Hubungan Amerika Serikat-Rusia dinilai dalam kondisi buruk, lebih buruk dibanding pada masa Perang Dingin. Rusia mendesak AS untuk menghormati Kremlin.
Oleh
Mahdi Muhammad
·3 menit baca
MOSKWA, KAMIS — Hubungan diplomatik Rusia dan Amerika Serikat dinilai berada dalam kondisi lebih buruk dibandingkan dengan pada masa Perang Dingin di era 1990-an. Rusia menyatakan, hal itu bisa terjadi karena kurangnya rasa saling menghormati.
Akan tetapi, Moskwa bersedia menormalisasi hubungannya dengan Washington dengan catatan, AS harus berhenti mendikte dan bersikap seperti mendaulat sambil menggalang dukungan dari para sekutunya untuk melawan Rusia dan China.
”Selama Perang Dingin, ketegangan meningkat tinggi dan situasi krisis berisiko sering muncul. Tetapi, ada juga rasa saling menghormati. Saya rasa, saat ini ada defisit dalam hal saling menghormati,” kata Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov, Rabu (28/4/2021). Dia menambahkan, jika AS menghindari dialog, yang dilakukan atas dasar saling menghormati satu sama lain dan berdasarkan keseimbangan kepentingan, kedua negara akan hidup dalam kondisi Perang Dingin atau lebih buruk.
Hubungan kedua negara saat ini tengah memanas setelah pada awal April Pemerintah AS menjatuhkan sanksi kepada Rusia karena ikut campur dalam pemilihan presiden November 2020. Selain itu, sanksi juga dijatuhkan kepada Rusia karena keterlibatannya dalam peretasan SolarWInd atas sejumlah badan federal. Seluruh tudingan ini dibantah Moskwa.
Selain itu, perselisihan kedua negara juga dipicu penangkapan tokoh oposisi Alexei Navalny. Tokoh oposisi itu ditangkap saat dirinya tiba di Moskwa seusai menjalani pengobatan di Jerman beberapa waktu lalu. Sebelumnya, Pemerintah AS dan sejumlah negara Eropa menuding Navalny diracun oleh agen intelijen Pemerintah Rusia, GRU. Hal lain yang memicu memanasnya hubungan kedua negara adalah pengerahan pasukan oleh Rusia di sepanjang perbatasan Ukraina.
Sanksi berlanjut dengan pengusiran 10 diplomat Rusia dari AS pada pertengahan April kemarin. Saat ini AS tengah menargetkan puluhan perusahaan dan warga Rusia untuk dikenai sanksi serta membatasi kemampuan Rusia untuk meminjam sejumlah dana. Akan tetapi, pada saat memerintahkan pengenaan sanksi, Biden juga menyerukan untuk meredakan ketegangan dan membuka pintu untuk kerja sama dengan Rusia di bidang-bidang tertentu.
Rusia dengan cepat membalas dengan memerintahkan 10 diplomat AS untuk pergi dan memperketat persyaratan untuk operasi Kedutaan Besar AS.
Sebagai bagian dari pembatasan, Rusia melarang Kedutaan Besar AS dan konsulatnya mempekerjakan warga negara Rusia dan warga negara ketiga. Larangan serupa juga akan diterapkan ke negara lain yang ditetapkan sebagai ”tidak ramah”.
Kremlin juga meradang setelah Biden menyebut pemimpin Rusia, Presiden Vladimir Putin, sebagai pembunuh. Untuk mengonfirmasi soal ini, Putin sempat mengajak Biden untuk melakukan pertemuan secara virtual dalam waktu dekat. Namun, menurut rencana, pertemuan itu baru akan terlaksana pada Juni.
Berbicara pada sebuah acara di stasiun televisi pemerintah, Lavrov mengatakan, Moskwa memiliki sikap ”positif” terhadap proposal Biden untuk mengadakan pertemuan puncak dengan Presiden Rusia Vladimir Putin, tetapi menambahkan bahwa Rusia masih perlu menganalisis semua aspek inisiatif.
Lavrov mengatakan, dirinya akan menghadiri pertemuan para diplomat top negara-negara Arktik di Islandia yang dijadwalkan bulan depan dan akan siap untuk bertemu dengan Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken jika dia juga bergabung dalam pertemuan itu.
Berbicara di depan Kongres, Biden mengatakan, dirinya tidak ingin berkonflik dengan China ataupun Rusia. Namun, dia menyatakan, dirinya memilih bersikap tegas terhadap kedua negara yang dianggap sebagai pesaing AS dalam forum-forum global.
”Saya menjelaskan dengan sangat jelas kepada Putin bahwa kami tidak akan mencari eskalasi, tetapi tindakan mereka akan memiliki konsekuensi,” kata Biden.
Tetapi, Biden juga telah mengusulkan pertemuan puncak di negara ketiga dengan Presiden Vladimir Putin untuk membawa stabilitas hubungan dan menunjuk dalam pidatonya untuk kerja sama dalam isu perubahan iklim dan perpanjangan New START, yaitu perjanjian pengurangan nuklir Perang Dingin terakhir. (AP/AFP)