Indonesia mendorong terwujudnya Afghanistan yang damai, inklusif, demokratis, dan menghargai hak-hak kaum perempuan.
Oleh
Pascal S Bin Saju
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah Indonesia mendorong terwujudnya Afghanistan yang damai, inklusif, demokratis, dan menghargai hak kaum perempuan. Indonesia berpandangan, proses politik perdamaian itu harus dipimpin dan dimiliki rakyat Afghanistan sendiri.
Pemerintah Afghanistan dan Taliban merupakan pemain utama yang menentukan stabilitas di negara itu. Keduanya seharusnya sama-sama mengutamakan kepentingan rakyat dan bangsa.
”Apa pun kesepakatan mereka, terserah mereka. Hal terpenting ada kesepakatan damai. Bagi kita, yang paling penting adalah bagaimana mewujudkan perdamaian politik di Afghanistan. Istilahnya, Afghanistan-led, Afghanistan-owned peace process; suatu proses yang dipimpin dan dimiliki orang Afghanistan sendiri,” kata Direktur Jenderal Asia Pasifik dan Afrika Kementerian Luar Negeri RI Abdul Kadir Jailani saat dihubungi di Jakarta, Senin (10/5/2021).
Menurut Kadir, pemerintah dan masyarakat Indonesia mengharapkan Afghanistan baru yang lebih inklusif dan demokratis. Meski Taliban leluasa menentukan gencatan senjata dan perang, kelompok itu harus bekerja sama melalui dialog damai dengan pemerintah.
Sebagai penyelenggara konferensi ulama trilateral (Indonesia-Afghanistan-Pakistan) pada Mei 2018, Indonesia aktif membantu proses perdamaian di Afghanistan. Indonesia hadir dan menyaksikan penandatanganan nota kesepakatan damai Taliban-Amerika Serikat (AS) di Doha, Qatar, 29 Februari 2020. Indonesia juga memantau perundingan damai antara Pemerintah Afghanistan dan Taliban (intra-Afghanistan) yang dimulai pada 12 September 2020.
Dalam konferensi ulama trilateral dibahas, antara lain, solusi perdamaian Afghanistan. ”Tahun 2020 sedianya akan digelar konferensi, tetapi batal karena pandemi Covid-19,” ujar Kadir.
Konferensi bermula ketika Presiden Afghanistan Ashraf Ghani mengunjungi Jakarta pada April 2017. Saat itu ia meminta Indonesia memainkan peran utama dalam proses perdamaian di Afghanistan karena posisi yang netral dan tidak memiliki kepentingan langsung.
Dalam konteks itulah Indonesia bersuara karena kekerasan Afghanistan meningkat, bukannya membaik. Kekerasan ini memprihatinkan karena menyasar kaum perempuan, siswa sekolah, fasilitas pendidikan dan kesehatan, para jurnalis, serta dokter dan tenaga medis.
Setelah beberapa pekan penuh gejolak dan kekerasan, Taliban, Senin, meminta semua anggotanya melakukan gencatan senjata selama tiga hari bertepatan dengan hari raya Idul Fitri. ”Untuk menciptakan suasana aman dan damai selama Idul Fitri, semua anggota diperintahkan menghentikan serangan,” kata juru bicara Taliban, Mohammad Naeem, lewat Twitter.
Namun, beberapa jam sebelum pengumuman gencatan senjata, terjadi ledakan bom di sebuah ruas jalan di Provinsi Zabul, menewaskan 11 orang dan melukai 28 orang.
Dua pekan lalu, bom mobil meledak di penginapan calon mahasiswa peserta ujian masuk perguruan tinggi di Provinsi Logar. Pada Sabtu (8/5/2021), sebuah bom mobil meledak di depan sekolah perempuan di Das-i-Barchi, pinggiran ibu kota Kabul. Sedikitnya 68 orang tewas dan 165 orang terluka, umumnya anak-anak usia 11-15 tahun. Taliban membantah bertanggung jawab atas ledakan di depan sekolah perempuan itu.
Pasukan Amerika Serikat dan Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mulai menarik pasukan yang tersisa, sebanyak 2.500-3.500 tentara AS dan 7.000 tentara sekutu. Semua pasukan AS dan NATO harus sudah meninggalkan Afghanistan pada 11 September 2021.(AFP/AP/REUTERS)