Intrik Keluarga Kerajaan hingga Peran Geopolitik Jordania
Keluarga besar Hashemite senantiasa berupaya menjaga kekompakan demi eksistensi kekuasaan mereka di Jordania. Kekompakan juga dibutuhkan demi peran penting geopolitik Jordania.
Drama krisis politik di Jordania akibat gerakan pembangkangan mantan Putra Mahkota, Pangeran Hamzah bin Hussein (41), dan loyalisnya pada hari Sabtu (3/4/2021) cukup mengejutkan sekaligus mencemaskan. Media internasional menyebut gerakan Pangeran Hamzah itu adalah sebuah upaya kudeta terhadap kekuasaan kakak tirinya, Raja Abdullah II.
Upaya kudeta Pangeran Hamzah tersebut akhirnya berhasil digagalkan. Aparat keamanan Jordania sampai saat ini masih menahan loyalis Pangeran Hamzah yang berjumlah 14 hingga 16 orang. Pangeran Hamzah sendiri sempat dikenai tahanan rumah.
Masyarakat internasional sangat terkejut atas kasus Pangeran Hamzah itu mengingat keluarga besar Hashemite yang berkuasa di Jordania sejak 1921 tersebut dikenal sangat solid. Namun, menguapnya berita gerakan Pangeran Hamzah ke media internasional memberi pesan bahwa dinding-dinding pelindung dari keretakan keluarga besar Hashemite mulai jebol.
Baca juga : Mantan Pejabat Mossad Terlibat dalam Upaya Kudeta Gagal di Jordania
Sudah rahasia umum bahwa di internal keluarga besar Hashemite juga ada intrik-intrik keluarga. Namun, mereka selama ini lebih memilih menyelesaikan persoalan internal secara kekeluargaan.
Rawan
Kekuasaan di negeri Jordania yang kini berada pada generasi keempat dari Raja Abdullah I, sang pendiri dinasti Hashemite di Jordania pada 1921, dinilai berada di era cukup rawan. Pasalnya, mendiang Raja Hussein bin Talal (Raja Jordania dari tahun 1952 hingga 1999) memiliki empat istri yang menurunkan 11 anak dari keempatnya. Di antara 11 anak itu, Raja Abdullah II yang kini berkuasa merupakan anak dari istri kedua Raja Hussein, Ratu Mona.
Pertarungan merebut takhta raja sesungguhnya sudah dimulai menjelang wafatnya Raja Hussein pada 1999. Ratu Noor, istri keempat Raja Hussein, menginginkan putra sulungnya, Pangeran Hamzah, naik takhta sebagai raja setelah Raja Hussein wafat. Namun, Raja Hussein saat itu masih ragu menyerahkan kekuasaan kepada Pangeran Hamzah sesuai permintaan Ratu Noor karena usia Pangeran Hussein masih terlalu muda, baru 19 tahun saat itu, dan kurang pengalaman.
Raja Hussein cenderung memilih memberi kekuasaan kepada Pangeran Abdullah II yang saat itu sudah berusia 37 tahun dan sedang memimpin pasukan elite komando Jordania. Pangeran Abdullah II dinilai jauh lebih matang dibandingkan dengan Pangeran Hamzah, baik dari segi usia maupun pengalaman.
Sebagai jalan kompromi dengan Ratu Noor, Raja Hussein berjanji akan menempatkan Pangeran Hamzah sebagai putra mahkota dari Raja Abdullah II. Raja Hussein juga berwasiat kepada Pangeran Abdullah II agar menunjuk Pangeran Hamzah menjadi putra mahkota jika kelak naik takhta.
Itulah pertarungan awal berebut kekuasaan di Jordania di antara anak-anak Raja Hussein yang diselesaikan melalui jalan kompromi antara Raja Hussein dan Ratu Noor.
Baca juga : Pangeran Hassan Akhiri Drama Krisis Politik di Jordania
Tatkala Raja Hussein wafat pada 7 Februari 1999 dan Pangeran Abdullah II dinobatkan sebagai raja baru Jordania, Raja Abdullah II langsung menunjuk Pangeran Hamzah sebagai putra mahkota sesuai dengan wasiat mendiang ayahnya.
Namun, posisi Pangeran Hamzah sebagai putra mahkota hanya berlangsung lima tahun. Tahun 2004 Raja Abdullah II mendudukkan putra sulungnya sendiri yang ketika itu baru berusia 10 tahun, Pangeran Hussein bin Abdullah II, menggantikan Pangeran Hamzah.
Ratu Noor saat itu marah besar atas tindakan Raja Abdullah II tersebut karena dianggap melanggar wasiat mendiang Raja Hussein. Sejak Pangeran Hamzah tidak menjabat putra mahkota, Ratu Noor memilih lebih banyak tinggal di Amerika Serikat. Ia hanya sesekali berkunjung ke Jordania untuk menengok anak-anaknya.
Hubungan Ratu Noor dengan Raja Abdullah II dan istrinya, Ratu Rania, juga
dikenal kurang harmonis. Hal itu berdampak pada hubungan Pangeran Hamzah dan Raja Abdullah II yang selalu dingin.
Perpecahan tersebut sesungguhnya sudah terjadi saat Raja Abdullah II melanggar wasiat mendiang Raja Hussein pada 2004.
Jika merujuk pada kesepakatan antara mendiang Raja Hussein, Ratu Noor, dan Raja Abdullah II tentang pembagian kekuasaan di Jordania setelah wafatnya Raja Hussein, sesungguhnya sudah ada potensi perpecahan di kemudian hari jika kompromi itu dianggap tidak dihormati lagi. Bahkan, perpecahan tersebut sesungguhnya sudah terjadi saat Raja Abdullah II melanggar wasiat mendiang Raja Hussein pada 2004.
Selain adanya intrik keluarga itu, hal lain yang juga turut menyulut perpecahan adalah krisis ekonomi di Jordania akibat pandemi Covid-19. Angka pengangguran di Jordania tahun 2020 mencapai 23 persen, dan sekitar 50 persen dari angka tersebut adalah pemuda. Belum lagi, Jordania memikul beban tumpleknya pengungsi Suriah yang mencapai 650.000 orang.
Terbatas
Keluarga besar Hashemite dikenal memiliki tradisi yang senantiasa menjaga kekompakan keluarga demi eksistensi kekuasaan mereka di negeri Jordania. Keluarga besar Hashemite sadar akan negeri Jordania yang kecil dengan kekayaan alam yang sangat terbatas dan dikelilingi negara-negara besar regional yang jauh lebih kuat dibandingkan dengan negeri Jordania.
Baca juga : Drama Tiga Hari di Jordania
Di sebelah barat, negeri Jordania berbatasan dengan Israel, sebelah utara dengan Suriah, sebelah timur dengan Irak, dan sebelah selatan dengan Arab Saudi. Jordania selama ini sangat bergantung pada bantuan ekonomi luar negeri, khususnya dari Amerika Serikat dan negara-negara Arab Teluk, untuk menopang ekonominya.
Kegagalan keluarga besar Hashemite menjaga kekompakan itu dapat berisiko punahnya kekuasaan mereka di negeri tersebut. Sebab, akan sangat mudah kepentingan asing masuk merobek-robek negeri Jordania yang memang sudah lemah itu.
Kepentingan untuk menjaga eksistensi kekuasaan keluarga besar Hashemite selama ini berhasil meredam konflik Raja Abdullah II dengan Ratu Noor dan Pangeran Hamzah sehingga tidak muncul ke permukaan.
Melalui surat terbuka yang disiarkan televisi Jordania, Pangeran Hamzah menyatakan kesetiaannya kepada Raja Abdullah II dan Putra Mahkota, Pangeran Hussein bin Abdullah II.
Ketika konflik Raja Abdullah II dengan Ratu Noor dan Pangeran Hamzah muncul ke permukaan pada hari Sabtu pekan lalu, dengan cepat bisa diselesaikan lewat proses kekeluargaan. Pangeran Hassan, yang merupakan paman dari Raja Abdullah II dan Pangeran Hamzah, tampil sebagai mediator dan berhasil mengakhiri krisis tersebut pada Senin (5/4/2021).
Melalui surat terbuka yang disiarkan televisi Jordania, Pangeran Hamzah menyatakan kesetiaannya kepada Raja Abdullah II dan Putra Mahkota, Pangeran Hussein bin Abdullah II. Ia juga menyatakan komitmennya untuk menjaga kepentingan nasional Jordania.
Selain kesadaran menjaga eksistensi kekuasaan keluarga Hashemite, mereka juga berusaha menjaga kekompakan itu demi menjaga peran penting geopolitik negeri Jordania yang berhasil dimainkan secara cerdik oleh mendiang Raja Hussein dan kemudian diteruskan oleh Raja Abdullah II.
Geopolitik
Meskipun kecil dan kekayaan alam terbatas, Jordania memiliki peran besar dalam geopolitik. Kekuatan internasional ataupun regional selama ini membutuhkan peran Jordania.
Baca juga : Pemerintah Jordania Tuduh Pangeran Hamzah Berkomplot dengan Pihak Asing
Mengingat posisi strategis Jordania dalam konteks geopolitik, ketika krisis politik itu meletup di Jordania, dunia Arab dan internasional langsung menyatakan dukungannya atas Raja Abdullah II dan stabilitas negeri Jordania. Amerika Serikat, Israel, Turki, Arab Saudi, Mesir, Qatar, Kuwait, dan Uni Emirat Arab segera menyampaikan dukungannya kepada Raja Abdullah II.
Jordania dianggap berperan kunci dalam proses perdamaian Arab-Israel karena negeri itu sudah menandatangani kesepakatan damai dengan Israel pada 1994. Jordania adalah pendukung konsep solusi dua negara dalam solusi konflik Israel-Palestina, sesuai dengan aspirasi masyarakat internasional.
Jordania juga dinilai penting dalam aksi perang melawan teroris, dalam perannya sebagai anggota aliansi internasional pimpinan Amerika Serikat melawan kelompok Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS) yang dibentuk pada September 2014. Selama ini, Jordania membuka pangkalan-pangkalan udaranya untuk tempat transit atau titik tolak pesawat tempur Amerika Serikat yang akan menggempur sasaran NIIS di Suriah dan Irak.
Faktor dukungan internasional kepada Raja Abdullah II dan stabilitas Jordania tersebut turut membantu Pangeran Hamzah memilih jalan kompromi dan tetap loyal kepada Raja Abdullah II.