Nasib Buruk Anak-anak Uighur, Tidak Tentu Rimbanya
Orangtua dari anak-anak etnis Uighur semakin gelisah karena nasib buah hati mereka tak tentu rimbanya, apakah masih hidup atau sudah meninggal.
Entah apa yang terjadi dengan anak-anak Uighur yang dipisahkan atau terpisah secara paksa dari orangtua mereka. Hati gunda gulana tak karuan menyelimuti para orangtua yang membagikan kesedihan: kami tidak tahu apakah anak-anak masih hidup atau sudah meninggal.
Cerita pilu itu disampaikan, antara lain, oleh seorang ibu dari empat anak, Maryem Abdulhamid (47), seperti dilaporkan The Diplomat, edisi Rabu, 21 April 2020. Majalah berita daring internasional yang meliput isu politik, kehidupan sosial masyarakat, dan budaya di kawasan Indo-Pasifik itu mewawancarai Maryem di Istanbul, Turki.
Baca juga: Warga Uighur di Turki Protes Perjanjian Ekstradisi Turki-China
Maryem melarikan diri dari Xinjiang, China barat, yang menjadi rumah bagi minoritas Muslim Uighur dan tiba di Istanbul pada 2016 bersama hanya dua anaknya. Dia memilih untuk lari dari Xinjiang karena takut akan dipersekusi dan didenda aparat setelah diketahui sedang mengandung anak keempatnya.
Di China saat itu memiliki anak ketiga didenda setelah Beijing merelaksasi kebijakan puluhan tahun dari ”hanya satu anak” (yang mulai diterapkan pada tahun 1980) menjadi ”dua anak” mulai diberlakukan sejak tahun 2016.
Perempuan paruh baya itu teringat akan nasib Rizwangul, putri ketiganya, yang ditinggal dalam pengasuhan suaminya di Xinjiang. Pada 2016, ketika Maryem melarikan diri ke Istanbul, Rizwangul berusia 12 tahun. ”Alasan utama sehingga kami tidak membawanya ke Turki ialah karena dia tidak diberikan paspor,” kata Maryem nelangsa.
”Kami tidak pernah melakukan kejahatan atau tidak pernah memiliki catatan kejahatan. Kami yakin, karena sekarang dia memiliki paspor Turki, mereka (otoritas China) akan mengizinkan saya bersatu kembali dengan dia dan saudara-saudaranya, tetapi mereka tidak melakukan ini selama empat tahun terakhir ini,” ujar Maryem.
Baca juga: Kecemasan Uighur di Turki dan Spekulasi Tekanan Diplomasi Vaksin China
Maryem terakhir berbicara dengan Rizwangul melalui telepon singkat pada 2017 setelah berhasil menghubungi telepon seluler keluarga mereka di Xinjiang. Namun, yang membuat Maryem sedih adalah jawaban putrinya, ”Di mana papa? Aku sendirian tidak ada yang menjagaku.”
Dari keluarganya, Maryem mendapat kabar bahwa suaminya dibawa ke kamp konsentrasi di Xinjiang setelah ditangkap karena membantu istri dan dua anaknya pergi ke Turki. Dia dihukum secara tidak adil. Keluarga yang lain tidak bisa menjaga Rizwangul karena ketatnya pengawasan aparat setempat.
Maryem tidak bisa berkata-kata kecuali bersedih karena pembicaraan di telepon berlangsung singkat. Itu terakhir kalinya sang ibu mendengar suara ketakutan putrinya di kejauhan. Sudah lebih dari empat tahun ini Maryem masih bermimpi agar suatu saat bisa bekumpul kembali dengan putrinya dan tentu saja dengan suaminya, dalam sebuah keluarga yang utuh.
Maryem menangis sambil bertanya, ”Di mana keadilan? Saya sedih karena tidak bisa melihat putri saya. Anak-anak yang bersama saya tidak hanya dipisahkan secara paksa dari ayah mereka, tetapi juga saudara perempuan mereka. Anak bungsu saya belum pernah melihat ayahnya sebelumnya.”
Perempuan malang itu merasa sangat putus asa. Ia lalu menghela napas dalam-dalam untuk menenangkan diri sebelum berkata, ”Saya bisa bunuh diri jika saya bukan seorang beriman kepada Allah dan karena anak-anak lain yang ada bersama saya. Hati saya sangat sakit.”
Banyak kisah yang mirip dengan keluarga Maryem. Maimatimin Buweiamina (30), ibu lima anak, untuk pertama kalinya berbicara dengan media. Dia ingin bersuara dengan harapan suatu hari bisa bersatu lagi dengan semua anak. ”Saya memiliki lima anak, tetapi tiga di antaranya hilang di Xinjiang, dua lainnya bersama saya,” ujarnya.
Baca juga: Menjelang Lengser, Trump-Pompeo Tuding China Lakukan Genosida terhadap Uighur
Ceritanya dimulai dengan kunjungan ke Turki pada 2016, saat dia mengatakan bahwa Pemerintah China telah melonggarkan kebijakannya dalam menerbitkan paspor untuk komunitas Uighur. Mereka bisa bepergian ke luar negeri, tetapi jendela kesempatan dibuka singkat pada 2016 sehingga tidak dapat segera mendapatkan paspor untuk anak-anaknya.
Setelah seminggu di Turki, suami dari Maimatimin memutuskan untuk kembali ke Xinjiang guna melihat apakah dia bisa mendapatkan paspor untuk tiga anak mereka yang lain. Namun, suaminya ditangkap begitu tiba di China dan dipenjara selama 15 tahun karena dianggap melakukan kejahatan bepergian ke luar negeri.
Mereka mengira, setelah meninggalkan China, dapat mengurus dokumen dan menyatukan kembali keluarganya, tetapi ternyata tidak. Jendela tertutup rapat dan sekarang banyak ibu dan ayah tidak tahu di mana anak-anak mereka hari ini, atau siapa yang merawat mereka. Orangtua semakin gelisah karena nasib anak-anak mereka tak tentu rimbanya, apakah masih hidup atau sudah meninggal.
Amnesty International, seperti dilaporkan CNN, telah menghimpun keterangan orangtua dari anak-anak Uighur. Disebutkan, anak-anak yang terpisah dari orangtuanya di perantauan (di luar negeri) telah ditahan di sejumlah ”panti asuhan”. Mereka menderita ”siksaan batin” karena terpisah dari orangtua dan anggota keluarga intinya.
Organisasi tersebut berbicara kepada orangtua yang telah sepenuhnya dipisahkan dari anak-anak mereka—beberapa di antaranya berusia lima tahun. Mereka tidak berani kembali ke China karena terancam akan dikirim ke kamp interniran ”pendidikan ulang”.
Baca juga: Biden dan Xi Berbicara soal Berbagai Isu, dari Xinjiang hingga Hong Kong
Amnesty International mewawancarai enam keluarga Uighur di pengasingan di Australia, Kanada, Italia, Belanda, dan Turki. Keluarga, yang meninggalkan Xinjiang sebelum peningkatan penindasan terhadap warga Uighur dan kelompok minoritas lainnya pada 2017, berharap masih bisa bertemu dengan anak-anak mereka.
”Kampanye penahanan massal China yang kejam di Xinjiang telah membuat keluarga terpisah dalam situasi yang mustahil: anak-anak tidak diizinkan untuk pergi, tetapi orangtua mereka menghadapi penganiayaan dan penahanan sewenang-wenang jika mereka berusaha untuk pulang ke rumah untuk merawat anak-anak mereka," kata Alkan Akad, aktivis Amnesty International, yang khusus mengamati China.
Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 2018, seperti dikutip oleh hampir semua media besar dunia saat itu, melaporkan, lebih dari 1 juta warga Muslim Uighur ditahan di kamp konsentrasi yang oleh China disebut kamp ”pelatihan kejuruan” atau ”pendidikan ulang”. The Diplomat dan CNN menyebutkan ada 1,5 juta dan 2 juta orang kini ditahan di kamp-kamp tersebut.
Pemerintah China juga menghadapi tuduhan berbagai pelanggaran HAM terhadap warga Uighur dan minoritas lainnya. Di antaranya kerja paksa, sterilisasi paksa, pelecehan seksual, dan pemerkosaan.
Baca juga: PBB Berupaya Masuk Xinjiang
Amnesty International telah menyerukan Beijing agar memberikan akses penuh dan tidak terbatas ke Xinjiang kepada para pakar HAM PBB, peneliti independen, dan jurnalis melihat dari dekat fakta yang sebenarnya. Namun, hingga saat ini izin belum kunjung diberikan.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) sejak masa Presiden Ke-45, Donald Trump, hingga kini pada masa Presiden Joe Biden tetap mempunya sikap yang sama, yakni menuding China telah melakukan kejahatan terhadap etnis Uighur di Xinjiang. Washington konsisten menegaskan, China melakukan genosida.
Parlemen Inggris, Rabu (21/4/2021), meminta pemerintahan Perdana Menteri Boris Johnson untuk mengambil tindakan demi mengakhiri genosida di Xinjiang. Namun, pemerintah sekali lagi menghindari pernyataan genosida atas apa yang dikatakannya sebagai pelanggaran hak asasi manusia ”skala industri” terhadap komunitas Uighur di Xinjiang.
Kedutaan Besar China di London, Inggris, mengecam langkah parlemen Inggris tersebut. Kedutaan meminta Inggris agar mengambil langkah konkret untuk menghormati kepentingan China dan segera memperbaiki langkah yang salah.
”Tuduhan yang tidak beralasan oleh segelintir anggota parlemen Inggris bahwa ada genosida di Xinjiang adalah kebohongan paling tidak masuk akal abad ini, penghinaan berlebihan terhadap rakyat China, dan pelanggaran berat terhadap hukum internasional, serta norma dasar yang mengatur hubungan internasional,” kata Kedubes China di London, Jumat (23/4/2021).
Baca juga: Misi Bor Raksasa Menembus Gunung di Xinjiang, China
Beijing telah berulang kali membantah bahwa mereka telah menahan warga Uighur di kamp-kamp penahanan di Xinjiang dan praktik genosida itu atau pelanggaran HAM lainnya. China mengatakan, tidak ada penindasan, tidak ada kekerasan, dan tuduhan tidak masuk akal lainnya.
Menurut Beiijing, apa yang disebut sebagai kamp-kamp tahanan oleh negara lain, adalah fasilitas atau tempat ”pendidikan ulang” yang digunakan untuk memerangi terorisme. Semua orang yang terpapar pengaruh radikalisme atau ekstremisme harus dipulihkan agar semangat nasionalismenya tinggi.