Wafatnya Pangeran Philip dan usia Ratu Elizabeth II yang menginjak 95 tahun, serta tujuh dekade ia bertakhta memantik pertanyaan akan masa depan takhta Ratu Elizabeth II.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
Setelah Pangeran Philip disemayamkan, kini perhatian dunia tertuju kepada Ratu Elizabeth II yang pada Rabu (21/4/2021) akan berulang tahun ke-95 dan dalam beberapa bulan ke depan memperingati 70 tahun ia menduduki takhta Kerajaan Inggris.
Kombinasi peristiwa tersebut menjadi pengingat bagi Inggris Raya bahwa kekuasaan sang ratu terbatas. Hal ini telah memicu spekulasi soal berapa lama lagi ia bertakhta, bagaimana monarki Inggris ini di masa depan, dan bagi sebagian orang, apakah kerajaan ini akan terus berdiri.
”Ratu saat ini jelas memasuki masa senja takhtanya dan fase baru kekuasaannya,” kata Anna Whitelock, Direktur Pusat Studi Monarki Modern di Royal Holloway, University of London. ”Ia kini menjanda dan akan dilihat bagaimana ia merespons keadaan itu.”
Bagi sebagian pengamat, kecil kemungkinan Ratu akan turun takhta karena ia telah berkomitmen untuk melayani rakyat. Akan tetapi, Ratu Elizabeth II sudah mulai memberikan tanggung jawab lebih kepada Pangeran Charles (72), anak tertuanya. Menyusul mangkatnya Pangeran Philip, sang suami, proses ini berlangsung semakin cepat.
Peran Charles yang meningkat berlangsung secara bertahap, mulai dari ketika Ratu mengurangi penerbangan jarak jauhnya dan memberikan kesempatan kepada Charles untuk mewakilinya dalam pertemuan kepala negara Persemakmuran di Sri Lanka tahun 2013.
Kemudian, pada tahun 2017, Charles mewakili ibunya menghadiri Hari Peringatan tahunan, menandai berakhirnya Perang Dunia I, meletakkan karangan bunga kerajaan di kaki Canopath di London. Inilah untuk pertama kalinya Ratu Elizabeth II tidak menghadiri upacara khidmat itu kecuali ketika ia hamil atau sedang berada di luar negeri.
Sejak itu, aktivitas publik Charles telah meningkat dan dinobatkan sebagai Kepala Persemakmuran, perkumpulan sukarela 54 negara yang memiliki hubungan dengan Kerajaan Inggris.
”Secara simbolis, transisi suksesi sedang berjalan,” ujar Ed Owens, sejarawan sekaligus penulis The Family Firm, Monarchy, Mass Media, and the British Public 1932-53. ”Sepertinya kita akan melihat Pangeran Charles lebih sering dalam beberapa tahun ke depan sehingga kita sebagai khalayak umum mulai melihat perannya di masa depan sebagai raja,” lanjut Owens.
Untuk sekarang, sebagai ratu terlama dalam sejarah Inggris, Elizabeth II masih berkuasa. Akan tetapi, ia akan menjalaninya tanpa Philip, suaminya sekaligus pria yang menjadi ”kekuatan” dan sumber dukungan emosionalnya selama mengemban tugasnya sebagai ratu.
”Secara konstitusional, wafatnya Pangeran Philip tidak mengubah apa pun. Namun, tentunya, ketika Ratu mendekati ulang tahunnya yang ke-95, ia rentan dan menua,” kata Whitelock. ”Jelas, kematian Pangeran Philip menandai dimulainya transisi ke masa depan sekaligus awal dari akhir fase monarki ini.”
Pertanyaan tentang akhir dari kekuasaan sang ratu juga akan memantik debat soal masa depan kerajaan yang oleh sebagian hanya dilihat sebagai simbol persatuan nasional, tetapi oleh sebagian yang lain dipandang sebagai sisa-sisa sejarah feodal yang sudah usang.
BBC menerima lebih dari 100.000 keluhan ketika memutuskan untuk terus-menerus melaporkan peristiwa meninggalnya Pangeran Philip, keluhan terbanyak yang pernah diterima untuk sebuah program.
Pimpinan eksekutif Republikan, Graham Smith, mengatakan, meski masih banyak yang menaruh hormat kepada Ratu Elizabeth II, tidak begitu dengan Pangeran Charles dan anggota kerajaan lainnya. Kematian Pangeran Philip ”menjadi pengingat bahwa banyak orang yang tidak begitu peduli dengan kerajaan, perubahan akan datang”.
Ratu Elizabeth II naik takhta setelah ayahnya, Raja George VI, meninggal pada 6 Februari 1952. Dia dimahkotai secara resmi pada 2 Juni 1953. Selama upacara itu, ia berjanji untuk memerintah Inggris Raya dan wilayah lainnya.
Enam tahun kemudian, ketika berpidato di Afrika Selatan, Elizabeth menjelaskan bahwa komitmennya itu berlaku seumur hidup. ”Saya menyatakan di hadapan kalian bahwa seluruh hidup saya, baik pendek maupun panjang, akan diabdikan untuk melayani kalian dan melayani keluarga kerajaan tempat kita semua berasal,” kata Elizabeth. Itulah janji yang akan terus ditepatinya.
Bahkan, ketika berduka atas kepergian suaminya, Ratu Elizabeth tetap menghadiri upacara pengunduran diri Lord Chamberlain yang mengatur seluruh acara resmi istana dan dilanjutkan bertemu dengan para pemimpin Persemakmuran. Hal itu menunjukkan bahwa Ratu Elizabeth II tidak berniat untuk meniru Ratu Victoria yang mundur dari kehidupan publik setelah suaminya, Pangeran Albert, meninggal mendadak di usia 42 tahun.
Sementara Pangeran Harry telah mundur dari tugas-tugas kerajaan, anggota kerajaan lain yang didukung oleh para profesional dan penasihat akan tetap berada di sekitar Ratu dan menjalankan tugasnya seperti biasa.
Ratu Elizabeth II juga terbantu oleh teknologi. Selama pandemi, ia tetap terhubung dengan publik melalui serangkaian panggilan Zoom. Penampilan Ratu Elizabeth II yang tersenyum, berkelakar, dan mengamati saat berbicara dengan anak sekolah, sukarelawan, serta pejabat kesehatan yang diunggah di media sosial memungkinkan publik untuk tetap mengetahui aktivitas Ratu.
Sebagai contoh, bulan lalu, ia melakukan panggilan Zoom dengan sekelompok anak dan ilmuwan. Ia ditanya tentang pertemuannya dengan manusia pertama di luar angkasa, kosmonot Rusia, Yuri Gagarin.
Kerajaan Inggris mengundang Gagarin ke Istana Buckingham setelah penerbangan bersejarahnya tahun 1961. Ratu Elizabeth ditanya bagaimana penampakan Gagarin. Sambil tersenyum ia menjawab, ”Orang Rusia.” Audiens pun terkekeh.
”Setelah pemakaman berakhir, segalanya kembali normal. Keluarga kerajaan akan tetap menjalankan model ’Keep Calm and Carry On’ seperti sudah mereka lakukan 70-80 tahun terakhir,” kata Owens. (AP)