Gara-gara Kursi, UE-Turki Memanas Lagi
Persoalannya bermula dari kejadian yang tampak sepele: soal kursi. Namun, dalam diplomasi, masalah kursi bagi pemimpin delegasi bisa menjadi isu sensitif, dengan konsekuensi serius. Ini terjadi dalam pertemuan UE-Turki.
Bukti misoginis. Tanda patriarki. Demikian anggapan banyak orang setelah melihat video singkat atau foto kala Ketua Komisi Eropa Ursula von der Leyen, yang datang bersama Presiden Dewan Eropa Charles Michel, berdiri menjelang pertemuan dengan Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di Istana Kepresidenan Turki, Ankara, 6 April lalu. Kala Von der Leyen berdiri, Erdogan sudah duduk bersebelahan dengan Michel.
Dalam video pendek terdengar Von der Leyen, perempuan mantan Menteri Pertahanan Jerman, berdeham sembari berdiri. Beberapa saat kemudian, ia duduk di kursi panjang berhadapan dengan Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu.
Baca juga: Turki Mundur dari Konvensi Perlindungan Perempuan
Peristiwa singkat menjelang pertemuan Turki-Uni Eropa (UE) itu memicu protes di kalangan UE. Apalagi, insiden itu terjadi setelah Ankara keluar dari Konvensi Dewan Eropa tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan terhadap Perempuan dan Kekerasan Domestik, yang lebih dikenal dengan sebutan ”Konvensi Istanbul” karena ditandatangani di kota itu pada 2011.
Peristiwa tersebut juga terjadi di tengah ketegangan Ankara-Brussels terkait berbagai isu, mulai dari masalah imigran, keamanan, hingga perlindungan HAM. ”Beliau jelas mempertimbangkan ini sebagai masalah penting dan harus ditangani secara layak,” kata juru bicara Komisi Eropa Eric Mamer, merujuk pada sikap Von der Leyen.
Mamer menyebut peristiwa singkat di Ankara itu menajamkan fokus Von der Leyen pada isu perlindungan perempuan. Isu ini ditegaskan Von der Leyen dalam pernyataan selepas pertemuan di Ankara.
Gara-gara insiden tersebut, ekonom sekaligus politisi Italia, Mario Draghi, sampai menuding Erdogan sebagai diktator. ”Saya sangat tidak setuju dengan perilaku Erdogan. Saya yakin ini perilaku yang sangat tidak layak. Saya sangat menyesal atas penghinaan yang dialami Von der Leyen,” ujar mantan Presiden Bank Sentral Eropa yang kini menjadi Perdana Menteri Italia itu.
Baca juga: Dinilai Tidak Manusiawi, Turki Gugat Yunani
Draghi menambahkan, ”(Penghinaan) itu terjadi dengan—sebut saja mereka seperti apa adanya—para diktator ini, dengan orang yang membutuhkan, yang seharusnya jujur dalam mengungkapkan perbedaan pandangan, opini, perilaku, visi masyarakat... tetapi juga siap berkolaborasi, lebih mau bekerja sama, bekerja sama untuk memastikan tercapainya kepentingan negaranya.”
Ankara tentu tidak diam saja dengan tudingan dari Eropa. Dalam pernyataan pada Kamis (8/4/2021), Cavusoglu mengungkap pengaturan kursi untuk delegasi UE sudah mengikuti protokol internasional. Pengaturan kursi juga disesuaikan dengan keramahan Turki yang sudah terkenal.
”Kami bukan negara baru. Kami tahu cara memperlakukan tamu,” ujar Cavusoglu, sebagaimana dikutip sejumlah media Turki, seperti Daily Sabah dan Anadolu.
Kami bukan negara baru. Kami tahu cara memperlakukan tamu.
Ia menyebut, protokoler Ankara dan Brussels sudah lama mempersiapkan pertemuan itu. Protokoler kedua pihak juga sudah saling berkonsultasi. ”Permintaan UE dipenuhi. Pengaturan duduk itu sesuai dengan saran mereka,” ujarnya.
Kantor berita Turki, Anadolu, melaporkan bahwa gara-gara komentar sengit PM Draghi tersebut, Ankara memanggil Duta Besar Italia untuk Turki guna melayangkan protes. Cavusoglu menyebut pernyataan Draghi yang disebutnya ”populis, kasar, dan tidak masuk akal”. Jubir Erdogan, Ibrahim Kalin, berharap Draghi mengoreksi pernyataannya.
Namun, meski Turki bersikukuh telah mengikuti protokol UE, Kepala Protokol Dewan UE Dominique Marro mengungkapkan bahwa timnya tidak mendapat akses untuk memeriksa ruangan tempat pertemuan sebelum pertemuan berlangsung.
”Andai saja ruangan untuk pertemuan ramah-tamah itu bisa dikunjungi lebih dulu, kami tentu akan memberikan saran kepada tuan rumah sebagai kesopanan agar mereka mengganti sofa dengan kursi dengan dua tempat tangan bagi Ketua Komisi (Eropa),” ujar Marro dalam catatan Dewan UE, yang diumumkan terbuka.
Sorotan kepada Michel
Di luar perseteruan UE-Turki, sebagian kalangan menyoroti soal kekompakan di internal UE. Sorotan itu muncul dari sikap Charles Michel, Presiden Dewan Eropa, yang segera mengambil kursi duduk, sementara Von der Leyen masih mencari kursi tempatnya.
”Penataan ruang untuk pertemuan ini terlihat tidak mengacu pada tata aturan... tetapi lebih akibat dari cara penampilan chauvinis kelelakian seorang autokrat,” tulis Assita Kanko, anggota Parlemen Eropa dari Belgia, dalam surat resmi kepada Michel.
Perjalanan ke Ankara menjadi ”simbol ketidakkompakan” di kalangan para pejabat teras UE.
Manfred Weber, pemimpin kelompok EPP yang berhaluan konservatif, mengatakan kepada media Politico bahwa perjalanan ke Ankara menjadi ”simbol ketidakkompakan” di kalangan para pejabat teras UE. Pemimpin sayap kanan Perancis, Marine Le Pen, menyebut keseluruhan kunjungan pejabat UE ke Ankara sebagai ide yang buruk karena memperlihatkan UE ”tiarap menghadapi permusuhan” Erdogan.
Drama di Ankara tersebut terjadi saat kepemimpinan di UE mendapat kritik atas kelambanan blok beranggotakan 27 negara tersebut dalam vaksinasi Covid-19 bagi warganya. Sejumlah kelompok di Parlemen Eropa menuntut ada penyelidikan atas insiden mengapa Von der Leyen dibiarkan berdiri, sementara Michel memilih duduk.
Michel sendiri tidak langsung berkomentar untuk menanggapi insiden itu. Baru pada Rabu (8/4/2021) malam, ia mengeluarkan pernyataan. Ia menyebut kejadian memalukan di Ankara itu sebagai akibat ”penafsiran kaku” petugas protokoler Turki. Ia menyesalkan adanya ”perlakuan yang dibedakan, bahkan dikurangi, terhadap Ketua Komisi Eropa”.
”Saat ini, sementara menyadari situasi yang disesalkan, kami memutuskan tidak ingin membuat masalah semakin buruk dengan menjadikan babak baru (persoalan),” ujar Michel.
”Sangat penting bagi Uni Eropa memperlihatkan kekompakan saat berhadapan dengan negara atau para mitra pihak ketiga,” kata Eric Mamer, jubir Komisi Eropa.
Dua presiden
Mantan Ketua Komisi Eropa Jean-Claude Juncker ikut berpendapat soal insiden itu. Ia mengaku pernah mengalami kondisi seperti yang terjadi pada Von der Leyen. ”Biasanya saya dapat kursi di sebelah Presiden Dewan. Walakin, terkadang saya duduk di sofa,” ujarnya.
Juncker mengungkapkan, ia mengalami hal itu kala melawat bersama dua mantan Presiden Dewan Eropa Herman Van Rompuy dan Donald Tusk. Ia menyebut, Presiden Dewan Eropa memang harus nomor satu.
Untuk sebagian orang, pengaturan kursi kala Presiden Dewan Eropa dan Ketua Komisi Eropa hadir memang bisa membingungkan. Masalahnya bertambah pelik jika mereka berbeda jender, seperti dalam kasus Michel dan Von der Leyen.
Di luar soal protokoler, pengaturan kursi untuk Von der Leyen berkembang menjadi isu ketidakadilan jender. ”Tuduhan yang tidak adil terhadap Turki,” kata Cavusoglu.
Seperti disampaikan Juncker, Presiden Dewan Eropa memang bisa dianggap berkedudukan lebih tinggi dibandingkan dengan Ketua Komisi Eropa. Traktat Lisabon, yang dapat disebut sebagai konstititusi UE, menetapkan Dewan Eropa memberikan panduan kebijakan yang akan dijalankan Komisi Eropa dan Dewan Uni Eropa.
Baca juga: Uni Eropa Terbelah Tiga Kubu
Dewan Eropa (European Council) terdiri dari para kepala negara atau kepala pemerintahan anggota UE. Lembaga itu mempunyai ketua bergilir setiap enam bulan dan presiden yang menjabat secara permanen. Ketua bergilir dijabat oleh salah satu dari kepala negara atau kepala pemerintahan anggota UE. Sementara presiden dipilih untuk menjabat lebih panjang. Presiden Dewan Eropa mengelola urusan harian Dewan Eropa.
Adapun Komisi Eropa merupakan cabang eksekutif atau pelaksana harian UE. Anggotanya, disebut sebagai komisioner, diusulkan oleh Dewan Eropa kepada Parlemen Eropa. Komisi Eropa mengurus pemerintahan harian UE. Selain dengan Dewan Eropa dan Parlemen Eropa, Komisi Eropa juga berkoordinasi rutin dengan Dewan Uni Eropa.
Dewan Uni Eropa terdiri dari para menteri negara-negara anggota. Mereka rutin bertemu untuk menyesuaikan agenda nasional dengan agenda UE. Mereka juga rutin rapat jika ada isu bersama. Salah satu pertemuan mereka terjadi pada Selasa sore selepas Badan Pengawas Obat Eropa (EMA) mengumumkan hasil pemeriksaan terhadap vaksin Covid-19 buatan AstraZeneca. (AP/AFP/REUTERS)