Konflik di Sheikh Jarrah, Potret Legalisasi Penggusuran Palestina di Jerusalem Timur
Bagi warga Palestina, rumah yang mereka tinggali selama puluhan tahun di Sheikh Jarrah memiliki nilai tersendiri. Apalagi rumah itu dihuni setelah mereka mengungsi di banyak wilayah. Ada yang rela mati untuk menjaganya.
Saat keluarga besar Samira Dajani pindah ke rumah mereka di Sheikh Jarrakh, Jerusalem Timur, pada tahun 1956, setelah bertahun-tahun mengungsi, sang ayah menanam pohon di pekarangan rumah itu. Ada enam pohon yang ditanam, masing-masing dinamai dengan nama enam putra-putrinya.
Saat ini, dua pohon pinus bernama Mousa dan Daoud, yang ditanam puluhan tahun lampau, menjulang tinggi bak pengawal yang mengawasi pintu masuk ke taman yang pernah mereka gunakan sebagai tempat bermain di waktu kecil. Di jalan setapak menuju ke gerbang rumah yang terbuat dari besi, hamparan bunga bugenvil bersama pohon almond, jeruk, dan lemon saling melengkapi satu sama lain.
Baca juga: Penggusuran di Sheikh Jarrah, Upaya Yahudinisasi Terkini Israel di Jerusalem
Sementara, satu pohon yang dinamai dengan nama dirinya tidak menunjukkan kehidupan. “Pohon Samira tidak memiliki daun. Tapi, akarnya kuat,” ujar Samira.
Kini, rumah itu berada dalam pengawasan Samira dan suami serta anak-anak mereka yang telah dewasa. Namun, tak lama lagi, semuanya hanya akan menjadi kenangan. Per 1 Agustus mendatang, Samira dan keluarganya harus meninggalkan seluruh kenangan yang terpatri di rumah itu. Aparat keamanan Israel bersiap mengusir paksa keluarga Samira terkait kasus sengketa status kepemilikan tanah yang telah berlangsung puluhan tahun antara mereka dan para pemukim Yahudi.
Kebijakan apartheid
Dajani adalah salah satu dari beberapa keluarga Palestina yang akan menghadapi pengusiran paksa dari lingkungan tempat tinggalnya di Sheikh Jarrah, Jerusalem Timur. Penderitaan banyak keluarga Palestina terusir dari rumah tempat tinggal yang telah mereka huni puluhan tahun, memicu demonstrasi serta bentrokan antara warga Palestina dan aparat keamanan Israel beberapa hari terakhir ini.
Baca juga: Jerusalem Membara, Israel-Hamas Baku Tembak Roket, 24 Warga Palestina Tewas
Pengadilan Distrik Jerusalem memutuskan, sedikitnya enam keluarga harus mengosongkan dan meninggalkan rumah mereka di Sheikh Jarrah pada 2 Mei lalu, meski mereka sudah tinggal di rumah itu selama beberapa generasi. Pengadilan tersebut juga memerintahkan tujuh keluarga lainnya melakukan hal yang sama pada 1 Agustus mendatang. Seperti diberitakan Al Jazeera, total ada 58 warga, termasuk 17 anak-anak, harus meninggalkan rumah mereka untuk kemudian digantikan oleh para pemukim Yahudi.
Pengusiran warga Palestina di Sheikh Jarrah merupakan kebijakan diskriminatif untuk mempertahankan mayoritas warga Yahudi di Jerusalem Timur dan contoh kebijakan rezim apartheid, yang pernah terjadi di Afrika Selatan.
Pengusiran warga Palestina yang bermukim di Sheikh Jarrah tidak dapat dilihat hanya sebagai masalah administratif belaka atau masalah sengketa atas lahan tempat tinggal. Menurut kelompok hak asasi manusia Israel, B’Tselem, dan organisasi Human Rights Watch (HRW) yang berbasis di New York, tindakan pengusiran itu merupakan kebijakan diskriminatif dan berujung untuk mempertahankan mayoritas warga Yahudi di Jerusalem Timur. Kebijakan seperti itu, menurut kedua lembaga, adalah contoh kebijakan rezim apartheid, yang pernah terjadi di Afrika Selatan.
Baca juga: Konflik Tanpa Ujung di Jantung Jerusalem
Israel menolak tuduhan itu. Mereka mengatakan, situasi di Sheikh Jarrah adalah perselisihan real estate pribadi dan dimanfaatkan oleh warga Palestina untuk memicu kekerasan.
Situasi ini mirip dengan pencaplokan wilayah Tepi Barat yang direncanakan oleh pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu. Rencananya di wilayah Tepi Barat akan dibangun 7.000 permukiman baru bagi warga Yahudi. Rencana itu hingga saat ini tertunda sebagai salah satu "imbalan" setelah sejumlah negara Arab menormalisasi hubungan dengan Israel melalui perantara pemerintahan Presiden Donald Trump dan Menlu AS Mike Pompeo.
Kementerian Luar Negeri Israel tidak memberikan tanggapan atas pertanyaan yang diajukan terkait laporan ini. Seorang pejabat tinggi kota dan kelompok pemukim yang memasarkan lahan kavling untuk perumahan di Sheikh Jarrah juga tidak menanggapi permintaan konfirmasi.
Perang 1948
Kedua orang tua Samira melarikan diri dari rumah mereka di Baka, yang kini menjadi lokasi permukiman warga elite Yahudi di Jerusalem barat, tahun 1948. Menghabiskan bertahun-tahun tinggal di Jordania dengan status sebagai pengungsi, berpindah dari satu negara ke negara lain, mulai dari Suriah, Jordania, dan terakhir di Jerusalem Timur.
Pemerintah Jordania yang mengelola kawasan Jerusalem pada saat itu menawarkan kepada para pengungsi, termasuk kedua orang tua Samira, rumah baru di kawasan Sheikh Jarrah dengan imbalan untuk menyerahkan status pengungsi mereka.
Baca juga: Givat Eitam, Pelanggaran Norma Internasional dan Apartheid Baru
“Saya banyak memiliki kenangan indah dari rumah ini,” kata Dajani, yang kini berusia 70 tahun. Dia mengingat bagaimana dirinya bermain dengan anak-anak lain di sekitarnya, terutama dari warga Palestina yang telah dimukimkan kembali. Baginya, setelah berulang kali pindah dari satu kamp pengungsian ke lokasi lainnya, menetap dan memiliki rumah tinggal terasa bak di surga.
Tetapi, banyak yang berubah setelah Perang 1967. Dalam perang itu, Israel merebut Jerusalem Timur, Tepi Barat, dan Jalur Gaza. Tindakan Israel ditentang oleh komunitas internasional dan tidak mendapat pengakuan dari masyarakat internasional. Palestina menginginkan ketiga wilayah tersebut sebagai wilayah negara yang tengah mereka perjuangkan dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kota negara.
Setelah 1967, Israel memperluas batas wilayahnya dengan mengambil area yang luas di wilayah-wilayah itu dan mendudukinya. Israel juga membangun kompleks-kompleks permukiman Yahudi yang menjadi rumah bagi puluhan ribu orang Yahudi. Pada saat yang sama, Israel membatasi pergerakan mereka.
Baca juga: Tanah Palestina Terus Menciut
Pada tahun 1972, warga Palestina penghuni Sheikh Jarrah diberitahu bahwa mereka telah menduduki tanah milik warga Yahudi. Diperingatkan juga, tanah mereka bisa diambil kapan saja oleh pihak yang mengklaim sebagai pemilik lahan yang sah. Hukum Israel mengizinkan orang warga Yahudi merebut kembali lahan tersebut.
Namun, hukum yang sama juga melarang warga Palestina memulihkan kepemilikan properti mereka yang hilang dalam kasus yang sama, termasuk bahkan jika mereka masih tinggal di daerah yang dikuasai oleh Israel. Dalam kasus Samira, rumah kedua orang tua mereka berlokasi di Baka, Jerusalem barat.
Didanai donatur AS
Pada tahun 1972, sejumlah organisasi pemukim Yahudi mengajukan gugatan hukum terhadap keluarga-keluarga Palestina di Sheikh Jarrah. Mereka mengklaim tanah yang dijadikan lahan rumah mereka pada mulanya milik warga Yahudi. Sebagian besar organisasi-organisasi itu didanai donatur dari Amerika Serikat.
Mereka terus-menerus mengupayakan penggusuran warga Palestina. Akibatnya, sebanyak 43 warga Palestina tergusur pada tahun 2002, lalu keluarga Hanoun dan Ghawi tahun 2008, dan keluarga Shamasneh tahun 2017.
Itulah awal pertarungan hukum yang panjang dalam beberapa bulan terakhir, yang memuncak dengan perintah penggusuran terhadap 36 keluarga di Sheikh Jarrah dan dua permukiman lainnya di Jerusalem Timur. Kelompok advokasi HAM Israel memperkirakan, lebih dari 1.000 warga Palestina berisiko digusur.
Sebagaimana diuraikan laman Al Jazeera, kasus sengketa di Sheikh Jarrah bermula ketika pada tahun 1956 sebanyak 28 keluarga pengungsi Palestina terusir dari rumah mereka di kota pantai Yafa dan Haifa. Wilayah Tepi Barat, termasuk Jerusalem Timur, kala itu berada di bawah mandat Jordania. Pemerintah Jordania menjalin kesepakatan dengan UNRWA, badan PBB yang menangani pengungsi Palestina, untuk membangun beberapa unit rumah untuk keluarga tersebut, antara lain, di area Karm al-Jaouni di Sheikh Jarrah.
Pemerintah Jordania menjalin kesepakatan dengan UNRWA, badan PBB yang menangani pengungsi Palestina, untuk membangun beberapa unit rumah untuk keluarga tersebut, antara lain, di area Karm al-Jaouni di Sheikh Jarrah.
Delapan tahun sesudah mengungsi dari Yafa dan Haifa, sebanyak 28 keluarga Palestina itu akhirnya menetap di area Karm al-Jaouni di Sheikh Jarrah. Menurut kesepakatan Jordania-UNRWA, status pengungsi keluarga-keluarga Palestina dicabut dengan imbalan tanah atas nama mereka setelah tiga tahun mereka tinggal di area tersebut. Namun, hal itu belum terealisasi. Tahun 1967, meletus Perang Enam Hari antara Arab dan Israel. Jordania kehilangan mandat di Jerusalem Timur yang kemudian diduduki Israel.
Pengadilan bias Israel
Khalil Toufakji, kartografer Palestina dan seorang pakar Jerusalem, kepada Al Jazeera mengungkapkan, tahun 2010 ia pergi ke Ankara mencari dokumen-dokumen arsip lama era Kesultanan Turki Usmani yang menepis hak kepemilikan warga Yahudi mana pun atas area Karm al-Jaouni. "Saya menemukan akta (yang menolak klaim kepemilikan Yahudi) itu dan saya tunjukkan di sidang pengadilan distrik Israel, yang langsung menolaknya," tutur Toufakji.
Toufaksi menambahkan, dirinya juga menemukan bahwa tahun 1968 Knesset (parlemen) Israel mengeluarkan surat keputusan--yang ditandatangani menteri keuangan saat itu--menegaskan bahwa Israel terikat oleh kesepakatan Jordania-UNRWA. "Fakta ini sudah disampaikan kepada Pengadilan Tinggi Jerusalem atas nama keluarga-keluarga Palestina di Sheikh Jarrah," katanya.
"Pengadilan-pengadilan Israel--hakim, juri, dan legislasi--semuanya untuk melayani para pemukim Yahudi," lanjut Toufaksi.
Berdasarkan hukum internasional, sistem peradilan Israel sebenarnya tidak memiliki otoritas legal terhadap penduduk di wilayah yang mereka duduki. Fayrouz Sharqawi, Direktur Mobilisasi Global untuk Grassroots Jerusalem, mengatakan bahwa hal yang absurd mengandalkan sistem pengadilan Israel untuk melindungi hak-hak warga Palestina.
"Sistem ini adalah bagian integral dari negara kolonial Zionis, yang mengidentifikasi diri sebagai "negara Yahudi" dan karena itu secara sistematis menekan, menyita, dan menggusur warga Palestina," ujar Sharqawi.
Bulan lalu, upaya banding kelompok-kelompok pegiat HAM Palestina ke badan Prosedur Khusus PBB menegaskan, landasan hukum Israel yang diskriminatif "memberi dasar bagi pembentukan rezim apartheid menyangkut seluruh rakyat Palestina".
"Bukan saja Israel secara tidak sah memperluas sistem hukum sipil dalam negerinya ke wilayah pendudukan Jerusalem Timur, tetapi juga memberlakukan hukum-hukum dan kebijakan diskriminatif, yang memberi jalan penyitaan properti warga Palestina di Jerusalem Timur guna membela para pemukum (Yahudi), penyerahan paksa oleh warga Palestina, dan perluasan kehadiran warga Yahudi-Israel di kota itu," demikian antara lain risalah banding mereka.
Ditunda
Keluarga Dajani dan sejumlah keluarga lainnya telah diperintahkan untuk pergi pada 1 Agustus mendatang. Semula, sidang putusan Mahkamah Agung akan dilaksanakan pada Senin (10/5/2021) lalu, bersamaan dengan peringatan Hari Jerusalem, peringatan atas kemenangan Israel atas negara-negara Arab pada perang tahun 1967. Namun, sidang banding itu ditunda. Jika mereka kalah dalam banding, warga Palestina itu dapat diusir secara paksa dalam beberapa hari atau minggu.
Keluarga Palestina lain, yang juga bernasib seperti Samira, mengkhawatirkan sang ayah menolak pindah meski ancaman penggusuran nyata adanya. Sang putri telah memintanya untuk pindah dan tinggal dengan mereka setelah rumah itu diambil paksa. Tapi, sang ayah menolak.
"Dia mengatakan, tidak mungkin saya meninggalkan lingkungan ini kecuali saya sudah mati. Dia sudah 65 tahun tinggal di lingkungan ini," tutur warga yang tak mau disebut identitasnya karena khawatir dengan pembalasan oleh otoritas Israel.
Israel telah mengklaim bahwa Jerusalem sebagai ibu kota negaranya dan mengklaim memperlakukan seluruh penduduk di kota dengan sama. Tapi, di Jerusalem Timur mereka berbeda, bergantung apakah mereka warga Yahudi atau Palestina. Warga Yahudi yang lahir di Jerusalem Timur secara otomatis merupakan warga negara Israel. Orang yang memiliki darah Yahudi yang tinggal di manapun di dunia memenuhi syarat untuk menjadi warga negara Israel.
Sebaliknya, warga Palestina yang lahir dan besar di Jerusalem Timur mendapat tempat tinggal permanen di wilayah itu. Tapi, status tempat tinggal tersebut bisa dicabut jika mereka dinilai menghabiskan terlalu banyak waktu tinggal di luar kota.
Baca juga: Kompleks Masjid Al-Aqsa Kembali Jadi Saksi Kekerasan Israel
Warga Palestina yang tinggal di Jerusalem juga bisa mengajukan kewarganegaraan Israel. Tapi, mereka harus melewati serangkaian proses birokrasi yang sulit. Proses pengurusannya bisa memakan waktu berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun. Sebagian besar warga Palestina menolak untuk menjadi warga negara Israel karena tidak mengakui pencaplokan wilayah Palestina oleh Israel.
Saat ini, lebih dari 220.000 orang Yahudi tinggal di Jerusalem Timur. Sebagian besar dari mereka tinggal di daerah terbangun yang dianggap Israel sebagai bagian dari ibu kotanya. Sementara, sebagian besar dari 350.000 penduduk Palestina di Jerusalem Timur tinggal berdesakan di lingkungan penuh sesak tanpa banyak ruang lagi untuk dibangun.
Warga Palestina mengatakan, biaya dan kesulitan mendapatkan izin memaksa mereka untuk membangun secara ilegal atau pindah ke wilayah pendudukan Tepi Barat. Namun, risikonya adalah warga Palestina itu bisa kehilangan tempat tinggal mereka di Jerusalem. Kelompok pegiat hak asasi manusia (HAM) Israel memperkirakan bahwa setengah dari 40.000 rumah di lingkungan Palestina telah dibangun tanpa izin dan berisiko dibongkar.
Baca juga: Paus Fransiskus Serukan Penghentian Kekerasan di Jerusalem
Israel telah berada di bawah tekanan internasional atas penggusuran dan pengusiran warga Palestina di Sheikh Jarrah. Sekutu dekat Israel, Amerika Serikat, dan juga Uni Eropa menyatakan keprihatinannya. Para pegiat HAM mendesak pemerintah untuk menghentikan tindakan tidak manusiawi itu.
Sementara itu, Samira Dajani telah menanam bunga musim semi di pot kecil yang bisa dia bawa jika dia dipaksa meninggalkan rumahnya, 1 Agustus nanti. Tapi, pohon-pohon yang dinamai untuknya dan saudara-saudaranya tidak bisa dibawanya. (AP/AFP/REUTERS)