Dunia Gagal Bangun Solidaritas Global Hadapi Pandemi
Pandemi Covid-19 telah mempertontonkan kegagalan dunia dalam membangun kerja sama dan solidaritas global. Alih-alih membuka akses yang luas terhadap vaksin Covid-19, negara-negara kaya justru menimbun vaksin.
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·3 menit baca
AFP/NHAC NGUYEN
Pegawai Kementerian Kesehatan Vietnam memeriksa dokumen vaksin Covid-19 AstraZeneca-Oxford yang merupakan bagian dari distribusi vaksin oleh Covax di terminal kargo Bandar Udara Internasional Noi Bai di Hanoi, 1 April 2021.
PARIS, RABU — Amnesty International melaporkan bahwa negara-negara kaya telah gagal dalam membangun solidaritas global dengan menimbun vaksin Covid-19, sedangkan China mengeksploitasi pandemi untuk merusak hak asasi manusia.
Dalam laporan tahunannya yang dirilis pada Rabu (7/4/2021), Amnesty International menyatakan, krisis kesehatan saat ini telah memperlihatkan kebijakan yang ”gagal” dan kerja sama adalah satu-satunya jalan keluar. Negara-negara telah memanfaatkan pandemi untuk menekan hak asasi manusia.
”Pandemi telah menyoroti ketidakmampuan dunia untuk bekerja sama secara efektif dan setara,” kata Agnes Callamard, yang ditunjuk sebagai Sekretaris Jenderal Amnesty International bulan lalu, Rabu (7/4/2021). Padahal, menurut dia, kerja sama global adalah satu-satunya jalan keluar dari pandemi.
”Negara-negara kaya hampir memonopoli suplai vaksin dunia, meinggalkan negara lain dengan sumber daya yang lebih sedikit untuk menghadapi situasi kesehatan dan hak asasi manusia yang terburuk.”
Amnesty International juga mengkritik keras keputusan mantan Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang membawa negaranya keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) di tengah pandemi Covid-19.
Callamard menyerukan akselerasi vaksinasi Covid-19 global dan menyebut kampanye vaksinasi sebagai ”ujian yang paling mendasar bagi dunia untuk bekerja sama”.
AFP/PAOLA MAFLA
Petugas kesehatan memberikan dosis vaksin CoronaVac Covid-19 yang dikembangkan laboratorium Sinovac China kepada wanita tua di Cali, Kolombia, 18 Maret 2021.
Sejak virus SARS-CoV-2 diidentifikasi di China akhir 2019 dan menyebabkan pandemi, ratusan juta orang di dunia terinfeksi dan lebih dari 2,8 juta penduduk dunia telah meninggal. Meski organisasi-organisasi internasional terus menyerukan solidaritas global, data justru memperlihatkan bahwa ketimpangan dalam akses vaksin Covid-19 justru melebar.
Akhir Maret 2020, WHO memperingatkan ketidakmerataan distribusi vaksin Covid-19. Saat ini, sedikitnya 50 persen dari 680 juta dosis vaksin Covid-19 yang telah diberikan di seluruh dunia ada di negara-negara kaya seperti AS, Inggris, dan Israel. Sementara negara miskin hanya menerima 0,1 persennya.
Untuk mempererat kerja sama global dalam akses vaksin Covid-19, Amnesty International mendukung inisiatif pertukaran informasi, datan, dan hak atas kekayaan intelektual pengembangan vaksin seperti yang dimiliki oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Inisiatif semacam ini bisa dimanfaatkan untuk meningkatkan kapasitas produksi dan menambah lokasi produksi vaksin terutama di Afrika, Asia, dan Amerika Latin.
Amnesty International juga menyoroti China yang ”tidak bertanggung jawab” selama pandemi, menuduh Beijing menyensor tenaga kesehatan dan jurnalis yang menyuarakan potensi terjadinya pandemi.
”Pandemi Covid-19 membuat tindakan keras terhadap kebebasan berekspresi kian intensif, sejumlah jurnalis warga yang melaporkan wabah ini hilang dan dalam beberapa kasus dipenjara,” tulis Amnesty International.
AP PHOTO/EMRAH GUREL
Pemrotes dari komunitas Uighur di Istanbul, Turki, membawa poster saat berunjuk rasa menentang kebijakan China di Xinjiang, 25 Maret 2021.
Dalam lingkup yang lebih luas, ada banyak bukti ”pelanggaran HAM berat” di China ”termasuk penyiksaan dan penghilangan paksa” warga Uighur dan minoritas Muslim lainnya di wilayah Xinjiang.
Di luar China, negara-negara, antara lain, Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Hongaria telah menggunakan pandemi untuk membungkam kritik. Sementara di Brasil serta Nigeria, pandemi menjadi alasan penggunaan kekerasan oleh aparat keamanan terhadap gerakan protes tahun lalu.
”Sejumlah pemimpin melihat ini sebagai peluang untuk mengonsolidasikan kekuatan mereka sendiri. Alih-alih mendukung dan melindungi warganya, mereka memanfaatkan pandemi untuk mendatangkan malapetaka bagi warganya,” tambah Callamard. (AFP/AP)