Seperti yoyo, Jepang mengalami siklus pertumbuhan dan kontraksi dalam konsumsi domestik karena pandemi Covid-19 yang meningkat dan menyusut. Laju vaksinasi Covid-19 dinilai akan menentukan pemulihan ekonomi negara itu.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
TOKYO, SELASA – Perekonomian Jepang di tengah pandemi Covid-19 dapat digambarkan layaknya permainan yoyo. Siklus pertumbuhan ekonominya bergantian dengan kontraksi akibat tarik ulur kebijakan merespon naik turunnya jumlah kasus baru Covid-19. Lambatnya vaksinasi diperkirakan bakal membuat Jepang - negara dengan perekonomian terbesar ketiga global itu - semakin tertinggal dalam upaya keluar dari pandemi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, yoyo adalah mainan anak-anak dari kayu, bentuknya bulat pipih menyerupai gelendong benang yang diikat dengan tali. Jika dimainkan, mainan itu terputar turun-naik karena talinya terlepas dan tergulung kembali. Apabila pemainnya jago, yoyo bisa berputar cukup lama di bagian paling bawah tali, lalu naik dan turun dalam tempo cepat sesuai kemauan dan kemampuan si pemain.
Seperti yoyo, Jepang mengalami siklus pertumbuhan dan kontraksi dalam konsumsi domestik karena jumlah kasus Covid-19 yang meningkat dan menyusut. Data Pemerintah Jepang yang dirilis Selasa (18/5/2021) menunjukkan ekonomi Jepang kembali menyusut 5,1 persen pada tiga bulan pertama tahun ini dibanding periode yang sama setahun lalu. Tekanan atas ekonomi Jepang itu lebih tinggi dari proyeksi para analis sebelumnya, yakni terkontraksi 4,6 persen secara tahunan.
Pada triwulan terakhir tahun lalu ekonomi Jepang melonjak 11,6 persen dibanding periode sama setahun sebelumnya. Kenaikan itu terjadi menyusul kenaikan serupa pada periode Juli-September 2020. Pemulihan yang didorong ekspor itu lalu terhenti karena konsumsi terpukul dari lonjakan strain virus baru yang memaksa pemerintah memberlakukan kembali pembatasan kegiatan warga, 10 pekan sebelum Olimpiade Tokyo digelar.
Pemulihan yang didorong ekspor itu lalu terhenti karena konsumsi terpukul dari lonjakan strain virus baru yang memaksa pemerintah memberlakukan kembali pembatasan kegiatan warga, 10 pekan sebelum Olimpiade Tokyo digelar.
"Dengan situasi medis yang masih memburuk dan peluncuran vaksin terlalu lambat, dibutuhkan waktu hingga akhir tahun untuk kembali ke tingkat sebelum virus," kata Marcel Thieliant, ekonom senior Capital Economics. Kebijakan pembatasan yang diperpanjang kemungkinan akan membuat upaya pemulihan melambat. Jepang, bakal terus dibayang-bayangi ketidakpastian pemulihan ekonomi.
Data menunjukkan konsumsi sektor swasta di Jepang tertekan 1,4 persen pada triwulan pertama tahun 2021. Pembatasan aneka kegiatan mendorong belanja atas kebutuhan warga, seperti pakaian dan makan di luar rumah, turun. Kontraksi ekonomi yang lebih besar dari perkiraan juga mencerminkan penurunan belanja modal yang mengejutkan. Hal itu mengacaukan ekspektasi pasar yang sebelumnya memprakirakan bahwa belanja modal akan naik hingga 1,1 persen. Perusahaan-perusahaan memilih mengurangi pembelian mesin dan kendaraan.
Memang, ekspor Jepang tumbuh 2,3 persen berkat kenaikan permintaan global untuk mobil dan elektronik. Akan tetapi, di sisi lain, permintaan domestik di negara itu turun 1,1 persen poin dari produk domestik bruto (PDB). Kondisi itu menjadi alarmbagi perekonomian Jepang yang masih terhuyung-huyung akibat lemahnya permintaan domestik.
"Permintaan domestik yang lemah menunjukkan efek buruk dari virus korona, yang sama sekali belum terselesaikan," kata Takeshi Minami, kepala ekonom di Norinchukin Research Institute. "Tidak ada belanja dan jasa (domestik) saat ini, jadi mau bagaimana lagi? Akan ada ketergantungan pada permintaan luar negeri."
Pada awal tahun 2020, ketika pandemi melanda, ekonomi Jepang telah berjibaku melawan hambatan yang diakibatkan oleh melemahnya permintaan dari China, kenaikan pajak konsumsi, dan bencana alam. Ketika negara itu mengalami keadaan darurat pada musim semi lalu, konsumsi domestik menurun dan ekspor juga turun ke posisi terendah baru. Hasilnya adalah pukulan terbesar bagi perekonomian Jepang sejak 1955.
Namun, efek pandemi Covid-19 di Jepang pada musim semi lalu relatif ringan dibandingkan dengan \'malapetaka\' yang melanda Amerika Serikat dan banyak negara Eropa. Jepang tidak pernah menerapkan penutupan wilayah secara total. Jumlah total kematian akibat Covid-19 di Jepang juga berada di bawah angka 12.000. Faktor-faktor tersebut, dikombinasikan dengan stimulus, telah menjaga tingkat pengangguran negara itu rendah sekaligus menopang banyak bisnis kecil seperti restoran dan hotel.
Namun saat ini Jepang kembali mengalami lonjakan jumlah kasus positif Covid-19. Jumlah kematian akibat Covid-19 pun terus meningkat. Kini sebagian besar wilayah negara itu berada dalam keadaan darurat, terutama di Osaka.
The New York Times mengatakan, pola ekonomi seperti permainan yoyo tidak mungkin berhenti sampai Jepang memvaksinasi sebagian besar populasinya. Sayang, upaya itu baru saja dimulai dan tampaknya tidak mungkin meningkat secara signifikan dalam beberapa bulan mendatang.
Kondisi itu dikhawatirkan berpotensi mendorong Jepang kembali mengalami resesi pada akhir tahun ini. Resesi didefinisikan sebagai kontraksi ekonomi selama dua triwulan berturut-turut. Sebagaimana dihadapi negara-negara lain, Jepang masih harus berjuang melawan penyebaran varian baru virus korona, yang lebih mematikan dan lebih menular. (AFP/REUTERS)