Tanpa Banyak Bicara, Remaja India Bergerak Atasi Covid-19
Tanpa banyak bicara dan wacana, anak-anak muda India bergerak bersama menjadi sukarelawan membantu pasien Covid-19 mencari ketersediaan oksigen, obat-obatan, dan dipan di rumah sakit.
Oleh
Luki Aulia
·4 menit baca
”The young do not know enough to be prudent, and therefore they attempt the impossible, and achieve it, generation after generation.” (Pearl S Buck)
Begitu selesai ujian sekolah, Swadha Prasad (17) segera sibuk mencarikan oksigen, obat-obatan, dan dipan rumah sakit untuk pasien Covid-19 di India. Di saat Pemerintah India kewalahan menangani lonjakan kasus Covid-19, anak muda India bergerak cepat bersama-sama tanpa banyak wacana membantu mengatasi kekurangan oksigen, obat-obatan, dan dipan di rumah sakit.
Awalnya, anak-anak muda India merancang aplikasi bantuan dengan mekanisme crowdsource atau urun daya. Melalui aplikasi itu, mereka menggalang masyarakat untuk ikut membantu. Mereka juga mengirimkan barang-barang yang dibutuhkan dan memanfaatkan media sosial untuk langsung menghubungkan antara penyedia dan orang-orang yang membutuhkan.
Prasad tak bekerja sendirian. Puluhan anak muda berusia 14 -19 tahun tergabung menjadi sukarelawan di organisasi-organisasi anak muda, antara lain UNCUT. Organisasi anak muda seperti ini membangun jaringan pusat data yang berisi informasi terkait sumber-sumber pengobatan yang tersedia di seluruh India. Anak-anak muda ini bekerja secara bergantian tanpa henti selama 24 jam.
Para remaja sukarelawan itu menelepon ke sana kemari mencari dan memverifikasi ketersediaan stok oksigen, obat-obatan, dan dipan. Semua informasi itu lalu langsung diunggah dan selalu diperbarui. Mereka juga tak pernah berhenti menerima telepon permintaan akan kebutuhan alat-alat medis itu dari warga yang membutuhkan.
”Sebagian ada yang dapat giliran tugas dari tengah malam sampai pagi karena setiap saat selalu ada telepon masuk. Memang terkadang capek, tetapi tidak apa-apa karena saya bisa menyelamatkan nyawa orang lain,” kata Prasad yang hampir setiap hari bekerja selama 14 jam tanpa henti di Mumbai.
Rasanya bangga campur haru ketika Prasad betul-betul bisa membantu orang lain. Ini terjadi ketika ia dan timnya akhirnya bisa mendapatkan oksigen untuk pasien Covid-19 setelah menunggu selama dua jam saat tengah malam. ”Kami tidak hanya membantu memberikan informasi sumber, tetapi terkadang orang hanya perlu tahu bahwa mereka tidak sendirian dalam kondisi seperti ini,” ujarnya.
Solidaritas
India termasuk negara yang muda karena dua pertiga jumlah penduduknya berusia di bawah 35 tahun. Jumlah penduduk India kini sekitar 1,3 miliar jiwa. Meski memiliki banyak anak muda, mereka tidak pernah diajak berpartisipasi membantu menangani persoalan negara. Tanpa diminta, anak muda India bergerak sendiri begitu kasus Covid-19 melonjak dan banyak warga yang tewas sehingga krematorium pun kewalahan.
Seperti halnya Prasad, Shanawaz Shaikh (32) juga berhasil menyediakan oksigen gratis bagi ribuan orang yang tinggal di kawasan permukiman kumuh di Mumbai. Shaikh yang kini dikenal sebagai ”laki-laki oksigen” menjual mobilnya, Juni lalu, untuk membiayai inisiatif bantuan oksigen. Ide ini muncul ketika ada saudara temannya yang tewas di becak saat hendak dibawa ke rumah sakit. ”Ia meninggal karena terlambat mendapatkan oksigen,” ujarnya.
Shaikh tidak menyangka akan ada banyak orang yang meminta tolong dicarikan oksigen. Tahun lalu hanya ada sekitar 40 penelepon setiap harinya. Kini, minimal ada 500 penelepon yang ditangani 20 sukarelawan setiap hari. Krisis oksigen ini diperparah dengan orang-orang yang memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan dengan mengeruk keuntungan dari harga oksigen yang dipatok tinggi.
”Kadang-kadang kami sampai harus mencari oksigen ke lokasi yang jauhnya sampai puluhan kilometer,” kata Shaikh.
Tantangan
Namun, upaya ini tak selalu mulus. Salah satu tantangannya ada pada keterbatasan teknologi, terutama karena sekarang lebih banyak kasus Covid-19 yang menerjang kota-kota kecil dan desa. Teknisi peranti lunak, Umang Galaiya (25), mengatakan, media sosial seperti Twitter kebanjiran permintaan akan oksigen dan alat medis lain.
Untuk mempermudah proses, Galaiya membuatkan aplikasi yang memudahkan pengguna mencari sendiri apa pun yang dibutuhkan. Informasi yang akan tersedia pun hanya informasi tentang sumber-sumber yang tepercaya.
Sayangnya, aplikasi ini belum bisa membantu masyarakat yang tinggal di luar kota-kota besar, seperti di Negara Bagian Gujarat. Di kampung halaman Galaiya itu masih banyak orang yang belum memanfaatkan jaringan internet. Padahal, mayoritas kasus Covid-19 ada di Gujarat. Galaiya mengakui pandemi Covid-19 tidak akan bisa tertangani tanpa keterlibatan pemerintah.
”Pemerintah mestinya bisa memberi informasi terbaru yang diunggah secara otomatis, misalnya soal ketersediaan dipan di rumah sakit agar warga tak perlu susah payah ke sana kemari. Kalau beli tiket bioskop saja bisa online, mengapa rumah sakit tidak bisa,” kata Galaiya yang tinggal di Bangalore.
Meski sangat membantu, Galaiya menilai upaya anak-anak muda India ini juga tidak akan mampu bertahan lama. Para sukarelawan lama-kelamaan juga akan kehabisan energi ketika kasus Covid-19 juga melonjak di kota-kota mereka. Bahkan, ada juga sukarelawan yang mulai trauma karena harus mendengar atau melihat orang sakit dan tewas setiap hari.
”Kami sudah bekerja keras setiap hari, tetapi kami tidak bisa menyelamatkan semua orang,” kata Prasad yang pernah gagal membantu ibu-ibu berusia 80 tahun yang akhirnya tewas.
Banyak yang mengaku masih merasa stres meski mereka sesekali beristirahat sambil menonton film bersama-sama lewat Zoom sebagai salah satu cara melepaskan stres. ”Orangtua saya khawatir saya stres. Namun, kalau ada teman orangtua saya juga butuh bantuan, orangtua saya juga minta tolong ke saya,” kata Prasad. (AFP)