Pembicaraan tak langsung soal program nuklir Iran antara Amerika Serikat dan negara-negara penanda tangan Kesepakatan Nuklir 2015 terancam buntu selama AS dan Iran berkeras pada sikapnya masing-masing.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
VIENNA, SABTU — Meski beberapa negara utama penanda tangan Kesepakatan Nuklir Iran 2015 melihat sejumlah kemajuan dalam perundingan tidak langsung Iran-Amerika Serikat, terdapat kemungkinan pembicaraan ini tidak akan menemui hasil yang diharapkan alias buntu. Delegasi Iran dan Amerika Serikat bertahan dengan posisinya masing-masing, terutama siapa yang harus melakukan aksi terlebih dulu dibanding yang lain.
Salah satunya mengenai sanksi apa yang harus dicabut oleh AS untuk melanjutkan kepatuhan Iran terhadap kesepakatan nuklir tersebut atau Rencana Aksi Komprehensif Bersama (JCPOA). Sebaliknya, dalam pandangan Iran, AS harus mencabut seluruh sanksi yang dijatuhkan mantan Presiden AS Donald Trump tahun 2017 tanpa syarat agar pembicaraan bisa berlangsung kembali.
Seorang pejabat AS yang ikut dalam delegasi mengatakan kepada para jurnalis, Jumat (9/4/2021), Pemerintah AS telah mengajukan tawaran yang sangat serius dan hal itu memperlihatkan keseriusan Washington untuk menaati perjanjian jika Iran membalasnya juga dengan kepatuhan.
”Kami melihat beberapa tanda dari Iran. Namun, tentunya hal itu belum cukup. Masih ada tanda tanya yang cukup besar apakah Iran bersedia untuk melakukan pendekatan yang pragmatis yang telah diambil oleh AS agar kembali memenuhi kewajibannya berdasarkan perjanjian yang ada,” kata pejabat tersebut.
Berbeda dengan Trump yang keluar dari JCPOA dengan target bisa melakukan tekanan maksimum terhadap Iran, Presiden Biden berupaya agar Iran mau kembali melaksanakan substansi perjanjian nuklir 2015 dengan langkah diplomasi. Dalam pandangan Biden, JCPOA 2015 telah berhasil membuat Iran patuh untuk membuat program nuklirnya menjadi lebih ”ramah”. Badan Energi Atom Internasional (IAEA) yang bertugas melakukan inspeksi terhadap program nuklir Iran juga menyatakan bahwa negara itu memenuhi janjinya untuk mengurangi kegiatan pengembangan nuklirnya secara dramatis.
Pemerintah AS menyatakan siap untuk mencabut sejumlah sanksi yang tidak sesuai dengan JCPOA, tanpa mengelaborasi lebih jauh sanksi apa saja yang ditawarkan untuk dicabut. Meski tidak ada penjelasan detil, pemerintah AS diduga mengecualikan pencabutan sanksi yang secara resmi tidak terkait dengan masalah nuklir yang tercakup dalam perjanjian nuklir itu, termasuk masalah hak asasi manusia dan sebagainya.
”Semua sanksi yang tidak sesuai dengan JCPOA dan tidak sesuai dengan keuntungan yang diharapkan Iran dari JCPOA siap kami cabut. Itu tidak berarti semuanya karena ada beberapa yang merupakan sanksi yang sah. Jika Iran berpegang pada posisi bahwa setiap sanksi yang telah dijatuhkan sejak 2017 harus dicabut atau tidak akan ada kesepakatan, kami menuju kebuntuan,” kata pejabat senior AS itu kepada sejumlah wartawan melalui sambungan telepon.
Tuntutan Iran agar AS mencabut seluruh sanksi, yang menurut The New York Times berjumlah 1.600-an, telah mengemuka saat Pemerintah AS menyatakan niatnya untuk melakukan pembicaraan dan negosiasi ulang JCPOA, termasuk larangan sepihak terhadap ekspor minyak Iran. Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif di Twitter mencuit, ”AS yang menyebabkan krisis ini harus kembali ke kepatuhan terlebih dahulu. Iran akan membalas dengan verifikasi cepat.”
Ketua delegasi Iran untuk perundingan tak langsung, Abbas Araghchi, menekankan perlunya kemauan politik dan keseriusan dari pihak lain. ”Jika tidak, tidak akan ada alasan untuk melanjutkan negosiasi,” katanya, menurut pernyataan dari kementerian luar negeri Iran.
Momentum positif
Walau pembicaraan dinilai alot oleh banyak pihak, Enrique Mora, diplomat Uni Eropa yang mengetuai perundingan tak langsung, menyatakan, pertemuan itu berlangsung konstruktif dan berorientasi pada hasil.
Nada positif juga disampaikan Utusan Rusia untuk IAEA Mikhail Ulyanov. Dia mengatakan, negara-negara peserta perundingan mencatat dengan kepuasan kemajuan awal yang telah dibuat dan bertekad ingin mempertahankan momentum positif.
Delegasi sejumlah negara penanda tangan JCPOA, yaitu Inggris, China, Perancis, Jerman dan Rusia, membentuk dua kelompok kerja tingkat ahli yang bertugas menyusun daftar sanksi yang akan dan bisa dicabut oleh Washington serta pembatasan program nuklir yang wajib dilaksanakan oleh Iran. ”Semua pihak telah mempersempit perbedaan mereka, dan kami melihat momentum untuk mengembangkan konsensus secara bertahap,” kata Wang Qun, utusan China untuk IAEA, kepada wartawan.
Kementerian Luar Negeri Iran dalam sebuah pernyataan menyatakan, tim perunding akan memulai pembicaraan kembali pada Rabu pekan depan. Kompleksitas teknis program nuklir dan kerumitan hukum sanksi yang telah berlangsung selama bertahun-tahun akan membutuhkan waktu berminggu-minggu untuk dibahas dan disepakati bersama.
Beberapa diplomat berharap kesepakatan dapat dicapai sebelum pemilihan presiden Iran yang akan berlangsung pada 18 Juni. Jika tidak, perundingan ini berisiko mundur hingga akhir tahun.
Henry Rome, seorang analis pada perusahaan riset Grup Eurasia, mengatakan, jika Iran memutuskan untuk bergerak cepat sebelum pemilihan presiden berlangsung, AS bisa dipastikan akan menerima tawaran Iran. Namun, ada konsekuensi tersendiri.
”Kondisi itu akan mengharuskan Iran untuk berkompromi pada sanksi dan tuntutan urutannya. Jika Teheran tidak puas dengan posisi AS, atau jika Pemimpin Tertinggi Ali Khamenei waspada tentang konsekuensi politik dari terobosan diplomatik di tengah kampanye kepresidenan, Teheran akan menginjak rem,” kata Rome. (AFP/Reuters)