Demi Keragaman, Macron Bubarkan Sekolah Elite Pencetak Pemimpin Perancis
ENA didirikan Charles de Gaulle untuk mencari calon pemimpin Perancis. Hanya 1 persen murid sekolah itu yang berasal dari kelompok kelas pekerja. Mayoritas murid ENA berasal dari kalangan atas.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
PARIS, JUMAT — Presiden Perancis Emmanuel Macron kembali mengumumkan pembubaran sekolah elite Ecole Nationale d’Administration, Kamis (8/4/2021). Penutupan itu disebut upaya mendorong keragaman.
Macron mengumumkan akan membentuk Institut Abdi Negara sebagai pengganti Ecole Nationale d’Administration (ENA). ”Kita harus mengubah cara merekrut dan membangun jenjang karier untuk pelayan publik,” kata lulusan ENA 2004 itu.
Didirikan pada 1945 oleh Charles de Gaulle, ENA ditujukan untuk mendidik calon pemimpin masa depan Perancis. Selama 76 tahun terakhir, empat presiden dan delapan perdana menteri Perancis lulus dari ENA. Para pemimpin lembaga tinggi negara dan perusahaan besar Perancis juga lulusan ENA.
Kritik pada ENA muncul terutama karena dua hal. Pertama, lulusannya bisa dengan mudah bolak-balik masuk ke struktur atas birokrasi pemerintah dan manajemen lembaga swasta. Mereka memanfaatkan koneksi sesama lulusan sekolah di kota Strasbourg itu. Para Enarque, sebutan untuk lulusan ENA, cenderung lebih mudah mendapat promosi. Macron menjadi presiden 13 tahun setelah lulus dari ENA.
Kedua, seperti diungkap oleh laporan ENA, hanya 1 persen murid sekolah itu yang berasal dari kelompok kelas pekerja. Mayoritas murid ENA berasal dari kalangan atas. Dalam Penelitiaan Kesenjangan Perancis, anak dari keluarga berpenghasilan tinggi mempunyai peluang 12 kali lebih baik untuk masuk ENA dibandingkan anak dari keluarga lebih miskin.
Isu kedua menjadi bagian dari keresahan di Perancis atas kesenjangan sosial yang dirasa semakin meningkat. Macron lebih serius memperhatikan isu kesenjangan setelah rangkaian unjuk rasa Rompi Kuning pada 2018-2019.
Anak dari keluarga berpenghasilan tinggi mempunyai peluang 12 kali lebih baik untuk masuk ENA dibandingkan anak dari keluarga lebih miskin.
Pada April 2019, Macron mengumumkan ENA akan ditutup. Setelah hampir dua tahun, Macron mewujudkan pernyataan itu.
Pernyataan disampaikan setahun menjelang pemilihan Presiden Perancis pada April 2022. Penutupan ENA dipandang sejumlah pihak sebagai simbol keseriusan menekan kesenjangan dan lebih berpihak dari kelas menengah bawah, pemilik suara terbesar di pemilu.
Pembibitan calon pemimpin
ENA didirikan de Gaulle untuk mencari calon pemimpin Perancis selepas Perang Dunia II. Selain ENA, didirikan pula Institut Ilmu Politik yang lebih dikenal sebagai Science-Po. Seperti ENA, Science-Po dibuat untuk mendidik calon pemimpin masa depan.
”ENA adalah akses menuju kelas teratas Perancis,” kata sosiolog dari University of Picardie, Annabelle Allouch, sebagaimana dikutip France24.
Allouch mengatakan, De Gaulle ingin calon pemimpin yang setia. Hal itu didasari pengalaman De Gaulle melawan pemerintahan boneka bentukan Nazi di Perancis. Setelah Nazi terusir, De Gaulle tidak mau pemerintahan diisi oleh orang-orang yang pernah menyokong pemerintahan boneka.
Tujuan De Gaulle memang tercapai bersamaan dengan anggapan ENA ikut membentuk kesenjangan di Perancis. Lembaga pendidikan Perancis juga disebut Allouch sebagai pembibit kesenjangan. Anak-anak dari keluarga kaya masuk akademi elite, sedangkan anak dari keluarga biasa masuk perguruan tinggi negeri.
Sejak unjuk rasa Rompi Kuning, Macron semakin kerap menyoroti kesenjangan. Pada 2020, ia menyebut bahwa warga masa kini semakin susah naik kelas. Karena itu, ia ingin mengubah keadaan. ”Tidak boleh ada anak di negara ini berkata, ’Ini bukan untuk saya’,” ujarnya.
Macron ingin setiap anak merasa mendapat kesempatan setara. Pembubaran ENA merupakan salah satu satu upaya itu. ”Macron bukan satu-satunya yang memperhatikan upaya naik kelas, itu kebiasaan perancis. Walakin, dia salah tempat. Universitas adalah mesin utama untuk kenaikan jenjang sosial, bukan sekolah elite, seperti ENA,” kata Allouch. (AFP)