pula dengan survey yang dilakukan oleh surat kabar Yomiuri Shimbun, stasiun berita Kyodo News, dan TBS News menunjukkan sikap serupa dari responden. Dalam jajak pendapat oleh Kyodo News, 59 persen responden meminta pembatalan Olimpiade. Meskipun begitu, 87,7 persen responden mengaku khawatir kedatangan para atlet, pelatih, dan staf akan meningkatkan risiko kasus impor.
Di Tokyo, sejumlah unjuk rasa terjadi di depan kantor perdana menteri dan di depan gedung Komite Olimpiade Jepang. Penolakan juga diungkapkan kepada pemerintah melalui petisi daring yang digagas oleh Kenji Utsunomiya, seorang pengacara asal Tokyo. Petisi itu telah mengumpulkan 351.000 tanda tangan dan diserahkan kepada pemerintah pada hari Selasa (18/5/2021).
Sementara itu, sebanyak 6.000 dokter di Tokyo juga membentuk koalisi yang mengirimkan surat terbuka kepada pemerintah Jepang agar membatalkan Olimpiade. “Negara kita sedang menghadapi gelombang keempat pandemi Covid-19. Beberapa kota menuju ambang kelelahan dan vaksinasi berjalan lambat. Mohon prioritaskan keselamatan rakyat dan batalkan Olimpiade 2021,” demikian bunyi pernyataan mereka.
Permintaan para dokter itu sejalan dengan keputusan Perdana Menteri Yoshihide Suga yang menambah zona merah dari enam kota menjadi sembilan kota awal pekan ini. Hokkaido, Hiroshima, dan Okayama kini dinyatakan sebagai zona merah. Pada awal Mei kota-kota yang ditetapkan sebagai zona merah antara lain Tokyo, Kyoto, dan Osaka. Bahkan, negara ini masih menjalani karantina hingga tanggal 31 Mei.
Juru Bicara Pemerintah Jepang, Katsunobu Kota dalam jumpa pers mengatakan pemerintah telah menyiapkan protokol kesehatan yang ketat untuk pelaksanaan Olimpiade. Diperkirakan ada 10.000 atlet dan staf dari 200 negara yang akan datang. Mereka harus telah diimunisasi Covid-19 di negara masing-masing atau bersedia disuntik vaksin ketika tiba di Jepang. Mereka juga akan tinggal di dalam gelembung isolasi.
Presiden World Athletics Sebastian Coe melalui wawancara dengan CNN tetap mengutarakan optimisme Olimpiade bisa diadakan dengan aman dan terkendali. “Semua pertandingan tidak ada penonton. Apa yang perlu ditakutkan?” ujarnya.
Panitia Olimpiade Jepang sebelumnya juga meminta izin kepada pemerintah untuk merekrut 500 perawat sebagai tenaga kesehatan selama kompetisi. Keinginan ini diprotes keras masyarakat karena menilai panitia Olimpiade egois. Rumah sakit jauh lebih membutuhkan perawat, apalagi dengan rata-rata kasus positif harian nasional sekarang 6.000 kasus. Angka kematian total adalah 11.500 dan baru 2,2 persen penduduknya divaksin.
Tidak hanya masyarakat Jepang, sejumlah olahragawan juga mengutarakan kecemasan. Di antaranya petenis putra asal Spanyol Rafael Nadal, petenis putri asal Jepang Naomi Osaka, dan atlet golf dari Jepang Hideki Matsuyama.
“Bukannya saya tidak ingin bertanding. Tapi, sepertinya saat pandemi ini ada banyak hal penting yang harus diperhatikan dan diurus dibandingkan Olimpiade,” tutur Osaka ketika diwawancara oleh BBC.
Pelik
Persoalan membatalkan Olimpiade lebih pelik daripada yang terlihat. Dilansir dari BBC, pengacara olahraga internasional, Alexandre Miguel Mestre menjelaskan bahwa Olimpiade adalah produk hak milik Komite Olimpiade Internasional atau International Olympic Committee (IOC) . Oleh sebab itu, satu-satunya pihak yang berhak membatalkan acara olahraga terbesar di dunia itu adalah IOC.
“Pembatalan Olimpiade dari pihak negara pelaksana hanya bisa dilakukan apabila terjadi peperangan atau konflik. Misalnya, pembatalan Olimpiade 1916 karena Perang Dunia I serta pembatalan Olimpiade 1940 dan 1944 karena Perang Dunia II,” paparnya.
Menurut Mestre, IOC menilai situasi pandemi sejauh ini masih terkendali. Apalagi, Jepang adalah negara yang dinilai memiliki sistem penanggulangan lebih unggul dibandingkan sejumlah negara. Terlebih, pemerintah dan perusahaan lokal maupun internasional telah mengucurkan biaya banyak untuk memastikan penegakan protokol kesehatan. Biaya ini belum termasuk sponsor, iklan, dan royalti hak penyiaran pertandingan.
“Biaya yang sudah dikeluarkan ini harus diganti sepenuhnya oleh pemerintah Jepang jika mereka memutuskan membatalkan Olimpiade,” kata Mestre. (AFP)