AS Dorong Sekutu Tekan China Soal Kelompok Minoritas Uighur
Pemerintah Amerika Serikat akan menggalang tindakan bersama negara-negara ekonomi maju G7 untuk melakukan tekanan pada Pemerintah China terkait isu warga minoritas Uighur.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
WASHINGTON, SABTU – Pemerintah Amerika Serikat akan mendesak negara-negara sekutunya di Kelompok G7 menekan China atas tindakan kerja paksa yang mereka terapkan terhadap warga minoritas Uighur. Pemerintah AS menilai, sanksi bersama terhadap para pejabat Pemerintah China yang diduga terkait langsung dengan tindakan kekerasan atas warga Uighur oleh AS, Uni Eropa, Inggris dan Kanada, belum cukup kuat dan harus mendapat dukungan lebih banyak pihak.
Hal itu akan disampaikan Presiden AS Joe Biden saat menghadiri pertemuan negara-negara G7 yang akan berlangsung di Inggris, Juni mendatang.
Daleep Singh, Wakil Penasihat Keamanan Nasional untuk Biden dan Wakil Direktur Dewan Ekonomi Nasional, Jumat (23/4), mengatakan, pertemuan G7 yang akan berlangsung di Cornwall, selain fokus pada masalah keamanan kesehatan, langkah ekonomi bersama dan sinkron untuk menangani dampak pandemi, perubahan iklim, juga akan membahas soal peningkatan nilai-nilai demokrasi di negara-negara G7 itu sendiri.
"Tantangan bagi G7 adalah untuk menunjukkan bahwa masyarakat terbuka, masyarakat demokratis masih memiliki peluang terbaik untuk memecahkan masalah terbesar di dunia kita, dan bahwa otokrasi top-down bukanlah jalan terbaik," katanya.
Singh mengatakan Washington telah mengambil tindakan keras terhadap China atas pelanggaran hak asasi manusia di Xinjiang, tetapi akan berusaha memperluas upaya dengan sekutu G7. Sanksi bersama terhadap pejabat China yang dituduh melakukan pelanggaran di provinsi itu diumumkan bulan lalu oleh Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris dan Kanada. Negara anggota G7 lainnya, yaitu Perancis, Italia, Jerman dan Jepang belum bergerak.
Washington, menurut Singh, telah mengambil tindakan yang cukup keras terhadap China atas pelanggaran hak asasi manusia warga minoritas Uighur di Provinsi Xinjiang. Namun, berulang kali Pemerintah China menyangkal semua tuduhan yang disangkakan oleh AS dan negara barat lainnya. China juga telah melakukan tindakan balasan terhadap UE.
Gedung Putih berharap negara anggota G7 lainnya berpikiran sama dan mengambil tindakan nyata serta konkret untuk menunjukkan kesediaan berkoordinasi pada hal-hal ekonomi non-pasar, khususnya terhadap China. Singh, yang ikut mempersiapkan pertemuan itu mengatakan, detil hal yang ingin disampaikan dan didiskusikan masih dikerjakan sebelum pertemuan. Tapi, menurut dia, pertemuan itu akan menjadi kesempatan bagi negara-negara sekutu AS untuk menunjukkan solidaritas dalam masalah tersebut.
Dalam beberapa hal, terutama impor barang yang berasal dari China, menurut Singh, konsumen di AS memiliki hak untuk mengetahui apakah barang yang mereka beli dan gunakan dalam proses produksinya ada unsur kerja paksa atau tindakan kekerasan (abusive) lainnya. “Nilai-nilai itulah yang kita perlu tanamkan dalam hubungan perdagangan kita,” kata Singh.
Gedung Putih sudah berulang kali mengeluarkan kebijakan keras atas perlakuan Beijing terhadap warga minoritas Uighur. Tidak sebatas menyatakan tindakan Beijing itu sebagai tindakan kekerasan semata, tapi juga menilai bahwa tindakan aparat pemerintah China terhadap warga minoritas Uighur adalah sebuah genosida. Hal demikian dinyatakan mantan Presiden AS Donald Trump dan mantan Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo sehari sebelum pergantian kepemimpinan di AS.
Antony Blinken, yang saat itu masih berstatus sebagai calon menlu AS, sepakat denga pernyataan Trump dan Pompeo. Bahkan, dia juga menyatakan, AS seharusnya tidak mengimpor produk apapun dari China yang terindikasi diproduksi dengan sistem kerja paksa di Xinjiang.
”Kita perlu memastikan bahwa kita tidak mengekspor teknologi dan alat yang dapat digunakan untuk melanjutkan penindasan mereka,” kata Blinken. (Kompas.id, 20 Januari 2021)
Singh mengatakan, sebagai negara demokratis, Washington bersama negara-negara G7 mengambil langkah yang jelas untuk meningkatkan nilai-nilai bersama sebagai negara demokrasi dan memastikan hal yang sama juga berlaku di Xinjiang.
Aktivis dan pakar hak asasi PBB mengatakan setidaknya 1 juta warga Uighur telah ditahan di kamp-kamp di Xinjiang. Para aktivis dan beberapa politisi Barat menuduh China menggunakan penyiksaan, kerja paksa, dan sterilisasi. China membantahnya dan mengatakan, kamp itu dibangun untuk memberikan keterampilan tambahan, seperti pelatihan kejuruan yang dibutuhkan untuk melawan ekstremisme.
Dolkun Isa, Presiden Kongres Uyghur Dunia, pada bulan Maret lalu mengirim surat kepada pemerintah AS agar membantu warga Uighur menghentikan tindakan genosida, kejahatan kemanusiaan yang dilakukan Beijing. Dia juga mendesak AS serta negara-negara lain untuk menutup kamp-kamp tersebut. (Reuters)