Berani Lawan Kremlin? Bisa ”Dibuang” ke Kutub Utara
Siapa saja yang mengkritik atau berbeda pendapat dengan pemerintah Rusia bisa berujung pada pengasingan yang mengatasnamakan wajib militer. Bukan sekadar pengasingan di tempat biasa, tetapi pengasingan di kutub utara.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
Kebebasan berpendapat di Rusia mahal harganya, terutama bagi pengkritik, pembangkang, atau siapa pun yang mendukung kelompok oposisi. Hukumannya tak hanya penjara, tetapi bisa sampai ”dibuang” ke kutub utara dengan alasan wajib militer. Ini dialami aktivis oposisi Ruslan Shaveddinov (25) yang ditangkap aparat kepolisian Rusia di apartemennya pada Desember 2019.
Setelah itu, Shaveddinov dipaksa ikut wajib militer dengan tugas ke kutub utara. Ia tidak diperkenankan memiliki telepon genggam sehingga hanya bisa berkabar dengan saudara dan teman melalui surat yang butuh waktu berminggu-minggu untuk sampai di tangan penerima.
”Mereka mengirim saya ke tempat lain sejauh mungkin dari Rusia,” kata Shaveddinov yang berteman dengan tokoh oposisi Rusia, Alexei Navalny, yang kini mendekam di penjara.
Shaveddinov ”dibuang” selama satu tahun di pos militer yang sangat terpencil dan hanya bisa dicapai dengan helikopter. Tak ada apa pun dan siapa pun di sekitar pos militer itu, kecuali beruang kutub yang kerap berkeliaran. Bahkan, Shaveddinov dan empat rekannya harus mencairkan salju terlebih dulu untuk mendapatkan air yang bisa diminum.
”Saya diasingkan dan tanpa koneksi dengan dunia luar dengan kondisi yang tidak layak huni,” ujarnya.
Kementerian Pertahanan Rusia tidak menjawab permintaan kantor berita AFP yang ingin mendapatkan komentar terkait laporan ini.
Dinas wajib militer merupakan keharusan di Rusia. Lebih dari 250.000 warga berusia 18-27 tahun tercatat harus mengikuti wajib militer. Namun, banyak yang berusaha menghindar dengan alasan kesehatan atau pendidikan. Ada juga yang tidak peduli dan mengabaikan panggilan wajib militer atau memilih membayar uang suap. Namun, bagi mereka yang mendukung oposisi tidak mudah menghindari panggilan wajib militer.
Menurut para aktivis hak asasi manusia dan oposisi, beberapa tahun terakhir panggilan wajib militer menjadi senjata pemerintah untuk membungkam kritik dan siapa saja yang berbeda pendapat dengan pemerintah. Pada kasus Shaveddinov, otoritas sudah mulai mengincarnya ketika para pendukung Navalny menggelar protes menuntut pemilu yang adil.
Beberapa tahun terakhir panggilan wajib militer menjadi senjata pemerintah untuk membungkam kritik dan siapa saja yang berbeda pendapat dengan pemerintah.
Oposisi dan para pendukungnya juga membuat marah otoritas ketika meluncurkan strategi pemungutan suara yang akan membuat kandidat-kandidat terkait dengan Kremlin kalah dalam pemilihan umum lokal.
Sebelum ”dibuang” ke kutub utara, Shaveddinov mengaku sudah memberikan bukti bahwa kondisi kesehatannya sebenarnya tidak memungkinkan ia menjalani wajib militer. Namun, permintaannya tiga kali ditolak. Shaveddinov tidak menyangka dirinya akan dipaksa wajib militer.
Praktik wajib militer ini memang sering dilakukan pada era Soviet yang mengasingkan para pembangkang ke jaringan kamp kerja paksa Gulag. ”Tidak saya sangka praktik itu masih dilakukan Rusia,” ujar Shaveddinov.
Shaveddinov termasuk satu dari tiga sekutu Navalny yang dikirim ke militer tanpa persetujuan mereka selama lima tahun terakhir. Empat orang lainnya sudah menjalani hukuman karena menghindari panggilan wajib militer.
Beberapa tahun sebelum kasus Shaveddinov, pejuang HAM, Oleg Kozlovsky (36), pernah ditahan tahun 2007 dan dikirim ke pangkalan militer di Rusia meski ia saat itu berstatus sebagai mahasiswa.
”Kasus saya merupakan preseden yang berbahaya. Ini metode yang selalu dipakai rezim,” kata Kozlovsky yang kini peneliti di Amnesty International itu.
Praktik lama
Wajib militer yang menjadi ”hukuman tanpa kejahatan” itu, kata Kozlovsky, menjadi cara pemerintah mengisolasi seseorang dan memutus mereka dari dunia luar. Cara ini digunakan ketika pemerintah susah atau tidak mungkin mendakwakan kasus kejahatan terhadap seseorang. Para peneliti meyakini penegak hukum rutin mengirimkan informasi mengenai pengunjuk rasa ke militer untuk memeriksa apakah ada pengunjuk rasa yang tidak memenuhi panggilan wajib militer.
Kozlovsky, merujuk demonstrasi di Moskwa pada musim panas 2019 ketika Komite Investigasi yang menyelidiki kasus kejahatan besar di Rusia, menyatakan telah mengidentifikasi 134 kasus penghindaran wajib militer di antara pengunju krasa yang ditahan. Pada tahun ini, setelah unjuk rasa mendukung Navalny, Januari dan Februari lalu, Kepala Komite Investigasi Alexander Bastrykin memerintahkan penyelidikan apakah ada di antara pengunjuk rasa yang menghindari panggilan wajib militer.
Di kota Luga, sekitar 100 kilometer selatan Saint Petersburg, Margarita Yudina (54) marah karena dua putranya, Robert (24) dan Rostislav (20), baru-baru ini dipanggil untuk wajib militer. Ia menduga itu akibat aktivitas politiknya yang mendukung oposisi. Ia bertekad berjuang untuk kedua anaknya agar tak dikirim ke ”sekolah perbudakan”.
Pada Januari lalu ada rekaman video yang viral yang memperlihatkan Yudina ditendang polisi di bagian perut ketika ikut unjuk rasa mendukung Navalny. Ia mengecam penyerangan itu dan mengajukan tuntutan. ”Ini jelas bentuk tekanan, pelecehan, dan penghinaan, tetapi saya tidak akan banyak bicara dan tidak akan mencari siapa yang memukul saya,” ujar Yudina.
Menurut para ahli, pada 2008 Pemerintah Rusia mengurangi ketentuan waktu menjalani wajib militer dari dua tahun menjadi satu tahun untuk mencegah anggota senior memukuli anggota yang lebih muda. Presiden Rusia Vladimir Putin pernah mengatakan, wajib militer itu sekarang hanya peninggalan sejarah, tetapi ternyata sampai sekarang masih dipraktikkan.
Selama wajib militer itu masih ada, Vsevolod Gunkov (19), aktivis kebebasan sipil di wilayah Altai, Siberia, tetap tidak akan mau menjalaninya. Ia pernah dipanggil menjalani wajib militer, tetapi berhasil lolos, Desember lalu, dengan mengajukan banding. Namun, Gunkov dipanggil lagi, April lalu. Tetapi, ia tetap tidak akan menyerah.
”Kita tidak tahu apa yang akan terjadi. Kita lihat saja nanti,” ujar Gunkov. (AFP)