AS Menyatakan Pembunuhan Warga Armenia oleh Kekaisaran Ottoman sebagai Genosida
Amerika Serikat akhirnya mengakui bahwa pembantaian warga Armenia oleh pasukan Ottoman pada Perang Dunia I sebagai genosida. Pengakuan ini memicu reaksi keras dari Turki.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
ISTANBUL, MINGGU — Turki menuduh Amerika Serikat mencoba menulis ulang sejarah dan menolak keputusan Presiden Joe Biden yang secara formal mengakui pembunuhan warga Armenia oleh pasukan Ottoman sebagai genosida, Sabtu (24/4/2021).
Dari jalanan Istanbul hingga gedung-gedung pemerintah, warga Turki bersatu dalam kemarahan terhadap keputusan Biden untuk memihak Armenia, Perancis, Jerman, dan Rusia, serta sejumlah negara lainnya yang menafsirkan peristiwa mengerikan Perang Dunia I.
”Dunia tidak bisa mengubah atau menulis ulang sejarah,” kata Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu di Twitter setelah Biden mengumumkan keputusannya. ”Kami tidak akan mengambil pelajaran dari siapa pun tentang sejarah kami.”
Kementerian Luar Negeri Turki kemudian memanggil Duta Besar AS David Satterfield untuk menyampaikan ketidaksenangannya. Kantor berita Anadolu melaporkan, Kementerian Luar Negeri Turki menyatakan, keputusan Biden menyebabkan ”luka dalam hubungan yang sulit disembuhkan”.
Biden menjadi Presiden AS pertama yang menggunakan kata genosida pada pernyataannya dalam peringatan pembantian 1915-1917 yang terjadi saat Kekaisaran Ottoman runtuh.
”Kami mengenang mereka yang tewas dalam genosida Armenia era Ottoman dan berkomitmen mencegah kekejaman seperti itu terulang kembali,” kata Biden. ”Kami menegaskan sejarah. Kami melakukan ini bukan untuk menyalahkan, tetapi untuk memastikan apa yang sudah terjadi tidak pernah terulang kembali.”
Pernyataan Biden itu menjadi kemenangan besar bagi Armenia dan diasporanya. Mulai dari Uruguay pada 1965, negara-negara termasuk Perancis, Jerman, Kanada, dan Rusia telah mengakui genosida itu, tetapi pernyataan AS telah menjadi tujuan terpenting.
Pengakuan AS itu menjadi prioritas bagi warga Armenia dan Armenia-Amerika yang menyerukan adanya kompensasi dan pemulihan properti atas apa yang mereka sebut sebagai Meds Yeghern atau Kejahatan Besar.
Perdana Menteri Armenia Nikol Pashinyan berterima kasih kepada Biden atas ”langkah kuatnya menuju keadilan dukungan berharga bagi keturunan korban genosida Armenia”.
Mencoba memperhalus dampak pernyataannya terhadap mitranya di Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Biden untuk pertama kalinya sejak dilantik menjadi presiden menelepon Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, Jumat (23/4/2021).
Kedua pemimpin negara tersebut sepakat untuk bertemu di sela-sela Konferensi Tingkat Tinggi NATO Juni mendatang. Erdogan yang selama 18 tahun mencoba melawan keputusan AS mencoba mengalibrasi responsnya dengan hati-hati.
Dalam pesannya kepada warga Armenia di Istanbul, Erdogan menuduh ada ”pihak ketiga” yang mencoba memolitisasi debat berusia satu abad itu. ”Tidak ada yang diuntungkan dari debat ini—yang seharusnya dilakukan oleh sejarawan—yang dipolitisasi oleh pihak ketiga dan menjadi alat campur tangan terhadap negara kami,” tulis Erdogan.
Erdogan juga menulis, Turki ”siap mengembangkan hubungan dengan Armenia berdasarkan lingkungan yang baik dan saling menghargai”.
Akan tetapi, pesan dari Kementerian Luar Negeri Turki lebih keras. ”Kami menolak dan mencela istilah dala pernyataan Presiden AS terkait peristiwa tahun 1915 yang dibuat di bawah tekanan lingkaran warga Armenia radikal dan kelompok anti-Turki,” kata Kementerian Luar Negeri Turki.
”Jelas bahwa pernyataan itu tidak memiliki dasar ilmiah dan hukum juga tidak didukung oleh bukti apa pun.”
Warga Armenia yang didukung oleh banyak sejarawan dan cendekiawan, mengatakan, sebanyak 1,5 juta rakyatnya meninggal dalam genosida yang dilakukan di bawah Kekaisaran Ottoman yang memerangi Tsar Rusia di wilayah yang termasuk wilayah Armenia saat ini.
Turki mengakui bahwa banyak warga Armenia dan Turki meninggal selama Perang Dunia I. tetapi Turki menyangkal ada kebijakan genosida yang sengaja diambil, istilah yang secara hukum belum didefinisikan saat itu. Turki menyebut korban meninggal warga Armenia sekitar 300.000. (AFP)