Perayaan keagamaan dan kegiatan politik praktis memicu kerumunan yang lalu menyebabkan lonjakan kasus baru Covid-19 di beberapa negara. Pelajaran bagi Indonesia.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·4 menit baca
GENEVA, RABU — Sebanyak 780 juta dosis vaksin Covid-19 telah diberikan di sejumlah negara di seluruh dunia, tetapi gelombang infeksi di banyak negara justru meningkat. Sekarang bukanlah waktunya untuk berpuas diri dan mengabaikan protokol kesehatan untuk mencegah penyebaran Covid-19.
Laporan mingguan pandemi Covid-19 Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), pekan lalu, menyatakan, pada Januari dan Februari, dunia menyaksikan enam pekan penurunan kasus Covid-19. Akan tetapi, sekarang dunia melihat tujuh pekan berturut-turut kasus Covid-19 naik dan empat pekan kasus meninggal meningkat.
Sebanyak 4,5 juta kasus baru Covid-19 dilaporkan di seluruh dunia dan 76.000 kasus meninggal baru juga dilaporkan pekan lalu atau naik 7 persen daripada pekan sebelumnya. Mayoritas kenaikan kasus baru disumbang oleh kasus baru di India, Amerika Serikat, Brasil, Turki, dan Perancis.
Pada Rabu (14/4/2021), India melaporkan 184.000 kasus baru Covid-19 dalam sehari yang merupakan tertinggi sejak pandemi terjadi. Sehingga kini kasus Covid-19 di India mencapai 13,9 juta kasus.
Sementara Turki pada Selasa (13/4/2021) melaporkan 59.187 kasus baru Covid-19 yang merupakan tertinggi sejak pandemi dan 273 kasus meninggal.
Kasus meninggal akibat Covid-19 di India pada hari yang sama pun menembus angka 1.000 kasus, tertinggi untuk pertama kalinya sejak pertengahan Oktober 2020.
Direktur Jenderal Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Tedros Adhanom Ghebreyesus mengatakan, jangan berbuat kesalahan, vaksin Covid-19 vital. Namun, vaksin bukan satu-satunya alat untuk melawan Covid-19. Pesan kesehatan yang berbeda dari pemerintah juga membuat publik bingung.
”Jaga jarak berpengaruh, masker berpengaruh. Cuci tangan berguna. Ventilasi yang baik juga. Surveilans, tes, pelacakan kasus, isolasi, dan karantina semuanya berguna untuk menghentikan infeksi Covid-19 dan menyelematkan nyawa,” tulis Tedros di Twitter, Senin (12/4/2021).
”Di banyak negara, terlepas penularan yang terus berlangsung, restoran dan kelab malam penuh, pasar buka dan dipadati orang yang mayoritas tidak mematuhi protokol kesehatan. Beberapa orang yang berusia muda beranggapan tidak masalah jika mereka tertular Covid-19,” kata Tedros.
India, yang kini menyalip Brasil sebagai negara dengan kasus Covid-19 terbanyak di dunia di bawah AS, menjadi contoh nyata bagaimana kasus baru meroket ketika protokol kesehatan diabaikan.
Pemilu di sejumlah negara bagian mengundang orang untuk berkerumun. Kemudian puluhan ribu orang juga berkumpul di Negara Bagian Uttarakhand untuk mengikuti festival keagamaan Kumbh Mela. Mayoritas umat Hindu yang berpartisipasi tidak memakai masker. Pada Senin-Selasa kemarin, kerumunan peserta festival memadati tepi Sungai Gangga untuk menyucikan diri atau ritual mandi.
Otoritas Kota Haridwar di aman festival Kumbh Mela diadakan mengumumkan, dari sekitar 50.000 sampel yang diambil dari peserta festival ada lebih dari 1.000 orang yang positif Covid-19.
”Seluruh negeri telah berpuas diri—kita telah mengizinkan kerumunan sosial, religious, juga politik,” kata Rajib Dasgupta, profesor di Jawaharlal Nehru University, New Delhi, seperti dikutip Aljazeera, Senin (12/4/2021). ”Tidak ada lagi yang menjaga jarak sosial.”
”Keyakinan kami adalah sesuatu yang sangat besar bagi kami. Begitu kuatnya keyakinan itu sehingga banyak orang yang datang ke sini untuk berendam di Sungai Gangga,” kata Siddharth Chakrapani, panitia Festival Kumbh Mela.
”Mereka yakin bahwa Maa (ibu) Gangga akan menyelamatkan mereka dari pandemi ini.”
Meski penyebaran kasus baru Covid-19 semakin tak terkendali, pemerintah federal India menghindari penerapan karantina wilayah yang tidak populer untuk melindungi ekonominya yang hancur.
Akan tetapi, otoritas lokal memberlakukan jam malam dan membatasi pergerakan dan aktivitas warganya. Di Mumbai, di mana berlaku karantina wilayah yang ketat, para pekerja migran pergi meninggalkan rumahnya untuk mencari kerja di kota lain.
Di Turki, yang juga mengalami lonjakan kasus Covid-19, Presiden Recep Tayyip Erdogan mengumumkan pembatasan baru selama dua minggu pada awal bulan suci Ramadhan untuk mengendalikan penyebaran Covid-19.
Dalam pidatonya setelah rapat kabinet, Erdogan mengatakan, pemerintah memberlakukan kembali larangan bepergian antarkota, melarang warga berusia di atas 65 tahun dan di bawah 18 tahun menggunakan transportasi publik, menyesuaikan kembali jam kerja pegawai pemerintah, menutup pusat hiburan dan olahraga, serta memperpanjang durasi jam malam.
Sekolah akan kembali belajar jarak jauh kecuali kelas untuk persiapan masuk sekolah menengah dan universitas. Pernikahan, pesta, dan kerumunan lainnya akan dilarang sampai setelah Idul Fitri. Buka puasa dan sahur bersama juga dilarang. (AFP/AP/ REUTERS)