Negara yang bergantung pada perdagangan China dinilai ”lebih rentan untuk tunduk” dengan diplomasi China. Namun, mereka yang berpengalaman menangani tekanan China mungkin akan lebih mudah menghadapi langkah Beijing.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
CHINATOPIX VIA AP
Seorang warga tengah memanen kapas di sebuah ladang di Hami, Xinjiang, China, pada 9 Oktober 2020. Produk-produk perusahaan H&M hilang dari laman-laman toko daring di China, seperti Alibaba dan JD.com, setelah muncul seruan boikot produk-produk Barat di China sejak pekan lalu.
JAKARTA, KOMPAS — Tekanan global terkait perlakuan Pemerintah China terhadap warga minoritas Muslim Uighur di wilayah Xinjiang, China, mengemuka dalam beberapa waktu terakhir. Kondisi itu mendapat respons secara langsung dari Pemerintah China, termasuk oleh para diplomat China. Dalam sejumlah pernyataan, termasuk melalui media sosial, mereka membuat sanggahan dan klarifikasi atas situasi di Xinjiang.
Pengguna media sosial China pada awal pekan lalu heboh dengan tersebarnya pernyataan oleh H&M, sebuah perusahaan ritel pakaian global asal Swedia, yang mengumumkan tidak akan lagi menggunakan kapas dari Xinjiang. Manajemen H&M mengatakan pada saat itu, keputusan tersebut diambil karena perseroan kesulitan melakukan uji tuntas yang kredibel di wilayah tersebut. Langkah itu diduga diambil setelah media dan kelompok hak asasi manusia (HAM) melaporkan dugaan adanya sistem kerja paksa di Xinjiang.
Kehebohan itu memicu reaksi keras Pemeritah China. Pesan boikot atas produk-produk Barat pun meluas secara daring. Produk H&M, bersama produk-produk Barat lainnya, seperti Burberry, Nike, dan Adidas, langsung ”tersungkur” terkena boikot konsumen di China.
Langkah massa itu terjadi ketika Amerika Serikat dan pemerintah Barat lainnya meningkatkan tekanan terhadap China atas dugaan pelanggaran HAM di Xinjiang. ”Saya tidak berpikir perusahaan harus memolitisasi perilaku ekonominya,” kata Xu Guixiang, juru bicara pemerintah Xinjiang dalam konferensi pers, Senin (29/3/2021) lalu. ”Bisakah H&M terus menghasilkan uang di pasar China? Tidak lagi.”
AFP/LINTAO ZHANG
Presiden China Xi Jinping (kanan) berjabat tangan dengan Presiden AS Joe Biden yang kala itu masih menjabat sebagai Wakil Presiden AS pada 4 Desember 2013 di Beijing, China. Kedua pemerintah tampaknya tetap berseteru di tengah persaingan yang meningkat di berbagai bidang di antara keduanya.
Prihatin
Terkait isu Xinjiang, Kedutaan Besar China di Jakarta pada Senin (5/4/2021) juga menerbitkan pernyataan melalui juru bicara mereka. Dalam pernyataan pers itu disebutkan, pemberitaan media di Indonesia belakangan ini dinilai bias Barat. Media dinilai menurunkan pemberitaan yang tidak benar mengenai Xinjiang dengan mengutip atau merilis laporan dari sejumlah media Barat. ”Laporan pemberitaan ini menyerang dan memfitnah Tiongkok (China) serta menyesatkan publik Indonesia. Kami menyatakan keprihatinan atas hal ini dan ingin menyampaikan klarifikasi terhadap informasi yang beredar,” demikian pernyataan pihak Kedubes China di Jakarta.
Lebih lanjut, dalam pernyataan itu disebutkan bahwa dalam beberapa waktu terakhir, sejumlah kecil negara Barat memiliki motif politis untuk memusuhi China. Mereka dikatakan sengaja menciptakan rumor bohong bahwa China melakukan apa yang disebut penindasan etnik minoritas, pembatasan kebebasan beragama, dan lain-lain di Xinjiang. Setelah gagal mencapai tujuan politis mereka, menurut Kedubes China di Jakarta, mereka selanjutnya merekayasa rumor bohong yang absurd dan sama sekali tidak berdasar, seperti genosida, pemandulan paksa, dan kerja paksa di Xinjiang.
Dikatakan bahwa dalam beberapa waktu terakhir, sejumlah kecil negara Barat memiliki motif politis untuk memusuhi China. Mereka dikatakan sengaja menciptakan rumor bohong bahwa China melakukan apa yang disebut penindasan etnik minoritas, pembatasan kebebasan beragama, dan lain-lain di Xinjiang.
Membantah tuduhan Barat itu, China menegaskan bahwa dalam 40 tahun terakhir, jumlah penduduk etnik Uighur di Xinjiang meningkat dari 5,55 juta menjadi lebih dari 12,7 juta jiwa. Angka harapan hidup rata-rata etnik Uighur juga meningkat dari hanya 30 tahun pada era sebelum 1960-an menjadi 72 tahun saat ini. Dalam beberapa tahun terakhir, tingkat pertumbuhan populasi etnik Uighur mencapai 25,04 persen, lebih tinggi daripada tingkat pertumbuhan populasi seluruh Xinjiang yang sebesar 13,99 persen, dan tentunya jauh lebih tinggi daripada tingkat pertumbuhan populasi etnik Han yang hanya sebesar 2,0 persen.
AFP/GREG BAKER
Sebuah file foto yang diambil pada tanggal 31 Mei 2019 memperlihatkan dua perempuan mendekorasi kuburan di kuburan warga etnis Uighur di pinggiran Hotan di wilayah barat laut Xinjiang, China.
Aspirasi dan kebutuhan para tenaga kerja dari semua etnik di Xinjiang sepenuhnya juga dikatakan dihormati. Mereka bebas memilih sendiri pekerjaan dan lokasi kerja masing-masing. Mereka juga menandatangani kontrak kerja legal dengan pihak perusahaan sesuai prinsip kesetaraan dan kesukarelaan serta mendapatkan upah yang sepadan. Sejak tahun 2018, berbagai perusahaan di Xinjiang ataupun provinsi-provinsi lain di China telah menyerap 151.000 surplus tenaga kerja dengan latar belakang keluarga miskin dari Xinjiang selatan. Para pekerja ini memperoleh pendapatan rata-rata tahunan sebesar 45.000 yuan atau sekitar Rp 99 juta, dan semuanya telah berhasil dientaskan dari kemiskinan.
Para analis menilai respons lunak hingga keras China atas aneka tuduhan, termasuk soal Xinjiang, sebagian mencerminkan China baru yang mulai tegas di bawah Presiden Xi Jinping. Terkait hubungan dengan Amerika Serikat, misalnya, sosok Presiden Joe Biden diharapkan akan melahirkan pendekatan baru dalam hubungan China-AS.
Namun, sebagaimana terjadi dalam pertemuan bilateral AS-China di Alaska bulan lalu, tensi hubungan kedua negara adidaya itu justru terlihat memanas. ”Pembicaraan keras tampaknya telah mendorong para diplomat senior China untuk menuruti komentar-komentar yang menghasut,” kata Mathieu Duchatel, direktur program Asia di lembaga pemikir Institut Montaigne yang berbasis di Paris.
Strategi
Para pengamat melihat juga adanya kalkulasi geopolitik lebih besar yang melatarbelakangi strategi diplomasi pemerintah dan diplomat China secara langsung melalui media arus utama ataupun media sosial. ”Ketidakpastian lingkungan internasional juga memberi Beijing ruang pengembangan strategis khusus untuk menantang tatanan internasional yang ada,” kata Zhao Alexandre Huang, seorang akademisi di Universite Gustave Eiffel, Perancis.
Negara-negara yang bergantung pada perdagangan China dinilai ”lebih rentan untuk tunduk” dengan diplomasi China. Namun, negara-negara yang berpengalaman menangani tekanan China akan lebih mudah untuk mengatasi letupan kemarahan Beijing. Duchatel menggarisbawahi, Beijing bisa bersikap semakin keras jika cara-cara yang ditempuh itu dinilai berhasil menekan pihak lain. (AFP/*)