Kenapa Geopolitik Penting bagi Para Pelaku Pasar Keuangan?
Penegasan prioritas kebijakan luar negeri Presiden Amerika Serikat, Joe Biden, telah meningkatkan ketegangan dengan para saingan paling kuat AS. Dinamika itu terasa dalam hubungan AS dengan China, Rusia, dan bahkan Iran.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
LONDON, RABU — Geopolitik yang rapuh tidak selalu menggerakkan pasar keuangan dunia. Namun, musim panas 2021 mungkin memberi gambaran sekilas tentang di mana tepatnya dan bagaimana pengaruh geopolitik itu bagi pasar global.
Dengan pemerintahan baru, Presiden Amerika Serikat Joe Biden menegaskan prioritas kebijakan luar negerinya, bulan ini telah terjadi peningkatan ketegangan dengan saingan paling kuat AS, yakni China, Rusia, dan bahkan Iran. Bagi banyak investor, retorika tajam dan permusuhan di sekitar titik api adalah bagian dari ujian keberanian Washington. Sebut saja dalam dinamika terkait Taiwan, Hong Kong, dan Xinjiang; atau Ukraina timur, lalu tentang pengayaan uranium yang dilanjutkan Teheran.
Biden tampak berambisi menggalang aliansi pimpinan Barat yang terabaikan yang mendorong lebih keras untuk demokrasi dan hak asasi manusia (HAM). Di sisi lain, Beijing dan Moskwa—mungkin secara bersama-sama—dengan jelas melihatnya sebagai ancaman bagi sistem mereka. Respons keras bisa saja dilakukan kedua negara itu.
Dalam pidatonya yang jelas ditujukan pada dominasi AS dan G7 terhadap institusi global, Presiden China Xi Jinping pada Selasa (20/4/2021) menyerukan penolakan terhadap struktur kekuasaan hegemonik.
”Dunia menginginkan keadilan, bukan hegemoni,” kata Xi, menyusul pertemuan puncak China-AS baru-baru ini, pertengkaran verbal tentang Pasifik selama berminggu-minggu, persoalan HAM, hingga status Taiwan dan Hong Kong.
”Dunia menginginkan keadilan, bukan hegemoni,” kata Xi, menyusul pertemuan puncak China-AS baru-baru ini, pertengkaran verbal tentang Pasifik selama berminggu-minggu, persoalan HAM, hingga status Taiwan dan Hong Kong.
Tekanan baru Moskwa terhadap Ukraina tampaknya paling dekat dengan konflik secara langsung. Muncul laporan puluhan ribu tentara Rusia berkumpul di perbatasan. Kapal perang pun ditempatkan Laut Hitam. Kelindannya tampak dengan respons Mokswa atas aksi mogok makan selama tiga pekan terhadap kritikus Kremlin Alexei Navalny yang ditahan.
Atas dinamika-dinamika di sejumlah kawasan itu, bagaimana seharusnya pasar dan investor menavigasi kecemasan-kecemasan geopolitik dan bahkan militer seperti itu? Bagaimana pengaruhnya kira-kira bagi ekonomi dunia, yang sejatinya masih diliputi ketidakpastian dalam masa pemulihan pandemi yang telah berlangsung selama setahun?
Aset tradisional safe haven dan indeks volatilitas telah menggambarkan peningkatan dinamika geopolitik itu. Emas, yen Jepang, dan franc Swiss semuanya menguat. Reli pada nilai tukar surat utang AS dengan tenor agak panjang kemungkinan disebabkan oleh ketegangan geopolitik itu. Dollar AS sendiri—yang pernah dilihat sebagai pelabuhan teraman selama ketegangan militer—telah berubah arah bulan ini dengan tanda-tanda menguat.
Harga saham-saham dunia dan indeks volatilitas Wall Street tampak masih mengabaikan berita-berita soal geopolitik itu sampai pekan ini. Meskipun demikian ”seismograf” geopolitik juga bergerak di sana dalam beberapa hari terakhir di tengah keraguan yang lebih luas tentang keberlanjutan aliran arus masuk investasi global baru-baru ini. Sisanya bahkan lebih merupakan gambaran campuran.
Nilai tukar Rubel Rusia telah kehilangan sekitar 5 persen dari puncaknya pada bulan lalu, tetapi hal itu sebagian besar terkait dengan sanksi ekonomi eksplisit atas Rusia. Yuan China naik sekitar 1,5 persen selama periode yang sama dan indeks mata uang pasar berkembang secara lebih luas berada pada level tertinggi dalam lebih dari enam pekan. Harga minyak dan komoditas juga lebih tinggi.
Lembaga JP Morgan pekan lalu mengutip ”tantangan istimewa” terkait dinamikan geopolitik saat-saat ini. Lembaga itu memproyeksikan mata-mata uang pasar negara berkembang akan lebih tertekan. ”Meskipun Presiden Biden telah menandai kembalinya ke politik konvensional, ini belum tentu diterjemahkan pada penghapusan ketegangan geopolitik AS,” kata ahli strategi lintas aset JPM John Norman, merujuk pada diplomasi mantan Presiden Donald Trump yang tidak menentu melalui Twitter.
Pemulihan ekonomi global yang sangat diharapkan pada tahun 2021 dari pandemi bisa jadi mengesampingkan risiko-risiko geopolitik bagi para pelaku pasar. Gemuruh geopolitik sebelumnya—tidak terkecuali peluncuran rudal Korea Utara baru-baru ini atau kebakaran di Timur Tengah—juga cenderung hanya berefek sementara. Bisa saja kebuntuan China dan Rusia dengan Barat kali ini dilihat sebagai pergeseran jangka panjang ke dunia yang lebih terpolarisasi di tengah ”deglobalisasi” ekonomi setelahnya.
Para ahli strategi Rabobank berpendapat mungkin saja Rusia akan mencaplok wilayah Ukraina, di mana saat bersamaan Washington dan Eropa tidak mau menggunakan kekuatan militer mereka.
”Ini memiliki implikasi yang berpotensi besar atas ’tatanan dunia liberal’ dan ketegangan AS-China pada khususnya,” tulis mereka. Mereka menyoroti dampaknya atas pasar energi, biji-bijian, dan makanan pertanian lainnya di mana Rusia adalah pemasok utamanya. Kondisi itu bisa saja menjadi momok bagi para pelaku pasar keuangan global, menambah kekhawatiran tentang kebijakan pencetakan uang selama pandemi dan akumulasi utang yang dapat mendorong inflasi. (REUTERS)