Hujan Rudal di Gaza, Tak Ada Perayaan Idul Fitri untuk Anak-Anak Palestina
Korban utama dari eskalasi konflik antara Israel dan Hamas adalah anak-anak dan perempuan. Dari sedikitnya 140 korban tewas di pihak Palestina maupun Israel, lebih dari 40 persen adalah anak-anak dan perempuan.
Idul Fitri tahun ini tak membawa kemenangan bagi anak-anak Palestina sebab dunia mereka hancur oleh hujan rudal Israel. Bukan keceriaan yang mereka alami, melainkan kematian, kehilangan orangtua, atau pun kehilangan rumah. Mereka juga terpaksa hidup di bawah ketakutan akibat bayang-bayang perang berkepanjangan.
Memasuki hari ke-6, konflik Hamas-Israel justru semakin bereskalasi dan melebar. Tak hanya melibatkan militer Israel dan Hamas, konflik kini juga merembet ke warga sipil.
Dentuman bom tak henti meneror warga Gaza di Palestina dan penduduk kota-kota di Israel. Berbagai bangunan luluh-lantak. Kerusuhan pecah di mana-mana. Batu bertemu peluru. Roket bertemu rudal. Penduduk kocar-kacir meninggalkan tempat tinggal mereka yang hancur. Di Gaza, warga mencari perlindungan di gedung-gedung sekolah ataupun rumah sakit. Di kota-kota Israel, penduduk meringkuk di dalam bungker menghindari ledakan bom.
Juru Bicara Pasukan Pertahanan Israel, Letnan Kolonel Jonathan Cornicus, Jumat (14/05/2021), mengungkapkan, pihaknya mengerahkan 160 pesawat tempur dan 80 ton peledak dalam 40 menit serangan ke Gaza. “Serangan yang terkoordinasi dan terukur. Kami mengincar titik-titik strategis Hamas,” ujarnya.
Menurut ABC News, 650 titik sasaran penyerangan dikategorikan sebagai markas Hamas ataupun jalur yang dipakai oleh organisasi milisi Palestina itu. Pihak Hamas mengatakan, 13 petinggi mereka tewas akibat serangan Israel. Sementara Israel sedang memobilisasi 9.000 pasukan tambahan untuk diturunkan ke Gaza.
Kementerian Kesehatan Palestina mengungkapkan, 500 rumah dan tiga gedung apartemen hancur sejauh ini di Gaza. Infrastruktur lain yang hancur adalah 60 kantor pemerintahan, 23 sekolah dan universitas, dan 24 pabrik.
Sementara, Hamas sedikitnya telah meluncurkan 2.000 roket ke arah kota-kota di Israel. Setengahnya berhasil ditangkal oleh Kubah Besi, sistem pertahanan Israel. Sisanya jatuh ke berbagai kota. Salah satunya adalah Lod. Adapun 350 roket jatuh di perbatasan Gaza.
Kedua belah pihak sama-sama adu senjata. Akan tetapi, bagi masyarakat sipil Palestina dan Israel, tak ada yang gagah dari konflik ini. Jumlah korban tewas terus bertambah. Di Gaza, 132 warga Palestina dilaporkan tewas, termasuk 32 anak dan 21 perempuan.
Di kota ini pula ada dua keluarga yang tewas akibat rumah dan gedung apartemen mereka hancur dihantam serangan udara Israel. Salah satunya adalah Rafat Tanini. Ia, istri, dan keempat anak mereka yang berusia 7 tahun ke bawah, tertimpa runtuhan gedung apartemen yang mereka tinggali.
Sementara itu, Mohammed Ghabayen dan keluarganya mengungsi di sebuah sekolah di Gaza akibat rumah mereka luluh lantak. Sudah dua hari ini anak-anaknya belum makan. Di tengah penularan Covid-19, ia hanya bisa berharap keluarganya tidak terinfeksi pandemi karena sekolah tempat pengungsian juga dipadati para pengungsi lainnya.
Di pihak Israel, jumlah korban tewas lebih sedikit dibandingkan Palestina. Akan tetapi, ini bukan berarti menurunkan kadar krisis keamanan yang diderita Israel. Dari total delapan orang yang tewas, dua anak tewas dihantam roket. Sementara warga luka-luka mencapai ratusan orang baik di pihak Palestina maupun Israel. Masing-masing sebanyak 950 orang dan 523 orang.
Kepala Kantor Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Gaza Sacha Bootsma, mengatakan, rumah sakit kekurangan obat-obatan dan bahan bakar minyak. Serangan Israel mengakibatkan aliran listrik mati sehingga rumah sakit beroperasi menggunakan generator. Kondisi ini membuat penanganan kesehatan kian darurat karena rumah sakit masih merawat pasien Covid-19 yang menggunakan ventilator.
Juru Bicara Angkatan Udara Israel, Kolonel Koby Regev, mengatakan, titik-titik penyerangan di Gaza dipilih dengan cermat, yaitu lokasi tempat Hamas beroperasi. Akan tetapi, organisasi pembela Hak Asasi Manusia Amnesty International melalui Wakil Direktur untuk wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara Saleh Higazi tidak langsung menelan bulat-bulat penyataan tersebut.
“Sudah jelas gedung yang dipakai oleh Hamas juga ditinggali oleh warga sipil. Aturan internasional dengan ketat menyatakan apabila akan ada penyerangan harus memakai strategi penggerebekan yang tidak menyakiti warga sipil. Ada perbuatan sengaja melanggar aturan. Serangan terhadap permukiman dan fasilitas sipil adalah kejahatan perang,” kata Higazi di laman Amnesty International.
Sementara itu, Direktur Human Rights Watch untuk Israel dan Palestina, Omar Shakir menegaskan bahwa militer Israel dan Hamas sama-sama bersalah karena asal main tembak. Tujuan penyerangan bukan lagi untuk melumpuhkan atau melemahkan lawan, tetapi mengeruk korban.
Ia menulis dalam pernyataan HRW Israel dan Palestina bahwa konflik dibiarkan berkecamuk secara terpendam melalui sistem pemerintahan Israel yang apartheid terhadap Palestina dan warga lain yang bukan keturunan Yahudi. Namun, ketika eskalasi konflik menjadi perang terbuka, kedua belah pihak, militer Israel dan Hamas wajib mempertanggungjawabkan kekerasan yang telah mereka lakukan terhadap warga sipil, terutama anak-anak.
Kritik juga muncul dari pihak Israel melalui organisasi hak asasi manusia B’Tselem. Mereka mencemaskan jumlah korban akan terus bertambah. Dan anak adalah pihak yang paling dirugikan.
B’Tselem mendata jumlah korban tewas berusia di bawah 17 tahun pada intifada atau perlawanan warga Palestina yang pertama, 9 Desember 1987 - 28 September 2000, adalah 304 anak Palestina dan 18 anak Israel. Pada intifada kedua, 29 September 2000 - 30 September 2012, korban anak tewas mencakup 1.337 anak Palestina dan 129 anak Israel.
Jumlah ini belum mencakup anak-anak yang hidup dalam ketakutan dan kekerasan ketika tidak sedang terjadi konflik terbuka. Pada 2009, BBC mewawancarai sejumlah mantan tentara Israel. Mereka mengakui kerap menangkap anak-anak Palestina usia 11-17 tahun yang kemudian diinterogasi dengan memakai kekerasan. Di saat yang sama, baik Israel dan Hamas sama-sama menekankan pelatihan militer untuk anak-anak usia remaja.
Hidup dengan menyaksikan kekerasan di lingkungan sekitar telah menumbuhkan bibit-bibit agresi di dalam generasi muda Israel dan Palestina. Sekelompok peneliti di bawah pimpinan Paul Boxer dari Universitas Rutgers Amerika Serikat menerbitkan hasil riset mereka di jurnal Child Development pada January 2013. Penelitian tentang tumbuh kembang anak-anak usia di bawah 17 tahun yang tinggal di Israel dan Palestina itu menunjukkan bahwa kekerasan menjadi bagian yang diterima sebagai kewajaran dalam kehidupan mereka sehari-hari.
Baca juga: Korban Terus Berjatuhan, Dewan Keamanan PBB Segera Bahas Palestina-Israel
Anak-anak dari kedua belah pihak kerap mengalami perundungan maupun merundung anak lain. Perbedaan atau permasalahan tidak jarang berujung kepada pertengkaran terbuka atau bersikap diam tetapi menyimpan permusuhan yang berarti bahwa kadar kepercayaan terhadap orang lain rendah. Hal ini akan mempersulit pembangunan karakter yang memungkinkan dua pihak berbeda mau menyelesaikan pertikaian dengan kepala dingin dan adil.
Tanpa penghentian konflik sesegera mungkin dan tanpa pergerakan menuju dialog damai untuk para pimpinan maupun masyarakat sipil, akan semakin banyak anak menjadi korban. Dan di Gaza, akan semakin banyak pula anak Palestina yang tidak bisa merayakan Idul Fitri di tahun-tahun mendatang. (AP/Reuters/DNE)