WTO Sepakat Distribusi Vaksin Tak Adil, 100 Negara Dukung Paten Vaksin Dihapus
Dukungan AS, yang kemudian diikuti oleh Perancis, terhadap penghapusan paten vaksin Covid-19 adalah langkah awal dari perjalanan panjang perundingan WTO. Keputusan WTO membutuhkan konsensus dari 164 negara anggotanya.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
GENEVA, KAMIS — Pembahasan skema pengadaan vaksin multilateral masih belum tuntas. Negara-negara anggota Organisasi Perdagangan Dunia masih merundingkan penghapusan sementara hak paten untuk vaksin Covid-19 sebagai cara meningkatkan akses kepada vaksin. Usulan penghapusan hak paten selama beberapa tahun ini datang dari Afrika Selatan dan India, Oktober lalu.
Usulan itu mendapatkan dukungan dari negara-negara berkembang dan para anggota parlemen progresif dari negara-negara Barat. Namun, gagasan tersebut membuat perusahaan-perusahaan farmasi marah. Mereka menilai penghapusan hak paten vaksin justru akan mengganggu upaya penanganan pandemi Covid-19 dan membahayakan keselamatan rakyat.
Juru bicara Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Keith Rockwell, Rabu (5/5/2021), mengatakan bahwa, meski belum ada keputusan, semua negara anggota WTO sependapat bahwa distribusi vaksin tidak adil dan perlu ada upaya meningkatkan produksi dan distribusi vaksin di negara-negara berkembang.
Negara-negara kaya, seperti Amerika Serikat, semula ragu-ragu dan menentang gagasan itu. Namun, Presiden AS Joe Biden kemudian memberikan dukungan setelah ditekan anggota parlemen dari Partai Demokrat. Kini, lebih dari 100 negara mendukung gagasan tersebut.
Keputusan AS itu disambut baik Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus. Ia menyebut keputusan AS tersebut sebagai ”momen monumental” melawan pandemi.
Dukungan dari AS kemudian diikuti oleh Perancis. Namun, ini baru langkah awal dari perjalanan panjang perundingan WTO. Sebab, keputusan WTO membutuhkan konsensus dari 164 negara anggotanya.
Kepala Perwakilan Dagang AS (USTR) Katherine Tai mengingatkan bahwa AS akan memastikan gagasan itu terlaksana, tetapi prosesnya butuh waktu. ”Pemerintah AS mendukung perlindungan terhadap hak paten, tetapi akan mendukung penghapusan sementara itu agar pandemi segera berakhir,” ujarnya.
Amesh Adalja, pakar kesehatan di Johns Hopkins Center for Health Security, justru khawatir bahwa penghapusan sementara hak paten vaksin itu sama saja dengan mengambil alih hak perusahaan farmasi yang berkat inovasi dan investasi finansialnya berhasil mengembangkan vaksin Covid-19.
Para penentang gagasan tersebut menilai penghapusan hak paten sementara itu bukan solusi. Produksi vaksin itu proses rumit dan tidak bisa ditingkatkan dengan mengurangi kekayaan intelektual. Selain itu, mencabut hak paten justru akan merusak inovasi di masa depan.
Federasi Internasional Perusahaan Farmasi dan Asosiasi (IFPMA) menentang keras gagasan itu karena bukan itu solusi untuk menyelesaikan persoalan sekompleks pandemi Covid-19. Menghapuskan hak paten vaksin Covid-19 tidak kemudian akan meningkatkan produksi vaksin.
Untuk meningkatkan produksi vaksin, menurut IFPMA, seharusnya hambatan-hambatan perdagangan yang dihilangkan, penanganan rantai suplai yang macet, dan memastikan kecukupan bahan-bahan dasar vaksin. Swiss dan Inggris termasuk negara yang menentang gagasan ini karena di sanalah banyak terdapat perusahaan farmasi besar.
Sebaliknya, para pendukung gagasan itu menilai perusahaan farmasi tidak akan banyak merugi karena sifatnya penghapusan sementara saja. Toh, perusahaan farmasi masih bisa menjual vaksin-vaksin lanjutan yang pasti masih akan dibutuhkan di masa depan.
”Ini krisis kesehatan global dan membutuhkan tindakan yang luar biasa, apa pun itu,” kata Katherine Tai.
Dengan penghapusan paten sementara ini, berarti setiap negara bisa memproduksi vaksin tanpa harus mengkhawatirkan soal hak paten. Selain itu, gagasan itu juga mencakup desain industrial, hak cipta, dan perlindungan informasi rahasia. Penghapusan hak paten ini akan bisa berlangsung sampai vaksin tersedia di seluruh dunia dan ketika mayoritas penduduk dunia sudah memiliki ketahanan tubuh terhadap Covid-19.
Negara-negara pendukung gagasan ini, antara lain, adalah Argentina, Bangladesh, Kenya, Kongo, Nigeria, dan Venezuela. Adapun Mesir, Indonesia, dan Maroko merupakan beberapa negara yang memiliki kemampuan memproduksi vaksin apabila hak paten dihapuskan.
WTO telah membentuk panel khusus membahas hak paten ini dan menurut rencana akan bertemu lagi, 8-9 Juni mendatang. ”Perundingan hari ini jauh lebih konstruktif dan pragmatis dan tidak main tunjuk serta menyalahkan seperti pertemuan sebelumnya. Saya rasa semua orang merasa sudah saatnya bekerja sama,” kata Rockwell. (REUTERS/AFP/AP)