Sabtu (24/4/2021) ini, Jakarta jadi perhatian dunia terkait Konferensi Tingkat Tinggi ASEAN. Diharapkan ada terobosan nyata menuju solusi atas krisis di Myanmar.
Oleh
REDAKSI
·2 menit baca
Dari sembilan negara anggota ASEAN—di luar Myanmar yang menjadi fokus pembahasan KTT—enam negara, yaitu Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, Vietnam, dan Kamboja, mengirim pemimpin negerinya. Kehadiran pejabat level tertinggi, setingkat presiden atau perdana menteri (PM), sangat penting. Bukan hanya memperlihatkan besarnya perhatian negara pada isu yang dibahas, melainkan juga bakal memberi bobot keputusan dan langkah yang disepakati untuk diambil dalam menyelesaikan krisis di Myanmar.
Dalam konteks itu, apa pun dalihnya, termasuk pandemi Covid-19, yang juga melanda hampir semua negara di dunia ini, agak disesalkan PM Thailand Prayuth Chan-ocha dan Presiden Filipina Rodrigo Duterte mengonfirmasi tak bisa datang ke Jakarta. Laos juga belum memberikan kepastian. Bagi komunitas di luar ASEAN, hal itu seolah mengonfirmasi adanya ketidakkompakan dalam memandang krisis Myanmar.
Indonesia, Malaysia, Singapura, dan Filipina terbuka mengkritisi rezim militer Myanmar. Anggota lain, termasuk Thailand, terlihat ambigu, pasif, dan memilih wait-and-see. Ketidakkompakan di kalangan internal ASEAN harus segera bisa diatasi agar KTT menghasilkan terobosan konkret dalam penyelesaian krisis di Myanmar.
Krisis di negara itu telah berlangsung hampir tiga bulan. Tak hanya menelan sedikitnya 739 orang tewas dan 3.300 orang ditahan, termasuk pemimpin sipil Aung San Suu Kyi dan Presiden Myanmar Win Myint, menurut data Asosiasi Bantuan bagi Tahanan Politik (AAPP), juga memicu hampir seperempat juta warga Myanmar mengungsi. Hal itu sesuai laporan Pelapor Khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atas situasi hak asasi manusia (HAM) di Myanmar, Tom Andrews.
Dari klaim pemerintahan, Myanmar terbelah dua: Dewan Pemerintahan Sementara (SAC) versi junta pimpinan Jenderal Min Aung Hlaing dan Pemerintahan Persatuan Nasional (NUG) bentukan koalisi sipil di Myanmar. Jika situasi itu tak bisa dikendalikan, berbagai kalangan memperingatkan ancaman perang saudara, seperti di Suriah, atau Myanmar menjadi negara gagal mirip Yaman. Jika hal itu terjadi, pasti berdampak serius bagi ASEAN yang selama ini damai dan stabil.
Sebagian pihak, terutama kalangan aktivis demokrasi dan HAM, mempertanyakan kehadiran Min Aung Hlaing—bisa disingkat dengan inisial MAH—di KTT ASEAN. Ada tudingan, dengan mengundangnya, ASEAN terlihat mengakui kudeta militer. Kegusaran itu bisa dipahami.
Namun, bagi ASEAN, kehadiran junta militer di KTT bukan sebagai pengakuan atau legitimasi atas tindakannya, melainkan lebih untuk menjalin komunikasi langsung. Sasarannya, agar dalam jangka pendek, kekerasan di Myanmar mereda dan tercipta suasana kondusif menuju pemulihan situasi dan dialog di negara itu. Sekali lagi, KTT harus menghasilkan terobosan konkret, bukan sekadar pernyataan keprihatinan.