Lembaga Keuangan di Selandia Baru Wajib Laporkan Risiko Dampak Perubahan Iklim
Setiap lembaga keuangan dengan dana kelolaan atau aset di atas 703 miliar dollar AS harus memaparkan risiko peluang perubahan iklim pada usaha mereka dan rencana untuk memitigasi risiko itu.
Oleh
Kris Mada
·4 menit baca
WELLINGTON, RABU — Selandia Baru mengusulkan aturan baru terkait perubahan iklim. Setiap lembaga keuangan dengan dana kelolaan atau aset di atas 703 miliar dollar AS harus memaparkan risiko peluang perubahan iklim pada usaha mereka dan rencana untuk memitigasi risiko itu.
Menteri Perdagangan dan Konsumen Selandia Baru David Clark mengatakan, rancangan undang-undang soal kewajiban itu telah disetorkan ke parlemen. Jika disahkan, kewajiban pelaporan bagi bank, perusahaan asuransi, dan perusahaan investasi ini berlaku mulai 2023.
Laporan, antara lain, wajib mencantumkan dampak banjir dan badai pada rantai pasok dan bangunan milik nasabah dan debitor perbankan. Industri keuangan juga perlu memaparkan dampak keuangan jika operasi mereka mengurangi emisi karbon.
”Banyak usaha menghadapi risiko signifikan terkait perubahan iklim. Kala sebagian sudah mulai memaparkan laporan risiko dampak perubahan iklim pada usaha, masih banyak yang belum melakukan hal senada. Penting bagi setiap pihak di Selandia Baru membantu memangkas emisi dan mendorong transisi ke masa depan yang rendah karbon. RUU ini memastikan perusahaan keuangan mengungkap dan bertindak pada peluang serta risiko perubahan iklim,” kata Clark.
Menteri Urusan Perubahan Iklim James Shaw mengatakan, target emisi nol persen pada 2050 tidak bisa tercapai pada jika industri keuangan tidak terlibat. ”RUU ini membawa risiko perubahan iklim ke pusat pengambilan keputusan usaha dan industri keuangan. Mewajibkan industri keuangan mengungkap risiko perubahan iklim akan membantu dunia usaha mengenali kegiatan penghasil emisi tinggi yang dapat mengancam masa depan mereka,” paparnya.
Ia menyebut, perubahan iklim bisa berdampak pada seluruh sektor usaha Selandia Baru. Beberapa perusahaan mungkin tidak bisa beradaptasi di tatanan baru yang rendah karbon. Sebab, perusahaan itu menghasilkan emisi karbon terlalu tinggi.
Negara lain
Salah satu kajian terbaru soal dampak perubahan iklim pada sektor keuangan dibuat oleh peneliti dari Cambridge University, University of East Anglia, dan University of London. Mereka membuat permodelan untuk menimbang dampak perubahan iklim pada rating kredit berbagai negara. Dalam hasil penelitian Klusak et al yang disiarkan pada 18 Maret 2021 itu, rating obligasi 63 negara ditaksir akan turun rata-rata 1,02 poin pada 2030. Sementara pada 2100, rating surat utang 80 negara akan anjlok sampai 8 poin.
Semakin rendah rating kredit, semakin besar biaya utang yang harus ditanggung penerbit obligasi. Sebab, rating mencerminkan tingkat risiko dan rating rendah cenderung mencerminkan risiko tinggi. Agar investor tetap mau membeli obligasi, penerbit harus menaikkan biaya utang. Kenaikan imbal hasil dan peningkatan cicilan adalah sebagian dari dampak langsung dari penurunan rating kredit.
Indonesia pun ikut terdampak, walau tidak separah sejumlah negara lain. Permodelan tiga universitas Inggris itu memperkirakan rating obligasi Indonesia menurun hingga 3,9 poin gara-gara perubahan iklim yang dipicu peningkatan emisi karbon. Dampaknya, Indonesia harus menangggung tambahan biaya utang hingga 1,36 miliar dollar AS per tahun.
Dampak lebih berat dapat dirasakan, antara lain, oleh Australia, Malaysia, China, Kanada, dan Amerika Serikat. Negara-negara itu diproyeksi mengalami pemangkasan rating dari 4 poin hingga 7 poin jika penduduk Bumi gagal mengurangi emisi karbon sehingga perubahan iklim tidak terkendali.
Pada 80 negara yang diperiksa oleh tiga universitas Inggris tersebut, total penambahan tahunan atas biaya utangnya mencapai 205 miliar dollar AS. Pada kurs Rp 14.000 per dollar AS, nilai cicilan itu melebihi APBN 2021 yang bernilai Rp 2.750 triliun.
Tambahan cicilan tidak hanya ditanggung negara. Perusahaan-perusahaan juga harus menanggung tambahan cicilan tahunan atas obligasi mencapai 62,5 miliar dollar AS. Risiko itu terjadi apabila emisi karbon tetap dihasilkan dalam skenario terburuk atau dikenal RCP 8,5.
Sementara jika penduduk Bumi mulai menurunkan emisi karbon dan mencapai nol pada 2100 atau dikenal sebagai skenario RCP 2,6, risiko penurunan rating surat utang bisa ditekan menjadi hanya 0,5 poin. Adapun tambahan cicilan tahunan diproyeksi pada kisaran 34 miliar dollar AS untuk obligasi pemerintah dan 12,6 miliar dollar AS untuk obligasi perusahaan.
Dalam penelitian Oxford Economics yang dipimpin James Nixon diungkap, dunia menanggung kerugian rata-rata 300 miliar dollar AS per tahun gara-gara aneka bencana yang dipicu perubahan iklim. Padahal, dengan asumsi kurs Rp 14.000 per dollar AS, APBN Indonesia 2021 bernilai 196 miliar dollar AS. Dengan demikian, kerugian tahunan akibat bencana setara 1,5 kali APBN Indonesia.
Aras kehilangan PDB di setiap negara bisa berbeda-beda. Indonesia termasuk negara yang paling riskan jika mengacu pada kajian Oxford Economics itu.
Seiring bencana yang semakin kerap, nilai kerugiannya terus membesar dari waktu ke waktu. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Indonesia pernah mengungkap, nilai kerugian akibat bencana di Indonesia mencapai 5,7 miliar dollar AS hanya pada 2019.
Kajian Oxford Economics juga menaksir hingga 7,5 persen produk domestik bruto (PDB) global, yang bernilai 87,5 triliun dollar AS pada 2019, akan hilang jika suhu permukaan Bumi naik sampai 2 derajat celsius. Hal itu berarti dunia bisa kehilangan PDB sampai 65 triliun dollar AS atau melebihi 60 kali PDB Indonesia 2020 yang bernilai 1,04 triliun dollar AS.
Aras kehilangan PDB di setiap negara bisa berbeda-beda. Indonesia termasuk negara yang paling riskan apabila mengacu pada kajian Oxford Economics itu. Sebab, Indonesia dikategorikan negara yang PBD per kapitanya terpangkas lebih dari separuh jika perubahan iklim gagal dikendalikan dan suhu permukaan Bumi terus naik. (REUTERS)