Uji Batasan Adaptasi Manusia, Partisipan Studi Tinggal dalam Goa Selama 40 Hari
Para ilmuwan menyelidiki batas adaptasi manusia dalam isolasi dengan hidup di dalam goa selama 40 hari tanpa sumber cahaya dari luar.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
LOMBRIVES, MINGGU — Sekelompok sukarelawan beranggotakan 15 orang akhirnya meninggalkan goa yang mereka tinggali selama 40 hari dalam proyek Depp Time, sebuah eksperimen untuk menyelidiki batasan adaptasi manusia terhadap isolasi.
Silau oleh cahaya matahari dan muka pucat tapi sehat, para sukarelawan yang dipimpin oleh penjelajah Perancis-Swiss, Christian Clot, keluar dari goa Lombrives di Ariege, di wilayah Barat Daya Perancis sekitar pukul 10.30 waktu setempat.
Senyum yang lebar dari wajah pucat para sukarelawan disambut tepuk tangan meriah ketika mereka keluar dari goa. Para sukarelawan memakai kacamata khusus untuk melindungi matanya yang setelah sekian lama berada dalam kegelapan.
”Rasanya seperti menekan jeda waktu,” ujar Marina Lancon (33), satu dari tujuh perempuan yang jadi sukarelawan dalam uji coba itu. Ia menyatakan tidak terburu-buru melakukan sesuatu setelah keluar dari goa.
Meski ia berharap bisa tinggal lebih lama di dalam goa, ia tak memungkiri dirinya bahagia ketika kembali bisa merasakan embusan angin menerpa wajahnya dan mendengar burung-burung berkicau di pepohonan. Ia belum berencana membuka telepon genggamnya dalam beberapa hari ke depan dan berharap bisa menghindari kembali ke kehidupan nyata ”dengan brutal.”
Dalam uji coba isolasi bawah tanah itu, para sukarelawan yang berusia 27-50 tahun menukar kenyamanan hidup modern dengan meninggalkan jam tangan, telepon seluler, dan sumber cahaya alami untuk tinggal di dalam goa dengan suhu konstan 12 derajat celsius dan kelembaban 95 persen.
Mereka harus menghasilkan listrik sendiri dengan sepeda kayuh dan mengambil air dari sumur 45 meter di bawah bumi.
Clot, yang merupakan pendiri Human Adaptation Institute, mengatakan, eksperimen Deep Time akan menguji kemampuan manusia untuk beradaptasi dengan hilangnya orientasi waktu dan ruang.
”Dan di sinilah kami sekarang! Kami baru pergi 40 hari… bagi kami ini benar-benar kejutan,” kata Clot. Ia menambahkan, mayoritas partisipan mengira ”di kepala kami, kami telah berjalan di dalam goa selama 30 hari.” Ada juga yang mengira mereka telah berada di dalam goa selama 23 hari.
Bekerja sama dengan laboratorium di Perancis dan Swiss, para ilmuwan memonitor pola tidur para sukarelawan, interaksi sosial dan reaksi perilaku mereka melalui sensor. Salah satu sensornya adalah termometer kecil di dalam kapsul yang ditelan para sukarelawan seperti pil. Alat itu mengukur suhu tubuh dan mengirimkan datanya ke komputer sampai dikeluarkan secara alami.
Para anggota tim juga mengikuti jam biologisnya untuk mengetahui kapan bangun, tidur, dan makan. Mereka menghitung hari-hari yang mereka lalui bukan berdasarkan jam melainkan siklus tidur.
Uji coba semacam itu menjadi urgen mengingat selama pandemi Covid-19 penduduk dunia mengalami isolasi yang lama untuk menghindari paparan virus korona.
Meski ada ilmuwan yang turut bergabung dalam uji coba itu, ada juga yang mengkritik uji coba tersebut.
Etienne Koechlin, Kepala Laboratorium Neurosains Kognitif di sekolah pascasarjana ENS Perancis, mengatakan, studi tersebut merupakan ”sebuah terobosan”. Data aktivitas otak dan fungsi kognitif para sukarelawan sebelum masuk ke goa dikumpulkan untuk kemudian dibandingkan dengan data setelah mereka keluar dari goa.
Akan tetapi, tidak seperti banyak ilmuwan lain, Pierre-Marie Lledo dari pusat penelitian CNRS dan Institute Pasteur menyebutkan bahwa tidak ada ”kelompok control” dalam studi itu. Membandingkan kelompok yang tidak terdampak dengan kelompok yang mengalami perubahan merupakan aspek penting dalam studi ilmiah. (AFP/AP)