Hawa perdamaian perlahan-lahan menyelimuti hubungan dua negara musuh bebuyutan, Iran dan Arab Saudi. Dua negara itu mulai membangun jembatan dialog dengan mediasi Irak.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·7 menit baca
Isu Timur Tengah terpenting yang menjadi sorotan utama dunia saat ini, selain jalannya perundingan nuklir Iran di Vienna, Austria, adalah bergulirnya berita bergulirnya dialog Iran-Arab Saudi. Sesungguhnya isu perundingan nuklir Iran di Vienna dan pertemuan Iran-Arab Saudi adalah dua isu yang berkelindan satu sama lain. Digelarnya perundingan nuklir Iran di Vienna bisa disebut mengantarkan lahirnya pertemuan Iran-Arab Saudi.
Dua isu tersebut lahir akibat satu faktor, yakni kemenangan Joe Biden dari partai Demokrat dalam pemilu presiden AS pada 3 November 2020. Suksesi kekuasaan di Washington DC dari Presiden Donald Trump, yang berasal dari Partai Republik, kepada Biden mengubah lanskap peta kebijakan politik di Timur Tengah cukup signifikan. Perubahan lanskap paling menonjol saat ini, yaitu digelarnya perundingan nuklir Iran di Vienna dan dialog Iran-Arab Saudi.
Seandainya tidak ada suksesi kekuasaan di Washington DC dan Trump melenggang ke periode kedua, dipastikan tidak ada perundingan nuklir Iran di Vienna dan pada gilirannya juga tak ada dialog Iran-Arab Saudi.
Namun, semuanya berubah pascasuksesi kekuasaan di Washington DC. Temu Iran-Arab Saudi, dua negara musuh bebuyutan, yang dalam beberapa tahun lalu bisa disebut mustahil terjadi, kini sudah menjadi kenyataan. Adalah harian The Financial Times edisi Minggu, 18 April 2021, yang pertama melansir adanya pertemuan rahasia Iran-Arab Saudi pada 9 April di Baghdad dengan perantara PM Irak Mustafa al-Khadimi.
Saat itu berita The Financial Times tersebut sempat diragukan kebenarannya. Arab Saudi sempat menepis berita itu dengan menyebutnya sebagai berita burung. Akan tetapi, sikap Arab Saudi berubah total dan lebih moderat dalam bersikap terhadap Iran, menyusul wawancara panjang Putra Mahkota Arab Saudi, Pangeran Mohammed bin Salman (MBS) dengan harian Asharq Al Awsat edisi hari Rabu, 28 April 2021.
Dalam wawancara tersebut, MBS membangun narasi positif tentang Iran. Ia menyebut Iran sebagai negara tetangga. Ia juga menginginkan hubungan baik dan istimewa dengan Iran. MBS menegaskan, tidak ingin Iran dalam posisi sulit serta menghendaki Iran menjadi negara makmur dan berkembang. MBS juga menyebut, Iran memiliki kepentingan di Arab Saudi, dan sebaliknya Arab Saudi juga punya kepentingan di Iran dalam upaya bersama-sama membawa kawasan ini dan dunia menjadi makmur dan berkembang.
Narasi positif tentang Iran yang dibangun MBS dalam wawancara itu ibarat tabuhan genderang yang segera disambut positif oleh semua pihak di regional maupun internasional.
Narasi positif tentang Iran yang dibangun MBS dalam wawancara itu ibarat tabuhan genderang yang segera disambut positif oleh semua pihak di regional maupun internasional.
Wawancara MBS tersebut menjadi faktor Presiden Irak, Barham Salih, Rabu (5/5/2021), berani mengungkap, Iran dan Arab Saudi telah melakukan serangkaian pertemuan di Baghdad dengan mediator Irak. Wawancara MBS itu pula yang menjadi faktor Direktur Urusan Perencanaan Politik Kementerian Luar Negeri Arab Saudi, Rayed Krimly, seperti dilansir kantor berita Reuters, Jumat (7/5/2021), juga mengonfirmasi adanya pertemuan langsung Iran-Arab Saudi tersebut.
”Kami berharap pertemuan itu sukses, tetapi masih terlalu dini menyebut telah mencapai suatu kesepakatan tertentu,” ungkap Krimly. Ia menambahkan, pertemuan Iran-Arab Saudi bertujuan untuk meredakan ketegangan di Timur Tengah, khususnya kawasan Teluk.
Setelah ada konfirmasi tersebut, pertemuan Iran-Arab Saudi yang semula digelar secara rahasia dengan mediasi Irak kini sudah terang benderang dan diakui secara resmi oleh pihak Arab Saudi. Menlu Qatar Mohammed bin Abdulrahman bin Jassim Al Thani dalam wawancara dengan televisi Al Jazeera, Kamis (6/5/2021), menegaskan bahwa Qatar mendukung dialog Iran-Arab Saudi serta Iran dan negara-negara Arab Teluk. Ia menyebut dialog Iran-Arab Saudi serta Iran dan negara-negara Arab Teluk akan berandil besar menciptakan stabilitas di kawasan.
Pemimpin Hezbollah di Lebanon, Hassan Nasrullah, Jumat (7/5/2021), juga menyebut dialog Iran-Arab Saudi adalah sangat positif. Menurut dia, pihak yang cemas atas terjadinya dialog Iran-Arab Saudi saat ini bukan sahabat-sahabat Iran, tetapi para sahabat Arab Saudi. Ia menyebut, para sahabat Arab Saudi tidak menginginkan ada normalisasi hubungan Iran-Arab Saudi karena kepentingan mereka akan terganggu dengan adanya hubungan normal Iran-Arab Saudi itu.
Saling membutuhkan
Kini, komunikasi langsung secara intensif antara Iran dan Arab Saudi sudah terjadi. Tampaknya kini sudah tiba waktunya, baik Iran maupun Arab Saudi, saling menyadari bahwa saat ini mereka saling membutuhkan untuk mengatasi permasalahan regional. Iran sangat butuh Arab Saudi untuk ikut mendukung perundingan nuklir di Vienna saat ini. Pertarungan terbesar bagi Iran saat ini adalah perundingan nuklir di Vienna. Bagi Iran, perundingan nuklir di Vienna adalah pertarungan dalam negeri dan regional.
Iran sangat butuh tercapainya kembali kesepakatan nuklir tahun 2015 agar terbebas dari sanksi AS dan pada gilirannya bisa membangun ekonomi negeri yang sangat sulit saat ini. Iran yang sering dilanda aksi unjuk rasa rakyat dalam beberapa tahun terakhir ini akibat kesulitan ekonomi, hanya ada satu jalan menuju kesejahteraan rakyatnya, yaitu tercapainya kembali kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 dan lalu membangun ekonomi pascabebas dari sanksi AS.
Dalam konteks politik dalam negeri, jika perundingan nuklir di Vienna berhasil mencapai kesepakatan kembali ke kesepakatan nuklir Iran tahun 2015, yang dikenal dengan sebutan JCPOA (Joint Comprehensive Plan of Action), itu akan memperkuat posisi kubu moderat Iran yang saat ini diwakili Presiden Hassan Rouhani dalam menghadapi kubu konservatif. Pada gilirannya akan memperkuat peluang kubu moderat untuk memenangi kembali pemilu presiden Iran, Juni nanti.
Dalam konteks politik regional, tercapainya kembali kesepakatan nuklir Iran tahun 2015 adalah sebuah kemenangan Iran atas Israel yang saat ini gigih ingin menggagalkan perundingan Vienna dan tidak ada lagi kesepakatan nuklir Iran. Karena itu, Iran saat ini ingin menggiring Arab Saudi yang selama ini dikenal kontra kesepakatan nuklir Iran 2015, berubah sikap menjadi mendukung kesepakatan nuklir Iran.
Iran tentu berharap bisa membujuk agar Arab Saudi berubah sikap dari menolak menjadi mendukung kesepakatan nuklir, dalam forum dialog Iran-Arab Saudi yang berjalan saat ini. Bagi Teheran, jika terwujud rekonsiliasi Iran-Arab Saudi, hal itu akan meringankan beban Iran pula akibat Abraham Accord, yakni sejumlah negara Arab (Uni Emirat Arab/UEA, Bahrain, Maroko dan Sudan) yang membuka hubungan resmi dengan Israel.
Dalam jangka panjang, rekonsiliasi Iran-Arab Saudi bisa berandil atas terwujudnya konsep keamanan Iran di kawasan Teluk, yakni hengkangnya militer asing dari kawasan Teluk, dan keamanan di kawasan itu berada di tangan negara-negara di kawasan itu sendiri.
Sebaliknya Arab Saudi juga butuh Iran, khususnya untuk bisa segera keluar dari perangkap perang Yaman yang berkecamuk sejak tahun 2015 dan sangat menggerogoti ekonomi Arab Saudi. Arab Saudi mulai melihat Iran adalah kunci dalam penyelesaian perang di Yaman karena hanya Iran yang kini dianggap mampu menekan kelompok Houthi mengakhiri perang di Yaman.
Kepentingan Arab Saudi saat ini bisa keluar dari Yaman secara terhormat karena MBS ingin lebih fokus membangun ekonomi Arab Saudi lewat megaproyek Visi Arab Saudi 2030. Pertaruhan MBS ke depan, khususnya dalam memuluskan menuju takhta sebagai raja Arab Saudi, adalah suksesnya Visi Arab Saudi 2030. Jika segera ada solusi politik di Yaman, MBS ke depan bisa lebih berkonsentrasi menyukseskan Visi Arab Saudi 2030.
Selain itu, rekonsiliasi Iran-Arab Saudi bisa membantu menurunkan ketegangan politik di Lebanon, Palestina dan Irak, serta turut juga membantu dalam upaya mencari solusi politik di Suriah. Selama ini, Iran dan Arab Saudi terlibat perang proksi di Lebanon, Palestina, Irak, dan Suriah.
Dalam konteks internasional, Arab Saudi pun tampaknya sudah melakukan kalkulasi: jika tercapai kesepakatan nuklir baru di Vienna, mereka akan terkucil jika tidak segera melakukan dialog dengan Iran.
Namun, meski dialog Iran-Arab Saudi sudah dimulai, masih terlalui dini untuk optimistis terkait hasil yang diharapkan. Masih butuh serangkaian pertemuan antara kedua pihak itu untuk bisa mengatasi isu-isu besar di Timur Tengah yang selama ini mengganjal hubungan bilateral kedua negara.
Tentu suksesnya perundingan nuklir di Vienna akan sangat membantu pula suksesnya dialog Iran-Arab Saudi. Sebaliknya bila perundingan Vienna gagal, bisa jadi juga akan menghambat suksesnya dialog Iran-Arab Saudi itu. Tetapi, sebaiknya Iran dan Arab Saudi berusaha memisahkan dialog kedua negara itu dari perkembangan perundingan Vienna. Kepentingan kedua negara sesungguhnya sangat besar untuk mencapai kesepakatan rekonsiliasi, terlepas sukses atau gagal perundingan Vienna.