Indonesia dan Inggris Jajaki Kerja Sama Produksi Vaksin
Di tengah keterbatasan stok vaksin Covid-19 global, Indonesia berusaha mencari terobosan kerja sama produksi vaksin melalui Forum Kemitraan dengan Inggris.
JAKARTA, KOMPAS — Indonesia menjajaki peluang kerja sama produksi vaksin Covid-19 dengan Inggris. Penjajakan ini dilakukan kala pasokan vaksin global terhambat oleh larangan ekspor dan keterbatasan kemampuan produksi.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi menyampaikan penjajakan itu kepada Menlu Inggris Dominic Raab yang berkunjung ke Jakarta, Rabu (7/4/2021). Selain bertemu Retno, Raab juga menemui Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin.
Retno berharap kemitraan Indonesia-Inggris diwujudkan, antara lain, lewat kolaborasi produksi vaksin. ”Di tengah semakin pentingnya isu kesehatan, saya mengusulkan memasukkan sektor kesehatan sebagai unsur utama forum kemitraan,” ujarnya.
”Sejumlah area yang bisa kita lakukan kerja sama adalah, pertama, riset dan pengembangan pada kesehatan dan industri farmasi; serta, kedua, kolaborasi produksi vaksin,” lanjut Retno.
Baca juga: Indonesia-Inggris Memperkuat Kerja Sama Sektor Kesehatan dan Ekonomi
Perusahaan Inggris-Swedia, AstraZeneca, menjadi salah satu pemasok vaksin Covid-19 ke Indonesia. Total 120 juta dosis vaksin Covid-19 dipesan Indonesia dari AstraZeneca lewat mekanisme Covax dan pesanan langsung. AstraZeneca menggandeng sejumlah perusahaan, seperti CSL Australia, Serum Institute of India (SII), dan SK Bioscience Korea Selatan untuk memproduksi vaksin Covid-19.
Retno menyebutkan, Inggris adalah mitra tepat untuk kerja sama sektor kesehatan. ”Inggris juga salah satu sumber vaksin. Saya sangat berharap Inggris terus menunjukkan kepemimpinan dalam multilateralisme vaksin dan siap berbagi vaksin dengan negara lain,” katanya.
Sejauh ini, Inggris telah memvaksinasi 31 juta dari 66 juta penduduknya. Selain dengan AstraZeneca, London juga menggunakan vaksin Covid-19 buatan Moderna yang mulai disuntikkan ke warga, Rabu.
Raab tidak menyinggung soal kerja sama produksi vaksin antara Indonesia dan Inggris. Ia hanya menyebut Indonesia-Inggris bekerja sama, antara lain, dalam upaya pengurutan genom. Kerja sama ini telah diumumkan pada Oktober 2020.
Lihat juga: Lonjakan Covid-19 di India
Selain itu, Indonesia-Inggris memang menjajaki kerja sama pengembangan vaksin berbasis RNA yang bisa menggandakan diri (saRNA). Seperti mRNA, saRNA juga bentuk baru basis vaksin. Kini, basis mRNA dipakai Pfizer-BioNTech dan Moderna untuk pengembangan vaksin Covid-19. Adapun Oxford University digandeng AstraZeneca untuk mengembangkan vaksin yang dimodifikasi dari virus di simpanse.
Adapun dalam pertemuan antara Raab dan Menkes Budi Gunadi Sadikin, seperti dilansir dalam pernyataan tertulis Kedutaan Besar Inggris di Jakarta, kedua menteri membahas kerja sama bilateral di sektor kesehatan antara Inggris dan Indonesia. Kerja sama itu diperluas hingga mencakup Inggris mendukung kemampuan pengurutan genom Indonesia melalui pelatihan dan teknologi informasi.
”Institut Eijkman sudah memiliki hubungan dengan Universitas Oxford, dan ada potensi untuk melakukan lebih banyak lagi," demikian pernyataan itu.
Isu pasokan vaksin
Raab juga mengulang lagi soal sumbangan-sumbangan Inggris pada upaya global untuk penyediaan vaksin. Masalahnya, persoalan vaksin Covid-19 saat ini bukan hanya biaya.
Seperti dialami Indonesia, ada kekurangan pasokan di antara negara-negara yang sudah mengikat kontrak pembelian vaksin dengan sejumlah produsen. Dari 120 juta dosis vaksin pesanan ke AstraZeneca, Indonesia baru menerima 1,4 juta dosis.
Uni Eropa (UE), yang memesan juga 120 juta dosis untuk periode Desember 2020-Juni 2021 dan baru menerima 30 juta dosis vaksin, menyebut ada masalah global dalam produksi vaksin AstraZeneca. Pabrik-pabrik yang digandeng AstraZeneca gagal memacu kapasitas produksi sehingga tidak mampu memenuhi pesanan. Hal itu, antara lain, terjadi di CSL yang baru bisa memproduksi 1,3 juta dari target 2 juta dosis pada Maret.
Kekurangan pasokan membuat UE dan sejumlah negara melarang ekspor vaksin sampai kebutuhan domestik terpenuhi. Australia menuding UE menghambat pengiriman 3,1 juta dosis vaksin Covid-19 yang dipesan Canberra dari pabrik AstraZeneca di UE. Dalam pernyataan, Rabu kemarin, Canberra menyebut AstraZeneca tidak bisa mendapat izin ekspor dari Brussels sehingga pesanan Australia tidak bisa dikirim.
Baca juga: Dunia Gagal Bangun Solidaritas Global Hadapi Pandemi
Tudingan itu dibantah UE sembari menekankan fakta keterlambatan produksi di pabrik-pabrik yang dikontrak AstraZeneca. Selain dengan Australia, UE juga berselisih dengan Inggris gara-gara pasokan vaksin AstraZeneca.
Pejabat Komisi Eropa untuk pasokan dan distribusi vaksin, Thierry Breton, mempertanyakan fakta AstraZeneca bisa memasok semua pesanan Inggris. Namun, sebaliknya, UE hanya mendapat sebagian pesanannya.
Sementara itu, Pemimpin SII Adar Poonawalla berharap New Delhi memberi kompensasi atas larangan ekspor vaksin. Ia berharap Pemerintah India memberi 408 juta dollar AS agar SII bisa menjaga kapasitas produksi. ”Kondisi ini tak pernah direncanakan karena kami seharusnya mengekspor dan mendapatkan pendanaan dari negara tujuan ekspor,” ujarnya.
SII dikontrak Covax, yang membayar lebih mahal dibandingkan dengan New Delhi untuk membuat vaksin pesanan global. Namun, SII kesulitan memenuhi kontrak pada Covax dan negara lain karena India melarang ekspor vaksin sampai kebutuhan domestik terpenuhi.
Baca juga: Pembatasan Ekspor Vaksin Meluas
Selain isu produksi, AstraZeneca juga menghadapi isu keamanan vaksinnya. Para menteri kesehatan UE menggelar rapat darurat pada Rabu sore waktu Brussels atau Kamis dini hari WIB. Rapat itu membahas hasil pemeriksaan Badan Pengawas Obat (EMA) terhadap keamanan vaksin Covid-19 buatan AstraZeneca. ”Sangat jelas ada hubungan (pendarahan otak dan penggumpalan darah) dengan vaksin. Walakin, kami belum tahu apa yang menyebabkan reaksi ini,” kata Ketua Tim Evaluasi EMA Marco Cavaleri.
EMA memeriksa kasus-kasus penggumpalan darah, yang sebagian berujung kematian, di antara penerima vaksin Covid-19 buatan AstraZeneca. Pada Maret 2021, sejumlah negara Eropa menghentikan vaksinasi dengan produk AstraZeneca gara-gara kasus itu. Anggota Komite Produk Obat-obatan untuk Manusia (CHMP) EMA, Armando Genazzani, juga menyebut kemungkinan kaitan vaksin Covid-19 buatan AstraZeneca dengan kasus-kasus penggumpalan darah.
Kasus-kasus tersebut, antara lain, berujung pada kematian tujuh orang di Inggris. Anggota Komite Vaksinasi dan Imunisasi Inggris, Adam Finn, menyebut bahwa jumlah kasus penggumpalan darah relatif kecil. Sebaliknya, manfaat vaksinasi jauh lebih besar.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Selasa, juga menyatakan bahwa tidak ada alasan mengubah penilaian bahwa manfaat vaksin AstraZeneca lebih besar daripada risikonya. (AFP/REUTERS)