Hubungan tujuh negara demokrasi kaya yang tergabung dalam G-7 dan China diperkirakan memanas menyusul pernyataan bersama yang diumumkan para menteri luar negeri G-7 di London, Inggris, Kamis (6/5/2021).
Oleh
Laraswati Ariadne Anwar
·4 menit baca
LONDON, KAMIS — Hubungan tujuh negara demokrasi kaya yang tergabung dalam G-7 dan China diperkirakan memanas menyusul pernyataan bersama yang diumumkan para menteri luar negeri G-7 di London, Inggris, Kamis (6/5/2021). Konflik akan melebar karena Rusia yang selama ini dekat dengan China juga termasuk dalam pusaran tersebut.
Mengakhiri pertemuan dua hari di London, para menlu G-7 mengumumkan pernyataan bersama. Dokumen mencakup 87 poin tersebut dibacakan bergantian oleh tujuh menteri luar negeri G-7.
G-7 adalah kelompok negara-negara demokrasi kaya yang didirikan pada 1975. Anggotanya meliputi Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Jerman, Perancis, Italia, dan Jepang, serta Uni Eropa (UE).
Melalui pernyataan bersama atau komunike, G-7 ingin membuka kerja sama dengan China di bidang ekonomi, pertahanan, dan kesejahteraan global. Namun, sampiran ini kemudian disusul dengan kritik terhadap China yang dinilai tidak pernah mau bermain sesuai dengan aturan internasional. Contohnya, China melakukan serta membiarkan terjadinya berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap kelompok etnis Uighur dan Tibet.
”Pengekangan kebebasan individu, memasukkan warga kelompok etnis minoritas ke kamp konsentrasi untuk diindoktrinasi, pemberlakuan sterilisasi paksa, dan menghukum warga dengan mengirim mereka ke kamp kerja paksa adalah sangat bertentangan dengan HAM,” kata para menteri dalam komunike.
Komunike juga menegur China atas klaim terhadap Taiwan sebagai wilayah teritorialnya. Sikap ini disamakan dengan perundungan, terutama berkaitan dengan tindakan China yang meningkatkan kegiatan militernya di Selat Taiwan.
G-7 juga mendukung Taiwan agar aktif terlibat dalam berbagai forum yang diadakan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Mereka juga menyambut posisi Taiwan sebagai pengamat dalam Sidang Umum Kesehatan Dunia (World Health Assembly).
Juru Bicara Istana Kepresidenan Taiwan Xavier Chang dalam pernyataan persnya mengutarakan rasa senang dan terima kasih kepada G-7. ”Kami mendukung agenda internasional yang bertujuan menyejahterakan masyarakat dunia, terutama untuk wilayah Indo-Pasifik,” kata Chang.
Komunike para menteri luar negeri G-7 juga mengkritik kebijakan ekonomi China. China diminta mengikuti sistem ekonomi dunia yang berlandaskan pasar bebas dan keadilan. Oleh sebab itu, China diminta menghentikan kebijakan-kebijakan ekonominya yang dianggap oleh G-7 agresif, mengancam, dan memaksa negara lawan bisnis.
Anggota Blok Sosialis Demokrat Parlemen Eropa Raphaël Glucksman saat diwawancarai media AS, CNN, mengatakan, hendaknya UE memakai kekuatan ekonominya untuk menekan China. UE bisa membuat pasar-pasarnya menaikkan tarif atas produk-produk China. ”Cara ini bisa menjadi sanksi atas pelanggaran kebebasan dan HAM oleh China,” ujarnya.
Komunike juga menuding Rusia sebagai pengacau keseimbangan global. Alasannya, Moskwa membangun pangkalan militer di perbatasan Ukraina dan di Crimea sehingga memanas-manasi konflik di wilayah tersebut. Sejauh ini belum ada tanggapan dari Rusia mengenai kritik tersebut.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Wang Wenbin, melalui keterangan pers di Beijing, menyatakan, tudingan G-7 tersebut mengada-ada dan tidak berdasar. Semua tindakan China sudah berlandaskan aturan. ”G-7 jangan sembarangan menuduh China merusak Taiwan. Justru G-7 yang seenaknya ikut campur di urusan internal negara lain,” ujarnya.
Ia juga menekankan bahwa China telah berbuat banyak dalam menangani pandemi Covid-19 melalui penyebaran vaksin ke sejumlah negara miskin dan berkembang. Hal ini berbeda dengan negara-negara G-7 yang justru menimbun vaksin untuk kepentingan sendiri.
Kantor berita China, Xinhua, juga menerbitkan artikel yang menentang keputusan G-7. Mereka mewawancarai sejumlah pakar dari negara-negara Barat.
Direktur Eksekutif Lembaga Kajian Chatham House, Inggris, Robert Nibblett menjabarkan, China merupakan mitra bisnis terbesar di dunia sehingga tidak mungkin bisa diberangus. Lebih baik G-7 menunjukkan sikap yang lebih inklusif dengan memperlakukan China setara dengan mereka.
Ia mengajak G-7 agar fokus kepada isu-isu mutualisme, seperti peningkatan ekonomi dan teknologi. Pengelolaan mahadata digital secara sehat, pengembangan energi baru dan terbarukan, serta pengentasan pandemi Covid-19 dari muka bumi semestinya menjadi landasan kerja sama dengan China.
Martin Jacques, peneliti senior di Departemen Kajian Politik dan Internasional Universitas Cambridge, Inggris, menggambarkan sikap G-7 terhadap China sebagai sesuatu yang picik. Ia berpendapat, G-7 iri karena China berhasil menangani berbagai krisis di dalam negeri. Sementara itu, negara-negara Barat justru sebaliknya, gagal. Ini disebabkan Barat tersandung masalah kesenjangan sosial dan konflik horizontal. (AP/REUTERS)