Negara-negara G-7 Lempar Sinyal Perlawanan terhadap China-Rusia
Menlu AS Antony Blinken menyatakan, AS tidak ingin menahan sepak terjang China. Yang dilakukan AS adalah menegakkan tatanan berbasis aturan internasional. Soal Rusia, AS tidak tinggal diam jika Rusia bertindak agresif.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
LONDON, SELASA — Konferensi Tingkat Tinggi ke-47 G-7 akan digelar pada 11-13 Juni di Inggris. Namun, pertemuan pendahuluan oleh para menteri luar negeri G-7 yang digelar di Inggris, 3-5 Mei ini, sudah melemparkan sinyal perlawanan G-7 terhadap Rusia dan China.
Tujuh negara demokrasi yang tergabung dalam kelompok G-7 pada Selasa (4/5/2021) ini berupaya menyepakati sikap yang jelas dan tegas untuk melindungi demokrasi, kebebasan, dan hak asasi manusia dari kekuatan autokrasi, seperti yang ditimbulkan oleh China dan Rusia. G-7 disebut-sebut mengejar strategi itu tanpa menahan sikap dan tindakan Beijing sekaligus menginginkan hubungan yang lebih stabil dengan Kremlin.
Inggris mulai Senin hingga Rabu (3-5/5/2021) menjadi tuan rumah pertemuan tatap muka pertama para menteri luar negeri negara-negara anggota G-7 dalam dua tahun terakhir. Pertemuan di London itu juga akan mempersiapkan landasan untuk Konferensi Tingkat Tinggi G-7 di Inggris bulan depan. Konferensi itu dijadwalkan menjadi penanda kunjungan perdana Presiden AS Joe Biden ke Eropa seusai dilantik sebagai presiden.
G-7 adalah kelompok negara-negara demokrasi kaya yang didirikan pada 1975. Anggotanya meliputi Amerika Serikat, Inggris, Kanada, Jerman, Perancis, Italia, dan Jepang plus Uni Eropa. Pertemuan para menlu G-7 selain dihadiri negara-negara anggota G-7. Inggris juga mengundang menteri luar negeri Australia, India, Afrika Selatan, Korea Selatan, dan Brunei Darussalam sebagai wakil ASEAN, ke London pada pekan ini.
Inggris menilai forum itu menjadi kesempatan untuk memperkuat dukungan pada sistem internasional yang berbasis aturan di saat pengaruh ekonomi China meluas, sementara aktivitas Rusia dinilai sebagai ancaman. ”Kekuatan Inggris di G-7 merupakan kesempatan untuk menyatukan masyarakat yang terbuka dan demokratis serta menunjukkan persatuan pada saat yang sangat dibutuhkan untuk mengatasi tantangan bersama dan meningkatnya ancaman,” kata Menteri Luar Negeri Inggris Dominic Raab dalam sebuah pernyataan.
Beberapa saat sebelum forum pertemuan para menlu G7 digelar pada Senin, Raab bertemu dengan koleganya dari AS, Antony Blinken. Keduanya membahas dinamika China dan Rusia serta sejumlah isu lain.
Raab mengungkapkan, dirinya berbicara tentang komitmen bersama kedua negara untuk membela pandangan tentang suatu masyarakat yang terbuka, demokrasi dan hak asasi manusia, melindungi kebebasan fundamental, menangani disinformasi, hingga meminta pertanggungjawaban atas pelanggaran HAM.
”Kami berbicara dengan elemen kunci adalah mempertahankan supremasi hukum, jadi kami bertekad melakukan reformasi, tetapi juga memperkuat sistem multilateral,” kata Raab.
Blinken menyatakan AS tidak bertujuan menahan sepak terjang China. Yang coba dilakukan Washington adalah menegakkan tatanan berbasis aturan internasional.
Menjawab pertanyaan pers usai pertemuan bilateralnya dengan Raab, Blinken menyatakan bahwa AS tidak bertujuan untuk mencoba menahan sepak terjang China. Hal yang coba dilakukan Washington adalah menegakkan tatanan berbasis aturan internasional. Aturan-aturan itu diakuinya telah disusun oleh AS selama beberapa dekade.
Blinken menjelaskan, pihaknya berbicara tentang ancaman terhadap tatanan berbasis aturan internasional dan nilai-nilai demokrasi dan HAM. Ia menyatakan, bersama Inggris, AS baru-baru ini telah mengambil tindakan untuk mencegah para pebisnis Inggris dan AS secara tidak sengaja mendukung kerja paksa di Xinjiang dan di tempat-tempat lain di China.
AS-Inggris juga dikatakannya siap melanjutkan kerja sama untuk mengatasi kekejaman di Xinjiang. Selain itu, kedua negara juga mengambil sikap yang sama atas tindakan keras terhadap aktivis dan politisi pro-demokrasi di Hong Kong, yang melanggar komitmen internasional China, dan penindasan terhadap kebebasan media di seluruh China dan di bagian lain dunia.
Efek positif atas aturan-aturan itu, menurut Blinken, tidak ditujukan dan dinikmati semata oleh AS, tetapi juga oleh orang-orang di seluruh dunia, termasuk China. ”Ketika negara mana pun, China atau lainnya, mengambil tindakan yang menantang atau merusak atau berusaha mengikis tatanan berbasis aturan itu dan tidak memenuhi komitmen yang telah mereka buat untuk tatanan itu, kami akan membela dan mempertahankan tatanan tersebut,” kata Blinken.
Hadapi agresivitas Rusia
Terkait dengan Rusia, Blinken mengaku Washington mencermati tindakan dan rencana-rencana Rusia. Mengutip pernyataan Biden sejak Biden belum terpilih menjadi presiden AS, ia menegaskan bahwa AS tidak akan tinggal diam jika Rusia memilih untuk bertindak sembarangan atau agresif.
”Kami lebih suka memiliki hubungan yang lebih stabil dan lebih dapat diprediksi. Dan jika Rusia bergerak ke arah itu, kami juga akan melakukannya, dan saya pikir Presiden Biden akan memiliki kesempatan ketika dia bertemu dengan Presiden Putin untuk membicarakannya secara langsung,” kata Blinken.
Blinken mengakui ada bidang-bidang yang secara nyata menjadi kepentingan AS dan Rusia. Hal-hal itu menjadikan kedua pihak mau tidak mau harus bekerja sama sekaligus menempatkan stabilitas strategis bersama di tempat teratas. Untuk itu, AS dan Rusia telah memperpanjang Perjanjian Pengurangan Senjata Strategis yang baru selama lima tahun ke depan sekalipun ada perbedaan besar antara kedua negara.
Blinken berterima kasih kepada Inggris karena telah bergabung dengan AS dalam meminta pertanggungjawaban Rusia atas tindakannya yang dianggap agresif. Kedua negara telah menegaskan kembali dukungan teguh untuk kemerdekaan, kedaulatan, dan integritas teritorial Ukraina.
Blinken pada akhir pekan ini akan mengunjungi Ukraina seusai kunjungannya di London itu. Ia juga menyambut baik pengumuman baru-baru ini tentang perpanjangan sanksi Global Magnitsky untuk memerangi pelanggaran HAM di Rusia.
Merujuk laporan The Moscow Times, China baru-baru ini merilis rencana pembangunan lima tahunannya ke-14 yang mencakup periode 2021-2025. Dalam kurun waktu lima tahun ke depan, China menargetkan mencapai dua sasaran strategis, yakni menggandakan produk domestik bruto (PDB) pada 2035 dari posisi 2020 dan mencapai status negara berpendapatan tinggi alias maju. Pada periode 2027-2028, ada peluang China akan melengserkan AS sebagai kekuatan ekonomi terbesar di dunia dalam ukuran PDB.
Seiring dengan konfrontasi China yang terus berjalan dengan dunia Barat, Rusia akan semakin terintegrasi dengan China. Kerja sama teknologi antarkedua negara juga terus berlangsung. Termasuk di dalamnya adalah teknologi persenjataan. (AFP/REUTERS)