Kerapuhan India akibat Covid-19 Layak Jadi Pelajaran
Para ahli memperkirakan puncak Covid-19 di India bakal datang pada pertengahan Mei ini. Tak terbayangkan bagaimana krisis saat ini bisa memburuk dan kerugian yang disebabkannya.
Ada pengalaman yang menantang sekaligus menggugah rasa kemanusiaan ketika kita menyaksikan kremasi umat Hindu di kota-kota dan di desa-desa di India. Jenazah dibakar di atas tumpukan kayu yang berjajar di lapangan atau tempat terbuka tak jauh dari rumah-rumah warga.
Di jalan di dekatnya banyak ambulans berbaris menunggu giliran untuk menurunkan jenazah. Pemandangan itu banyak terjadi di New Delhi, hingga di kota-kota kecil yang jauh dari ibu kota.
Ada juga yang menunggu di samping jenazah sambil menggendong seikat kayu bakar di Ghazipur, Uttar Pradesh. Keluarga yang berduka menunggu dalam antrean sambil berlinangan air mata karena telah kehilangan orang-orang terkasih. Kadang juga berkelahi dengan sesama pelayat untuk mendapatkan kayu bakar dan ruang atau tempat buat menjalankan kremasi.
”Menyaksikan kremasi umat Hindu, saat jenazah dibakar di atas tumpukan kayu di tempat terbuka, adalah pengalaman yang amat menegangkan,” tulis Aarti Betigeri, jurnalis senior multiplatform, asal Canberra, Australia, di situs Lowy Institute, Senin (3/5/2021).
Jenazah diletakkan pada undakan yang terbuat dari semen. Sebuah tumpukan kayu bakar didirikan mengelilingi jenazah, membentuk piramida atau kerucut, sehingga terlihat ada ruang untuk membantu api bisa membesar. Minyak samin atau ghee dilumaskan pada tumpukan kayu itu untuk mengobarkan nyala api.
”Saat Anda menyaksikan api menyala dan dengan serbuk-serbuk abu beterbangan tinggi di sekelilingnya, Anda berduka dan merenung. Namun, saat api padam dan sisa-sisa jenazah jatuh lagi ke Bumi, Anda masuk ke dalam penerimaan. Ritual itu mentah, primal dan bersahaja, tetapi di atas semuanya itu ada perasaan yang mengharukan,” kata Betigeri.
Baca Juga: Mari Belajar dari Kengerian akibat Covid-19 di India
Kremasi terbuka membutuhkan bahan bakar dan ruang, tetapi yang paling penting lagi adalah waktu. Diperlukan waktu 1 jam atau lebih hingga jenazah menjadi abu, ”melepaskan jiwa” mereka. Proses itu tentu saja tidak boleh dilakukan dengan tergesa-gesa. Tidak terbayangkan, dengan begitu banyak antrean, seseorang atau satu keluarga harus segera mengucapkan selamat tinggal dan melepaskan kematian orang-orang terkasih.
Banyak krematorium darurat sekarang dibangun di tempat parkir mobil dan taman di seluruh ibu kota New Delhi. Sementara itu, pohon-pohon ditebang untuk mendapatkan kayu bakar yang berkualitas, yang berarti luka akibat pandemi Covid-19 di New Delhi kini juga terlihat secara fisik.
Terus bertambah
Hampir sebulan ini India lunglai akibat dilanda pandemi Covid-19. Situasi yang digambarkan sebagai ”bencana terburuk yang mengerikan” itu sebenarnya belum mencapai puncaknya. Kurva lonjakan kasus masih terus menjulang, dengan puncak diperkirakan akan terjadi pada pertengahan Mei ini.
Situs berita Times of India, Rabu (5/5), melaporkan, kematian akibat Covid-19 terus melonjak dengan lima negara bagian melaporkan korban harian tertinggi pada Selasa setelah tiga hari berturut-turut sempat menurun. Namun, dalam seminggu terakhir, jumlah kasus baru meningkat 22 persen sehingga total telah mencapai lebih dari 20 juta kasus infeksi.
India mencatat 3.460 kasus kematian dalam 24 jam terakhir, Selasa kemarin. Korban tewas harian tertinggi tercatat 3.728 kasus pada Sabtu lalu. Lonjakan infeksi baru masih tetap tinggi, yakni 362.577 kasus, Senin (3/5), meski telah menurun dari Jumat pekan lalu yang mencapai 402.000 kasus harian.
Baca Juga: Kasus Covid-19 di India Menembus Angka 20 Juta
Jumlah sebenarnya korban pandemi Covid-19 di India tidak akan pernah diketahui dan diperkirakan bisa jauh lebih besar. Banyak kasus di pelosok-pelosok yang menimpa keluarga miskin dan papa tidak terlaporkan dengan baik.
Krisis di New Delhi dan berbagai tempat lain di India saat ini, di mana gelombang Covid-19 telah ”meledak seperti bom” telah memicu duka yang tak terperikan di negara itu. Covid-19 tidak membeda-bedakan agama, kasta, atau status ekonomi karena mereka sama-sama telah menjadi korban. Covid-19 tak membedakan kasta Brahmana dan kasta ”kaum terlupakan” Dalit.
Infrastruktur kesehatan di New Delhi sudah terbebani, bahkan sebagian di antaranya telah usang dan tidak efektif. Dapat dibayangkan apa yang terjadi di pelosok-pelosok India yang miskin. Saat ini, layanan kesehatan di India tertatih-tatih di ambang kehancuran. Delhi adalah kota yang sedang ”tercekik hampir mati” akibat pandemi.
Situasi yang saat ini digambarkan terburuk itu menurut para ahli bukanlah puncaknya. Hal terburuk sesungguhnya masih belum datang. Para ahli memprediksi, puncak gelombang Covid-19 kali ini akan datang sekitar pertengahan Mei 2021. Tidak terbayangkan, bagaimana krisis saat ini bisa memburuk dan berapa banyak kerugian yang akan terjadi.
Krisis akibat Covid-19 belakangan ini juga telah mengungkapkan betapa rapuhnya hubungan bilateral yang telah dipelihara dengan sangat hati-hati. Orang India marah, tidak hanya kepada pemerintah mereka sendiri, tetapi juga kepada komunitas internasional.
Mereka marah karena, saat mereka membutuhkan bantuan, mereka merasa diabaikan atau direndahkan, seperti komentar Kanselir Jerman Angela Merkel tentang Eropa yang ”mengizinkan” India menjadi apotik dunia. Pada waktu yang sama Australia menutup perbatasan, sekalipun untuk warga Australia di India, karena khawatir pada penularan.
India adalah negara yang terlalu padat penduduknya dan terlalu terfragmentasi untuk dapat diatur. India memang disebut negara demokrasi, serta mencatatkan pertumbuhan ekonomi. ”Namun, semua hal yang baik itu terjadi karena rakyatnya, bukan para penguasanya,” kata Aarti Betigeri.
Sistem kesehatan swasta berkembang pesat, termasuk fasilitas vaksin yang mengeluarkan Covidshield. Fasilitas itu sejatinya adalah perusahaan swasta dengan satu pemegang saham. Di India, sekolah, rumah sakit, dan fasilitas perawatan jompo diprivatisasi jika memungkinkan. Padahal, kata Betigeri, tumbuhnya sistem kesehatan swasta membuat warga kesulitan untuk mengakses layanan kesehatan masyarakat.
Kehadiran LSM, yang memiliki jejaring luas dan kini menjadi bagian penting dari sistem ekonomi di India, secara teratur masuk ke dalam layanan yang seharusnya didanai pemerintah. Akan tetapi, saat ini situasi itu menjadi perdebatan karena tidak seorang pun, baik pihak swasta maupun publik, yang dapat mengakses pasokan oksigen.
Rakyat India berhak bangga karena telah menemukan solusi untuk kegagalan sistemik pemerintah dengan menciptakan sistem privat paralel, tetapi mungkin itu kontraproduktif. Sebagai catatan, India memiliki basis pajak yang sangat rendah, dengan hanya antara 1 dan 3 persen tenaga kerja yang membayar pajak.
Baca Juga: Lonjakan Kasus Covid-19 di India Semakin Tak Terbendung
Di tengah kesulitan memperoleh pasokan oksigen medis, sejumlah pihak mengambil langkah sendiri. Pengusaha di belakang layanan kurir Delhivery, misalnya, mengumumkan mereka telah menyewa penerbangan dari China untuk membantu membawa kompresor oksigen. PM-CARES Fund, yang dimaksudkan untuk mendanai 162 pabrik oksigen di 14 negara bagian, menerima dukungan 50.000 dollar AS dari pemain kriket Australia, Pat Cummins.
Betigeri mengatakan, grup Whatsapp keluarganya, di mana banyak kerabatnya kerap menyanjung tinggi Perdana Menteri India Narendra Modi, kini memilih untuk mengunggah foto vaksinasi pertama dan kedua mereka.
Tidak diragukan lagi, tulis Betigeri, Modi telah kehilangan dukungan yang sangat besar di India atas kesalahan penanganan krisis oleh pemerintahnya. ”Kesalahan” itu tampak dari kegagalan mengantisipasi pandemi gelombang kedua, kegagalan menopang infrastruktur kesehatan yang sesuai, hingga tetap menggelar kampanye pemilu di Benggala Barat.
Krisis Covid-19 di India juga memberi tantangan besar pertama bagi Quadrilateral Security Dialogue (Quad). Quad yang digawangi oleh Amerika Serikat, Australia, India, dan Jepang, menurut Menteri Luar Negeri India S Jaishankar dalam konferensi multilateral Raisina Dialogue bergerak dalam isu keamanan. Sebagai mekanisme kerja sama keamanan, Quad diklaim telah bekerja sama dalam menangani berbagai isu, seperti kontraterorisme, rantai pasokan, pendidikan tinggi, dan vaksin.
Baca Juga: Pelajaran dari India, Jangan Pernah Kendurkan Protokol Kesehatan
Akan tetapi, ketika beban kasus Covid-19 di India meledak pada pekan berikutnya, kerja sama vaksin itu nyaris tidak terlihat. Amerika Serikat dikecam karena terus menahan bahan mentah yang dibutuhkan untuk produksi vaksin.
Meskipun bergerak cepat untuk mengirimkan banyak pasokan bantuan melalui jalur udara, pemerintahan AS dapat kehilangan dukungan atas niat baik itu. Banyak warga India, melalui media sosial, mengkritik AS yang dianggap mengutamakan kepentingan pribadi mereka sendiri.
Australia juga telah mengirimkan bantuan kemanusiaan, termasuk konsentrator oksigen dan alat pelindung diri. Namun, dirundung akibat keputusan Canberra untuk menutup penerbangan antara kedua negara, bahkan untuk warga negara Australia di India dan keluarga mereka. Banyak warga merujuk pada kebijakan: tidak melarang penerbangan ketika kasus penularan Covid-19 di Inggris dan AS mencapai puncaknya.
Krisis itu secara tidak langsung memperlihatkan reputasi buruk tiga anggota Quad, yaitu xenofobia Australia, perasaan eksepsionalisme AS, dan ketidakmampuan India.
Betigeri mengaku beruntung tidak kehilangan teman atau anggota keluarga. Namun, kesedihan yang dirasakannya sangat dalam setiap kali ia mengikuti pemberitaan via media sosial. Beragam unggahan tentang permintaan bantuan oksigen medis, tempat di unit perawatan intensif dan tempat di ruang perawatan, hingga uang serta remdesivir membuat Betigeri prihatin.
Walau demikian, India yang berhasrat menjadi salah satu pemimpin global baru tidak memerlukan bantuan. India membutuhkan infrastruktur yang lebih baik dan pemimpin yang lebih peduli kepada rakyatnya daripada kekuasaan. Semua itu membutuhkan perbaikan sistemik total.
Tidak peduli sudah berapa banyak uang yang terkumpul, tetapi uang tidak bisa segera dipakai karena rak toko obat yang kosong tidak dapat diisi ulang secara cepat. Sistem perawatan kesehatan yang hancur di India tidak dapat dibangun kembali dalam semalam.
Kondisi itu membuat India nyaris lumpuh saat menghadapi kasus baru Covid-19 yang kini angkanya terus melonjak naik. Situasi di India ini mestinya membuat dunia, termasuk Indonesia, membuka mata, disiplin menjalankan protokol kesehatan, menghindari kerumunan, serta tidak menyepelekan hal-hal terkecil sekalipun dalam menghadapi pandemi Covid-19.