Australia Tinjau Kesepakatan Pengelolaan Pelabuhan Darwin oleh Perusahaan China
Hubungan Australia dan China terus memburuk setelah Australia tahun lalu mendesak agar ada penyelidikan internasional untuk mencari tahu asal muasal Covid-19 di China.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
SYDNEY, SENIN — Pemerintah Australia akan mengkaji kembali kesepakatan penyewaan pelabuhan komersial dan militer di Darwin selama 99 tahun oleh perusahaan asal China, Grup Landbridge, milik miliarder China, Ye Cheng. Alasannya, demi keamanan nasional Australia. Langkah ini dikhawatirkan akan memperburuk hubungan Australia dan China.
Harian Sydney Morning Herald, Minggu (2/5/2021), mengutip Menteri Pertahanan Australia Peter Dutton, menyebutkan, komite keamanan nasional Australia sudah meminta departemen pertahanan mengkaji dan memberikan masukan terkait penyewaan itu. Landbridge memiliki hubungan dekat dengan militer China. Ia pada 2015 memenangi tender pengoperasian pelabuhan di Darwin, ibu kota Teritorial Utara, dengan nilai 390 juta dollar AS.
Keputusan Australia memberikan penyewaan pelabuhan itu kepada perusahaan China sempat meresahkan Amerika Serikat karena pelabuhan itu berada di sisi selatan wilayah operasional AS di Pasifik. Presiden AS Barack Obama pada waktu itu marah kepada Perdana Menteri Australia Malcolm Turnbull karena tidak memberitahukan hal tersebut sebelumnya.
Pada pekan lalu, PM Australia Scott Morrison menegaskan bahwa ia akan bertindak atas nama pemilik pelabuhan jika ada masalah keamanan nasional.
Australia merombak undang-undang investasi asingnya tahun ini. Langkah itu memberikan kekuatan kepada pemerintah untuk mengubah atau memberlakukan ketentuan-ketentuan baru pada kesepakatan yang sudah ada. Bahkan, kesepakatan yang ada tetap bisa diubah meski kesepakatan itu disetujui oleh Badan Penanaman dan Peninjau Modal Asing.
Hubungan antara Australia dan China memburuk setelah Australia tahun lalu mendesak agar ada penyelidikan internasional untuk mencari tahu asal muasal Covid-19 di China. Keduanya semakin tegang karena Australia juga melarang perusahaan telekomunikasi raksasa China, Huawei, membangun jaringan 5G di Australia dan memperketat aturan investasi asing bagi perusahaan.
China menjadi semakin marah pada Australia ketika pada akhir April lalu Australia tiba-tiba membatalkan kesepakatan Prakarsa Sabuk dan Jalan (Belt and Road Initiative/BRI). Prakarsa tersebut merupakan bagian dari rencana Pemerintah China menghidupkan kembali kejayaan jalur sutra pada abad ke-21.
China memperingatkan Australia agar tidak membuat kesalahan besar karena China bisa membalas. Australia mengaku tidak takut pada gertakan China.
Pemerintah federal Australia telah membatalkan kesepakatan BRI dengan Negara Bagian Victoria dengan alasan agar Australia tidak menjadi tuan rumah infrastruktur yang akan dimanfaatkan untuk propaganda. Selain itu, BRI juga dinilai tidak seiring sejalan dengan kebijakan luar negeri Australia.
Menhan Australia Peter Dutton menegaskan bahwa Pemerintah Australia tidak ada masalah dengan rakyat China. Masalah yang ada lebih terkait dengan nilai-nilai atau pandangan Partai Komunis China (PKC).
PM Morrison berjanji memastikan Australia memiliki kebijakan luar negeri yang konsisten memperjuangkan ”dunia yang seimbang demi kebebasan”. BRI merupakan pandangan masa depan Presiden China Xi Jinping untuk Asia, tetapi semua bermuara ke China.
Menurut pakar hubungan Australia-China di Lowy Institute, Peter Cai, langkah berani Australia ini menunjukkan ketidakstabilan politik atau hubungan luar negeri akan memengaruhi dorongan infastruktur global China.
Perang dagang Australia dan China juga berlangsung sengit. China sudah menetapkan bea cukai besar pada puluhan industri Australia, termasuk anggur, jelai, dan batubara. Langkah ini dilakukan China untuk membalas Australia. (REUTERS/AFP)