Mantan Pejabat Mossad Terlibat dalam Upaya Kudeta Gagal di Jordania
Jordania, salah satu negara yang dikenal paling stabil di Timur Tengah, dilanda upaya kudeta yang gagal terhadap Raja Abdullah II. Seorang mantan pejabat dinas intelijen Israel, Mossad, terlibat dalam upaya kudeta itu.
Oleh
MUSTHAFA ABD RAHMAN, DARI KAIRO, MESIR
·4 menit baca
KAIRO, KOMPAS — Pihak yang berada di balik kudeta gagal atas Raja Abdullah II di Jordania mulai terkuak. Harian Israel, The Jerusalem Post, mengutip situs Jordania, Ammon, Senin (5/4/2021), memberitakan, seorang mantan pejabat dinas intelijen Israel, Mossad, yang kini bermukim di Eropa, Roi Shpushnik, terlibat dalam upaya kudeta gagal di Jordania, Sabtu lalu. Kudeta gagal ini melibatkan mantan Putra Mahkota Jordania, Pangeran Hamzah bin Hussein, dan sejumlah kroninya.
Israel membantah Mossad terlibat resmi dalam upaya kudeta gagal di Jordania, tetapi mengakui mantan pejabat Mossad yang kini berdomisili di Eropa itu terlibat. Menurut situs Israel, Walla, Shpushnik pada Sabtu lalu menawarkan lewat telepon kepada Putri Basma, istri Pangeran Hamzah, untuk dievakuasi dengan pesawat jet pribadi ke negara mana pun yang dituju.
Shpushnik kini diketahui menjadi seorang pengusaha sukses di Eropa dan memiliki jaringan bisnis dengan Israel. Ia rupanya sudah mengetahui upaya mendongkel kekuasaan Raja Abdullah II di Jordania mengalami kegagalan karena sudah terdeteksi dinas intelijen Jordania sebelum upaya kudeta dilakukan. Shpushnik pun segera menghubungi Putri Basma untuk membantu menyelamatkan Putri Basma, Pangeran Hamzah, serta para kroninya.
Namun, uluran pertolongan Shpushnik terlambat. Aparat keamanan Jordania sudah menangkap semua terduga pelaku kudeta gagal itu.
Seperti diketahui, hubungan Raja Abdullah II dan pemerintah kubu kanan Israel pimpinan PM Benjamin Netanyahu sangat buruk terakhir ini. Hubungan buruk itu bermula sejak Raja Abdullah II menolak keras proposal damai AS gagasan mantan Presiden AS Donald Trump yang populer dijuluki Transaksi Abad Ini (Deal of the Century).
Hubungan Raja Abdullah II dan Netanyahu semakin tegang menyusul Abdullah II tidak mengizinkan pesawat Netanyahu yang akan menuju Uni Emirat Arab (UEA) melewati wilayah udara Jordania, 10 Maret lalu. Netanyahu saat itu terpaksa membatalkan kunjungannya ke UEA setelah Jordania tak mengizinkan izin wilayah udaranya dilalui pesawat yang akan membawa Netanyahu ke UEA.
Netanyahu lalu membalas melarang Putra Mahkota Jordania, Pangeran Hussein bin Abdullah, yang merupakan putra sulung Raja Abdullah II, berkunjung ke Masjid Al-Aqsa di Jerusalem Timur pada pertengahan Maret lalu.
Keterlibatan Israel
Sebelumnya dalam konferensi pers, Minggu (4/4/2021), Wakil Perdana Menteri yang juga Menteri Luar Negeri Jordania Ayman Safadi menuduh Pangeran Hamzah berkomplot dengan pihak-pihak asing dalam sebuah rencana jahat yang mengancam keamanan nasional. Ia tidak menyebut nama pihak asing yang terlibat dalam berkomplot dengan Pangeran Hamzah itu.
Safadi hanya mengungkapkan, aparat telah menangkap 14 sampai 16 mantan pejabat tinggi Jordania yang diduga kuat terlibat komplotan Pangeran Hamzah. Pangeran Hamzah adalah putra sulung mendiang Raja Hussein dan istri keempatnya yang berkebangsaan Amerika Serikat, Ratu Noor. Raja Abdullah II telah menunjuk Hamzah sebagai putra mahkota pada tahun 1999, sesuai dengan keinginan mendiang Raja Hussein. Akan tetapi, tahun 2004, ia mencabut gelar itu dan memberikannya kepada putra sulungnya, Hussein.
Opini yang berkembang di Jordania mengarah pada Israel berada di balik gerakan Pangeran Hamzah dan kelompoknya menyusul mulai bocornya berita dari situs-situs media tentang keterlibatan mantan pejabat Mossad itu. Media Israel kini berusaha menetralisasi posisi Israel dengan mencoba menggiring negara Arab Teluk juga terlibat dalam upaya kudeta gagal di Jordania.
Harian Israel, Yedioth Ahronoth, Senin kemarin, mengungkapkan peran besar Bassem Awadallah dan Sharif Hassan bin Zeid dalam upaya kudeta gagal di Jordania. Awadallah dan Sharif Hassan bin Zeid adalah di antara dari 16 mantan pejabat tinggi Jordania yang ditahan saat ini.
Awadallah adalah seorang pengusaha Jordania yang memiliki jaringan bisnis di kawasan Arab Teluk. Adapun Sharif Hassan bin Zeid memiliki dwi kewarganegaraan Jordania dan Arab Saudi. Ia pernah menjabat Utusan Khusus Raja Abdullah II untuk Arab Saudi.
Menurut Yedioth Ahronoth, Raja Abdullah II pada 8 Maret lalu telah berkunjung ke Arab Saudi untuk menemui Putra Mahkota Arab Saudi Pangeran Muhammad bin Salman (MBS). Harian Israel itu melansir, kunjungan mendadak Raja Abdullah II ke Arab Saudi itu untuk meminta konfirmasi tentang keterlibatan Sharif Hassan bin Zeid dan Awadallah dalam gerakan yang dianggap mengganggu keamanan di Jordania.
Harian Israel tersebut menyebut, Raja Abdullah II sudah mengetahui gerakan Pangeran Hamzah dan kelompoknya itu sejak beberapa bulan lalu dan sudah menyampaikan informasi ke negara-negara mitranya di kawasan Arab Teluk.