AS-Barat Galang Aliansi Hadang China-Rusia
G-7 tengah berkonsolidasi sekaligus mengembangkan aliansi guna menghadang ekspansi China dan Rusia yang meluas. Kali ini, narasinya adalah demi menegakkan demokrasi, kebebasan, dan hak asasi manusia.
Kelompok tujuh negara demokrasi kaya alias G-7 tengah berkonsolidasi sekaligus mengembangkan aliansi guna membendung ekspansi China dan Rusia yang meluas. Kali ini, narasinya adalah demi menegakkan demokrasi, kebebasan, dan hak asasi manusia. Konsolidasinya dimulai di London, 4-5 Mei 2021.
Ekspansi untuk memperluas pengaruh sebenarnya adalah nama permainan lama dalam hubungan internasional. Konstelasi ini paling mencolok terjadi ketika dunia terbelah ke dalam dua blok besar, Barat dan Timur. Barat dipimpin Amerika Serikat (AS) bersama dengan negara-negara Eropa Barat. Sementara Timur dipimpin Uni Soviet bersama harimau baru yang sedang tumbuh kala itu, yakni China.
Gejolak yang tengah terjadi di dunia saat ini jelas berbeda dengan era Perang Dingin tersebut. Namun, terdapat beberapa pola yang tidak bisa dinafikan, mirip. Misalnya pola aliansi. AS dan Eropa Barat berkumpul di satu sisi. Sementara di sisi lain Rusia dan China. Masing-masing berusaha memperluas pengaruh globalnya.
Baca juga: Negara-negara G-7 Lempar Sinyal Perlawanan terhadap China-Rusia
Dalam perjalanan rebutan pengaruh mutakhir, Menteri Luar (Menlu) Negeri China Wang Yi bertemu mitranya dari Rusia, Sergey Lavrov, di Guilin, China, 23 Maret 2021. Peristiwa ini berlangsung hanya beberapa hari setelah Wang bertemu dengan Menlu Amerika Serikat Antony Blinken.
Bedanya, China dan AS tampak seperti musuh lama yang bertemu. Blinken, misalnya, menyatakan bahwa tindakan China mengancam aturan-aturan landasan stabilitas global. Hal ini direspons keras oleh Wang dengan mengatakan, AS campur tangan.
Sementara China dan Rusia tampak mesra. Wang dan Lavrov dalam pertemuannya menampilkan gestur persahabatan. Mereka bahkan mengeluarkan pernyataan bersama yang kompak dan mengkritik Washington.
Keduanya menolak tudingan Barat soal catatan hak asasi manusia (HAM). Wang dan Lavrov pun mengeluarkan pernyataan bersama yang menawarkan visi alternatif untuk pemerintahan global. Tatanan internasional yang dipimpin AS, kata Lavrov, ”tidak mewakili keinginan komunitas internasional”.
”Di masa politik global yang makin bergejolak, pertemuan anggota tetap Dewan Keamanan PBB sangat penting untuk menghadirkan dialog langsung tentang cara menyelesaikan persoalan bersama umat manusia demi menjaga kestabilan global,” ujarnya.
Baca juga: Anemia dalam Taktik Biden tentang China (1)
Moskwa kemudian mendemonstrasikan bahwa pertemuan dengan Beijing itu tidak sekadar retorika. Beberapa hari kemudian, Rusia mulai mengumpulkan pasukan di sepanjang perbatasan Ukraina. Itu adalah jumlah terbesar sejak operasi Moskwa di Krimea pada 2014 yang diklaim Barat sebagai pencaplokan wilayah.
China pun mulai menggelar latihan serangan amfibi dan serangan udara ke zona identifikasi pertahanan udara Taiwan yang dipublikasikan secara luas. Langkah militer ini, menurut jurnal Foreign Affairs, telah menghidupkan kembali kekhawatiran di Washington tentang potensi kedekatan hubungan China-Rusia.
Pemerintah AS pun segera merespons. Kompas mencatat, sebelum bertemu Wang, Blinken lebih dulu bertandang ke Jepang dan Korea Selatan. Di Tokyo dan Seoul, Blinken yang ditemani Menteri Pertahanan AS Llyod Austin berusaha menggalang aliansi untuk menghadang China.
Di Tokyo, Austin dan Blinken berhasil mendapatkan pernyataan bersama AS-Jepang yang keras terhadap China. Di Seoul, Blinken dan Austin lebih menekankan soal nuklir Korea Utara. Upaya membangun aliansi guna membendung pengaruh China dan Rusia itu terus dilanjutkan AS bersama para mitranya di kelompok negara tujuh atau yang biasa disebut G-7.
G-7 adalah kelompok negara-negara demokrasi kaya yang didirikan pada 1975. Anggotanya meliputi AS, Inggris, Kanada, Jerman, Perancis, Italia, Uni Eropa, dan Jepang.
Temu menlu
Konferensi Tingkat Tinggi G-7 ke-47 akan digelar 11-13 Juni di London, Inggris. Pertemuan pendahuluan oleh para Menlu G-7 digelar di Inggris, 3-5 Mei. Ini merupakan pertemuan tatap muka perdana selama dua tahun terakhir menyusul pandemi Covid-19.
Dalam pertemuan menlu G-7 itu, Inggris juga mengundang menlu dari Australia, India, Afrika Selatan, Korea Selatan, dan Brunei Darussalam. Pertemuan puncak G-7 di London pada Juni nanti akan menandai kunjungan perdana Presiden AS Joe Biden ke Eropa seusai dilantik sebagai presiden.
Beberapa saat sebelum forum pertemuan para menlu G-7 digelar pada Senin, Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab bertemu dengan koleganya dari AS, Antony Blinken. Dalam pertemuan itu, China dan Rusia dibahas.
Raab mengatakan, Inggris dan AS komitmen membela pandangan tentang masyarakat yang terbuka, demokrasi dan hak asasi manusia, perlindungan tentang kebebasan fundamental, penanganan disinformasi, hingga permintaaan pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM.
”Kami berbicara dengan supremasi hukum sebagai elemen kuncinya. Jadi kami bertekad untuk melakukan reformasi tetapi juga memperkuat sistem multilateral,” kata Raab.
Baca juga: Pertemuan G-7 Jadi Ajang Inggris Menata Ulang Ambisi Globalnya
Sementara menjawab pertanyaan wartawan usai pertemuan bilateralnya dengan Raab, Blinken menyatakan bahwa AS tidak bertujuan untuk menahan sepak terjang China. Hal yang coba dilakukan Washington adalah menegakkan tatanan berbasis aturan internasional.
AS-Inggris juga menyatakan siap melanjutkan kerja sama untuk mengatasi isu HAM di Xinjiang. Upaya serupa juga akan dilakukan atas tindakan keras terhadap aktivis dan politisi pro-demokrasi di Hong Kong—yang melanggar komitmen internasional China—dan penindasan terhadap kebebasan media di seluruh China dan negara mana pun.
Menurut dia, apa yang coba dilakukan Washington adalah menegakkan tatanan berbasis aturan internasional. Aturan-aturan itu diakuinya telah ikut disusun oleh AS selama beberapa dekade.
Terkait dengan Rusia, Blinken mengaku Washington mencermati tindakan dan rencana-rencana Rusia. Mengutip pernyataan Biden sebelum terpilih menjadi presiden AS, ia menegaskan bahwa AS tidak akan tinggal diam jika Rusia memilih untuk bertindak sembarangan atau agresif.
”Kami lebih suka memiliki hubungan yang lebih stabil dan lebih dapat diprediksi. Dan, jika Rusia bergerak ke arah itu, kami juga akan melakukannya, dan saya pikir Presiden Biden akan memiliki kesempatan ketika dia bertemu dengan Presiden Putin untuk membicarakannya secara langsung,” kata Blinken.
Usai pertemuan para menlu G-7 pada Selasa, seorang pejabat senior AS mengatakan, ”tidak ada perselisihan nyata dalam arti apa pun” di dalam kelompok itu tentang China atau masalah lainnya. Para menteri menyuarakan kekhawatiran tentang catatan HAM China, penahanan warga Muslim Uighur, dan kebijakan ekonomi ”koersif” Beijing terhadap negara lain.
Sumber itu menyatakan pembicaraan para menlu itu bukan tentang dan untuk mengoordinasikan tindakan, tapi lebih menemukan landasan bersama bagi negara-negara yang berpikiran serupa.
Mantan anggota Parlemen Eropa, Jonathan Arnott, dalam opininya di media China, CGTN, menilai substansi kebijakan G-7 terhadap China dan Rusia tidak berubah. Hal yang cenderung berubah adalah cara atau gaya kelompok itu merespons dinamika yang terjadi di sekelilingnya.
Bagi AS, misalnya, diplomasi Twitter mungkin telah digantikan oleh diplomasi konvensional. Perubahannya terlihat dengan langkah Washington di bawah Biden yang lebih menekankan pada penguatan sekutunya di seluruh Barat.
”Saya percaya pasti akan ada pertanyaan jangka panjang tentang bagaimana demokrasi Barat berinteraksi dengan pengaruh China yang tumbuh pada ekonomi dunia. Tidak hanya ada garis pemisah budaya dalam pengertian tradisional, tetapi juga dalam hal pendekatan terhadap sifat fundamental dari apa yang harus dicapai pemerintah,” kata Arnott.
Arnott menilai, Barat berfokus pada hak individu. Sementara China lebih menekankan pendekatan praktis untuk kebaikan publik secara keseluruhan. Barat berfokus pada perubahan jangka pendek yang didorong oleh pemilu. China fokus pada pembangunan melalui beberapa generasi. Barat mengikis kekuatan negara-bangsa. Sementara China sangat melindungi integritas teritorialnya.
Merujuk The Moscow Times, China baru-baru ini merilis rencana pembangunan lima tahunannya yang ke-14, mencakup 2021-2025. Dalam kurun waktu itu, China menargetkan dua sasaran strategis sekaligus, yakni menggandakan produk domestik bruto (PDB) pada 2035 dari posisi 2020 dan mencapai status negara berpendapatan tinggi alias maju. Pada periode 2027-2028, China berpeluang melengserkan AS sebagai kekuatan ekonomi terbesar di dunia dalam ukuran PDB.
Dalam konteks itu, Rusia akan semakin terintegrasi dengan China. Kerja sama teknologi antarkedua negara akan makin intensif. Termasuk di dalamnya adalah teknologi persenjataan. (AP/AFP/REUTERS)