Pada Sebuah Jarum Suntik, Ada Bahagia dan Rasa Bersalah
Vaksinasi Covid-19 bisa memberikan rasa bahagia karena perasaan terlindungi dari penyakit yang mematikan. Tapi, di samping itu, bisa muncul perasaan bersalah karena keluarga yang disayangi belum divaksin.
Dana Laukhuf kini bisa bernapas lega dirinya menjalani vaksinasi Covid-19 pada Januari lalu. Bagi ibu tiga anak ini, vaksinasi menjadi keniscayaan agar dirinya tetap sehat dan bisa menjaga diri sendiri serta ketiga putra-putrinya yang masih kecil.
Bila melihat rencana vaksinasi nasional di Amerika Serikat, Dana, yang baru berusia 38 tahun, tidak masuk dalam skema vaksinasi nasional AS. Prioritas utama pemerintah AS yang memulai program vaksinasi pada Desember lalu adalah lansia dan tenaga kesehatan.
Baca juga : Manusia Tak Berbakat Jaga Jarak Fisik
Namun, Dana, dikutip dari laman majala People, mengirimkan surat kepada Departemen Kesehatan dan menceritakan kondisi diri dan keluarganya, terutama ketiga putra putrinya yang masih kecil.
Ketiga putra putrinya memiliki masalah kesehatan yang serius. Henry dan Liam, kedua putra Dana, diketahui memiliki masalah dengan jantung mereka. Sedangka Emma, si bungsu, selain memiliki masalah jantung, lahir dengan gejala downsyndrome.
“Aku tahu bahwa meski sudah divaksin, ketiga anakkku masih mungkin tertular. Tapi, kalau aku sakit, tidak ada yang mampu merawat mereka seperti yang sudah aku lakukan,” kata Dana. Dia menambahkan, bila ada yang mengatakan tindakannya adalah egois, mementingkan diri sendiri, hal itu tidak berlaku baginya. Baginya, vaksinasi Covid-19 adalah keputusan terbaik yang diambilnya, terutama saat pandemi ini.
Dana menuturkan, anak-anak yang memiliki masalah dengan jantung tidak boleh mengalami dehidrasi. Putrinya, Emma, juga membutuhkan perhatian khusus agar perkembangannya tetap terjaga selama pandemi. Dia mengakui, pandemi membuat Emma, yang kini berusia empat tahun, tidak bisa mengikuti berbagai sesi terapi untuk membantu tumbuh kembangnya. Kini, tugas itu dibaginya bersama sang suami dan bahkan juga Henry dan Liam. Dirinya juga harus mundur dari tempat kerjanya agar bisa merawat ketiga anaknya saat pandemi.
Baca juga : Saran Psikolog-Terapis Atasi Kecemasan di Tengah Wabah Korona
Dana mengakui hal itu melelahkan. Namun, dengan menjalani vaksinasi, dia mengakui bahwa satu kendala sudah teratasi. “Dengan vaksinasi, aku tahu bahwa aku akan baik-baik saja dan aku bisa menjaga mereka, ketiga anakku. Seorang ibu tidak boleh boleh sakit. Kalaupun terinfeksi, semoga gejalanya ringan dan aku tetap bisa menjaga anak-anakku dari dekat, tidak perlu dirawat di rumah sakit,” kata Dana.
Bahagia dan Bersalah
Selama setahun terakhir, ketika pandemi memuncak, Andre Duncan selalu bersama sang istri, Michelle, ketika bepergian ke luar rumah, baik untuk berolahraga hingga berbelanja. Mereka berpisah bila sedang bekerja. Duncan, dikutip dari laman The New York Times bangga bila bisa menemani sang istri berbelanja ke pasar atau ke pasar swalayan dan membawa barang belanjaannya. Duncan memandang dirinya sebagai pengawal pribadi Michelle semenjak keduanya menikah.
Namun, setelah Michelle mendapatkan jatah vaksin Covid-19 karena bekerja di rumah sakit, garda terdepan penanganan penyakit yang ditemukan pertama kali di Wuhan, China ini, Duncan merasa “ditinggalkan”. Michelle yang memiliki kekebalan lebih baik dibanding dirinya bersikeras bahwa kerja-kerja bersama yang dulu mereka lakukan dilakukannya sendirian, termasuk berbelanja. Saat Michelle mengisi tas belanjaannya di pasar atau pasar swalayan, Duncan berada di rumah.
Baca juga : Vaksinasi Covid-19, Pintu Melepas Rindu
Duncan menganggap Michelle menjalani risiko itu sendirian. Sebuah hal yang semestinya, dalam pandangan Duncan, bisa dilakukan bersama selama mereka menjalankan protokol kesehatan dengan sebaik-baiknya.
Pada satu sisi, Duncan bersyukur bahwa salah satu darai mereka telah mendapat perlindungan. Tapi, di sisi lain, dia juga merasa bersalah karena Michelle menjalani risiko itu sendirian. Dalam pandangan Duncan, selama mereka menjalankan protokol kesehatan dengan sebaik-baiknya, risiko bisa dikurangi.
Tapi, kini yang timbul adalah perasaan gagal dalam tugasnya sebagai seorang suami. “Dia percaya bahwa dia melindungi saya, dan itu adalah hal yang benar untuk dilakukan. Sebaliknya, saya merasa saya tidak ingin dia melakukannya,” katanya.
Melissa Mahtani, produser senior pada stasiun televisi CNN International, dikutip dari laman CNN, mengaku, dirinya menangis ketika sang suami akhirnya memutuskan mendaftarkan dirinya untuk divaksin. Meski di dalam aturan vaksinasi Kota New York, tempat dia dan keluarganya tinggal, Mahtani bisa divaksin, dia memilih menunggu hingga seluruh keluarganya, termasuk keluarga besarnya di Zambia, menjalani vaksinasi yang sama dengan dirinya.
Namun, kematian sang paman di Zambia, tanah leluhur orang tuanya, karena tidak mendapatkan perawatan yang sesuai meski dia terinfeksi Covid-19, membuat Mahtani memutuskan untuk menjalani vaksinasi sebagai perlindungan bagi dirinya sendiri dan keluarganya. Meski begitu, di dalam hatinya, Mahtani merasa bersalah.
Baca juga : Kerja Berat ”Menteri Kesepian” Jepang
“Saya menangis karena rasa bersalah dan diliputi perasaan bahwa saya entah bagaimana telah dipilih untuk hidup dan mereka tidak. Saya tahu itu tidak masuk akal, tetapi meskipun saya selangkah lebih dekat untuk dapat melihat mereka (orang tua dan keluarga lainnya), saya merasa dan masih merasa seperti saya tidak akan pernah melihat mereka lagi. Secara rasional saya tahu itu tidak benar, tetapi saya tidak bisa menghilangkan perasaan itu,” kata Mahtani.
Kondisi serupa dialami Lolo Saney (65), seorang guru sekolah dasar. “Pada saat mendapat vaksin, alih-alih merasakan kebahagiaan dan selamat dari omong kosong ini, yang saya rasakan sebagai kesalahan besar dalam hidup saya,” kata dia. Dia menambahkan, hal itu karena sang ibu yang tinggal di Iran, musuh bebuyutan Pemerintah AS, masih menanti jatah vaksin yang entah kapan akan diberikan.
Ketimpangan Vaksin
Saat vaksinasi berjalan tidak sama, keinginan seluruh warga dunia untuk hidup kembali seperti sediakala, sebelum pandemi, juga tertunda. Bagi yang sudah menjalani vaksinasi, sebagian mungkin menunda diri untuk bersenang-senang, bepergian dan berkumpul dengan sesama rekan yang sudah menjalani vaksinasi; tinggal berdampingan dengan orang-orang terkasih yang belum mendapatkan jatah vaksin atau bahkan merawat keluarga yang terinfeksi serta tengah berjuang untuk lolos dari penyakit lain.
Yang menambah kerumitan mungkin adalah ketika anak-anak belum bisa divaksin dan belum diketahui kapan vaksin yang beredar bisa diberikan pada anak-anak. Kondisi ini menambah kerumitan bagi orang tua yang ingin mengajak anaknya keluar, bepergian ke luar rumah tanpa memiliki kemungkinan terinfeksi. Pun sudah divaksin, orang tua juga memiliki kemungkinan untuk menularkan penyakit ini kepada anak-anaknya.
Baca juga : Kala Rasa Bosan dan Lelah di Rumah Mulai Menghinggapi
Dr George James, seorang psikolog pada Counsil for Relationship, lembaga kesehatan mental di Philadelphia, mengatakan, kondisi ketimpangan vaksinasi inilah yang membebani psikologi seseorang. Tidak jarang, kata dia, hal ini bisa menyebabkan kecemasan, ketegangan serta depresi.
Taylor Thompson (31), seorang terapis pada lembaga konsultasi psikologis di Belanda mengatakan, dirinya tidak bisa membantu warga yang mengalami kecemasan, ketegangan hingga depresi ketika dirinya sendiri tidak terjamin keselamatannya karena tidak mendapatkan jatah vaksin di Belanda. Di kampung halamannya, Texas, Amerika Serikat, Thompson, masuk dalam daftar pekerja yang diprioritaskan untuk divaksin.
“Saya akhirnya memutuskan pulang ke Texas untuk divaksin. Ada perasaan tidak berdaya menanti kepastian jatah vaksin di Belanda,” kata Thompson.
Belanda, bagian dari Uni Eropa, memang sempat terlibat “perang” dengan Inggris terkait ketersediaan vaksin. Inggris menilai mereka, sebagai tuan rumah penelitian vaksin kerja sama AstraZeneca dan Universitas Oxford, berhak mendapatkan jatah vaksin sesuai dengan kontrak yang telah ditandatangani. Namun, pada saat yang sama, beberapa pabrik vaksin yang memproduksi vaksin AstraZeneca mengalami masalah dalam prosessnya, membuat Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen mengancam melarang ekspor vaksin dari pabrik-pabrik di UE bila mereka tidak mendapatkan jatah vaksin sebanyak 90 juta pada kuartal pertama tahun 2021.
Baca juga : Silang Sengkarut Pasokan Vaksin Covid-19 di UE, Potret Sengitnya Perebutan Vaksin
Rebutan vaksin tidak hanya terjadi di Eropa, tapi juga India. Pemerintah India yang dipercaya menjadi produsen vaksin AstraZeneca, yang menjadi sumber penyedia vaksin global melalui mekanisme COVAX, memilih menunda mengekspor vaksin yang diproduksi Serum Institute of India (SII) karena lonjakan kasus yang signifikan di negara tersebut. Sekitar 64 negara, terutama negara miskin di Afrika yang bergantung pada mekanisme vaksin ini dan juga beberapa negara Asia termasuk Korea Selatan, Indonesia serta Filipina, harus rela menunda program vaksinasi warganya.
Untuk mengatasi ketimpangan vaksinasi, terutama untuk memberikan perlindungan bagi warganya, pemerintah Inggris memilih interval 12 pekan antara pemberian dosis pertama dan dosis ke dua. Pemerintahan Perdana Menteri Boris Johnson memilih memperluas dan memperbanyak jumlah warga yang divaksin meski hanya memberikan 50 persen kekebalan.
Di Kanada, interval antara vaksin pertama dan kedua bahkan lebih lama lagi, mencapai empat bulan. Namun, ide ini ditolak oleh FDA, semacam Badan POM Amerika Serikat. Dr Luciana Borio, pelaksana tugas Kepala FDA, dikutip dari laman New York Times menilai tindakan menunda pemberian vaksin ke dua terlalu lama sebagai sebuah hal yang berbahaya. Dr Anthony Fauci, salah satu ilmuwan kenamaan AS, mengamini pendapat Borio.
Baca juga : Hak Semua Bangsa, Tidak Boleh Ada Nasionalisme Vaksin
Hampir seluruh ahli kesehatan mengakui, tidak boleh ada satupun warga atau negara yang tertinggal dalam proses vaksinasi Covid-19 ini. Mutasi demi mutasi yang telah ditunjukkan virus ini menunjukkan betapa menularnya Covid-19.
Setiap orang perlu divaksinasi agar seluruh dunia aman secara keseluruhan. Mahtani mengatakan, sampai itu terjadi, semua orang tetap harus bijaksana dan penuh kasih serta mengakui hak istimewa karena memiliki sumber daya untuk melindungi diri dari SARS-CoV-2, virus penyebab Covid-19.
“Covid-19 telah menunjukkan kepada kita bahwa itu tidak mendiskriminasi, dan begitu pula obat penawar,” ujarnya.