Kekhawatiran menyusul gagalnya perundingan terbaru antara Mesir, Sudan, dan Etiopia terkait pasokan air Sungai Nil kian menguat. Rusia menawarkan diri menjadi mediator.
Oleh
Musthafa Abd. Rahman, dari Kairo, Mesir
·4 menit baca
KAIRO, KOMPAS — Masyarakat internasional mulai cemas akan terjadinya skenario terburuk, yakni meletusnya perang terbuka Mesir-Sudan melawan Etiopia. Kekhawatiran itu dipicu oleh gagalnya perundingan di Kinshasa, Kongo, pada 4-5 April soal bendungan raksasa kebangkitan di Etiopia atau dikenal dengan the Grand Ethiopian Renaissance Dam.
Menyikapi situasi itu, Rusia bergegas menawarkan jasa sebagai sponsor pertemuan segitiga Mesir, Sudan, dan Etiopia dalam upaya mencegah meletusnya perang terkait isu the Grand Ethiopian Renaissance Dam (GERD). Kesediaan Rusia itu menyusul pertemuan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov dan Presiden Mesir Abdel Fattah el-Sisi hari Senin (12/4/2021) lalu di Kairo, Mesir.
Kepada Presiden El-Sisi, Lavrov mengatakan kesediaan Rusia menjadi koordinator pertemuan segitiga Mesir, Sudan, dan Etiopia mendatang. Lavrov juga menyampaikan bahwa Rusia akan melakukan komunikasi dengan pejabat Etiopia pekan ini dalam upaya mencari solusi kompromi.
Lavrov, seperti dikutip harian terkemuka Mesir, Al Ahram, menegaskan, perundingan soal GERD harus menjamin kepentingan semua pihak dan Rusia memiliki kepentingan akan tercapainya solusi atas isu ini. Ia mengungkapkan, Rusia siap memberi bantuan teknis dan teknologi dalam perundingan mendatang soal GERD.
Adapun Presiden El-Sisi menegaskan, Mesir kini memberi perhatian kepada isu GERD dalam upaya menjaga hak-hak historis Mesir atas air Sungai Nil. Menurut El-Sisi, air Sungai Nil adalah bagian integral isu keamanan nasional bagi rakyat Mesir.
Seperti dimaklumi, 97 persen kebutuhan air minum dan irigasi di Mesir sangat bergantung pada Sungai Nil. Di sisi lain, Presiden Mesir itu juga menegaskan keinginan Mesir untuk mencapai kesepakatan komprehensif yang berkekuatan hukum dan mengikat semua pihak tentang mekanisme pengisian air dan operasional GERD.
El-Sisi mengatakan, jika para pihak selalu gagal mencapai kesepakatan soal isu GERD, hal itu akan mengganggu keamanan dan stabilitas kawasan.
Adapun Menlu Mesir Sameh Shoukry dalam konferensi pers yang digelar bersama dengan Lavrov menegaskan, Mesir menolak berunding lagi dengan Etiopia soal GERD jika Etiopia terus melakukan langkah sepihak terkait GERD.
Ketua tim perunding Sudan soal isu GERD, Mustafa Hussein al-Zubeir, menegaskan pula, Sudan menolak terlibat lagi dalam perundingan sia-sia yang hanya membuang-buang waktu soal isu GERD.
Mesir, Sudan, dan Etiopia telah menggelar perundingan segitiga soal isu GERD dalam 10 tahun terakhir, yakni sejak pengumuman pembangunan GERD oleh Etiopia pada April 2011. Namun, semua perundingan itu gagal mencapai kesepakatan.
Al-Zubeir mengatakan, Sudan hanya siap membuka perundingan lagi soal GERD dengan mekanisme perundingan yang berbeda melalui cara memberi peran aktif kepada para pihak peninjau.
Dalam forum perundingan Kinshasa yang digelar pada 4-5 April lalu, Mesir dan Sudan menawarkan usulan perundingan segitiga Mesir, Sudan, dan Etiopia mendatang tentang GERD dilakukan di bawah sponsor langsung kuartet internasional, yaitu PBB, Uni Eropa, AS, dan Uni Afrika. Mereka, kuartet internasional itu, juga memiliki peran aktif dan hak suara.
Namun, Etiopia menolak keras usulan Mesir-Sudan tersebut dan hanya menerima Uni Afrika sebagai sponsor perundingan. Bahkan Etiopia menuduh Mesir dan Sudan akan melakukan internasionalisasi isu GERD dengan cara mengundang kuartet internasional.
Etiopia juga bersikeras akan melakukan pengisian air GERD tahap kedua pada Juli mendatang meskipun belum tercapai kesepakatan soal isu GERD dengan Mesir dan Sudan. Sebelumnya pada Juli 2020, Etiopia melakukan pengisian air GERD tahap pertama secara sepihak tanpa ada kesepakatan dengan Mesir dan Sudan.
GERD yang dibangun untuk tujuan menyediakan listrik di Etiopia memiliki daya tampung hingga 74,5 miliar kubik air. Daya tampung air GERD itu melebihi jatah air Sungai Nil dari Mesir dan Sudan sesuai kesepakatan antara Mesir dan Sudan tahun 1959.
Sesuai kesepakatan tahun 1959 antara Mesir dan Sudan, Mesir mendapat jatah air dari Sungai Nil 55 miliar kubik per tahun dan Sudan mendapat jatah 18,5 miliar kubik air dari Nil per tahun.
Mesir dan Sudan sangat khawatir, jika Etiopia terus melakukan tindakan sepihak dalam pengisian air dan operasional GERD, akan mengurangi jatah air Mesir dan Sudan sebagaimana diatur dalam kesepakatan tahun 1959.
Dalam konteks isu GERD, Mesir telah bersiap menghadapi kemungkinan terburuk, yakni perang dengan Etiopia.
Kerja sama keamanan
Di tengah ketegangan hubungan dengan Etiopia itu, Mesir pekan lalu menandatangani kerja sama militer dan intelijen dengan Uganda. Sebelumnya, Mesir juga telah menandatangani kerja sama militer dengan Sudan.
Mesir telah menempatkan satuan pasukan komando dan pesawat tempur di Sudan. Pada 5 April lalu, Mesir dan Sudan melakukan latihan tempur udara bersama yang diberi nama Nile Eagles 2 di area Pangkalan Udara Merowe, timur laut Sudan. Sebelumnya pada November 2020, Mesir dan Sudan melakukan latihan tempur udara bersama yang diberi nama Nile Eagles 1.
Kepala Staf Angkatan Bersenjata Mesir Letjen Mohamed Farid Hegaze dalam latihan Nile Eagles 2 menegaskan, militer Mesir berada satu barisan dengan militer Sudan dalam membangun masa depan keamanan di kawasan.