Xinjiang menghasilkan lebih dari 80 persen kapas mentah China. Wilayah di barat laut China itu juga memproduksi sekitar seperlima dari total kebutuhan kapas dunia.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·5 menit baca
HANOI, SELASA — Kelompok perusahaan ritel pakaian global asal Swedia, Hennes & Mauritz AB Group atau dikenal dengan nama dagang H&M, belum juga lepas dari tekanan boikot. Setelah ditolak di China sejak dua pekan terakhir, seruan penolakan atas salah satu produk andalannya, H&M, juga mengemuka di Vietnam pada awal pekan ini. Dinamika Xinjiang, Laut China Selatan, hingga sepak terjang China dalam tataran global berkelindan dengan aksi boikot itu.
”Bisakah H&M terus menghasilkan uang di pasar China? Tidak lagi,” demikian dikatakan Xu Guixiang, juru bicara Pemerintah China, dalam sebuah konferensi pers awal pekan lalu. Komentar itu menjadi penegas dari seruan-seruan boikot atas produk H&M di China. Akun-akun resmi media sosial H&M penuh dengan kecaman dari warganet. Menurut Guixiang, tidak seharusnya perusahaan ikut mengaitkan dinamika politik dalam kegiatan-kegiatan ekonomi.
Boikot dan reaksi keras Pemerintah China itu bermula dari beredarnya pernyataan tahun 2020 oleh H&M. Manajemen perseroan mengumumkan tidak akan lagi mengambil kapas—bahan baku produk perseroan—dari Xinjiang, sebuah provinsi di China. Manajemen H&M mengatakan keputusan itu diambil karena perseroan kesulitan melakukan uji tuntas yang kredibel di wilayah tersebut. Langkah itu diambil juga setelah media dan kelompok hak asasi manusia (HAM) melaporkan dilakukannya sistem kerja paksa di Xinjiang. Produk H&M, bersama produk-produk Barat lainnya, seperti Burberry, Nike, dan Adidas, pun langsung terkena boikot konsumen di China.
Di tengah upaya menyelesaikan masalahnya di China, ada masalah baru yang ditemui manajemen H&M. Manajemen H&M di Shanghai dipanggil dua regulator kota itu untuk memperbaiki kesalahan tentang sebuah gambar peta yang mencakup kawasan Laut China Selatan. Peta ”bermasalah” itu ditampilkan di laman perusahaan itu. Alih-alih selesai setelah diperbaiki, justru kecaman lalu datang dari Vietnam. Salah satu surat kabar Vietnam, Saigon Giai Phong,—mengutip ketua salah satu asosiasi hak konsumen Vietnam—menilai gambar peta baru yang ditampilkan H&M itu melanggar kedaulatan maritim Vietnam.
Sejauh ini tidak ada komentar dari manajemen H&M atas perkembangan terbaru boikot produknya. Satu hal yang pasti, kondisi itu memberikan ujian bagi perseroan itu. Pasar raksasa China dan juga peluang melejitnya ekonomi Vietnam adalah harapan bagi perusahaan global seperti H&M. Di saat negara-negara lain belum terlalu meyakinkan untuk segera pulih dari masa pandemi Covid-19, China dan Vietnam adalah harapan.
Pasar raksasa China dan juga peluang melejitnya ekonomi Vietnam adalah harapan bagi perusahaan global seperti H&M. Di saat negara-negara lain belum terlalu meyakinkan untuk segera pulih dari masa pandemi Covid-19, China dan Vietnam adalah harapan.
Media Forbes mencatat angka penjualan H&M di China mencapai 339 juta dollar AS selama 12 bulan hingga November 2020 lalu. China dikatakan masuk dalam empat besar pangsa pasar terbesar H&M secara global. Pangsa pasar raksasa China menjadi sandaran serupa produk-produk global. Bagi Nike, misalnya, pendapatan perusahaan itu dari China tahun lalu saja diperkirakan mencapai 4,6 miliar dollar AS. Pasar China juga menyumbang 40 persen penjualan tahunan Burberry.
Bain & Company, sebuah perusahaan konsultan manajemen, memperkirakan warga China membeli 48 persen lebih banyak barang mewah pada tahun 2020 dibanding setahun sebelumnya. Total pengeluaran warga China mencapai 52 miliar dollar AS. China pun diperkirakan akan menjadi pasar mewah terbesar di dunia pada tahun 2025.
Posisi vital Xinjiang dalam rantai pasokan produk pakaian global juga menentukan kelanjutan dinamika boikot itu. Xinjiang menghasilkan lebih dari 80 persen kapas mentah China. Wilayah di barat laut China itu memproduksi sekitar seperlima dari kapas dunia. Lewat keterangan tertulis, Kedutaan Besar China di Jakarta menyatakan Xinjiang memproduksi kapas berkualitas tinggi dan pemasukan dari sektor pemetikan kapas terbilang cukup besar di daerah itu. Dikatakan bahwa tenaga kerja pemetik kapas Xinjiang menandatangani kontrak kerja atas dasar kesetaraan, kesukarelaan, dan kesepakatan.
Konsorsium Hak Pekerja Amerika Serikat memang memperkirakan bahwa bahan dari Xinjiang berada dalam kelindan lebih dari 1,5 miliar pakaian yang diimpor setiap tahun oleh merek dan pengecer Amerika. Namun, senyatanya produsen dan apalagi konsumen dinilai sulit hingga tidak dapat tahu apakah produk yang dihasilkan atau dipakai berasal dari mana asal kapasnya, termasuk dari Xinjiang atau tidak. Better Cotton Initiative, sebuah kelompok perdagangan etis yang berbasis di Geneva, mengatakan, kapas akan berpindah tangan ”setidaknya” enam atau tujuh kali sejak dipanen hingga dipintal menjadi tekstil, bahkan terkadang melewati beberapa negara berbeda.
Dengan latar belakang kondisi seperti itu, perusahaan-perusahaan multinasional pun melangkah dengan hati-hati menanggapi dan menghadapi boikot China. Financial Times menilai latar belakang perselisihan diplomatik yang dituduhkan negara-negara Barat terhadap dugaan penyalahgunaan HAM di Xinjiang atas warga etnis Muslim Uighur bisa berisiko dengan dampak yang lama bagi perusahaan-perusahaan itu. Mereka tidak bisa memukul rata sebuah isu global yang mencakup dinamika di kawasan maupun secara global sebagai cerminan atas langkah dan strategi bisnis perseroan. Jika mereka salah mengambil pilihan respons atau strategi, pangsa pasar mereka bisa tergerus, rantai pasokan pun terganggu.
The New York Times mencatat setidak sejak 2016 sejumlah perusahaan global menyatakan tidak mengambil bahan baku produk mereka dari Xinjiang. Mereka juga secara resmi mengambil sikap menentang pelanggaran HAM. Perusahaan-perusahaan itu, antara lain, Patagonia, PVH, Marks & Spencer, dan Gap. Namun, sejak boikot atas H&M dan beberapa merek lain mengemuka dalam dua pekan terakhir, terlihat bahwa sejumlah merek diam-diam menghapus kebijakan mereka soal larangan adanya praktik kerja paksa dalam proses produksi produk-produk mereka.
Penghapusan itu dilaporkan dilakukan manajemen VF Corp, Inditex sebagai produsen bermerek Zara, dan PVH. Salah satu perusahaan Jerman, Hugo Boss, juga sempat mengunggah pernyataan di media sosial Weibo bahwa perusahaan itu membeli dan mendukung kapas Xinjiang. Merek-merek Jepang, seperti Muji dan Uniqlo, juga membanggakan penggunaan kapas asal Xinjiang.