Korban Penyanderaan: Jangan Melaut di Tambisan Lagi
Tidak ada lagi WNI yang disandera kelompok bersenjata di Filipina. Indonesia akan terus memperkuat pencegahan lewat upaya di dalam dan di luar negeri.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Nelayan-nelayan Indonesia atau awak kapal ikan asal Indonesia di Malaysia diimbau tidak melaut di timur sekitar Pulau Tambisan, Malaysia. Sebab, kelompok Abu Sayyaf mudah menculik orang di sana.
Salah seorang korban penculikan kelompok itu, Arizal Kastamiran, mengatakan, perairan itu rawan karena menjadi daerah operasi kelompok yang terafiliasi dengan Abu Sayyaf. ”Selama menculik, mereka (Abu Sayyaf) pesan ke kami agar jangan lagi melaut di Tambisan. Di sana mereka mudah masuk,” ujarnya, Senin (5/4/2021), di Jakarta.
Bersama Arsyad, Riswanto, dan Khairudin, Arizal diculik di perairan Tambisan, salah satu pulau di Sabah, Malaysia, pada 15 Januari 2020 malam. Mereka bebas pada 18 Maret 2021 setelah perahu penculik karam dalam pelayaran menuju Tawi-Tawi, Pulau Filipina, yang dekat dengan perbatasan Filipina-Malaysia. Tambisan terletak 90 kilometer di barat laut Tawi-Tawi dan berjarak 300 kilometer dari Jolo, salah satu basis Abu Sayyaf.
Arizal berharap, setelah ini tidak ada lagi orang Indonesia melaut di sekitar Tambisan. Ia dan rekan-rekannya berharap menjadi WNI terakhir yang diculik kelompok bersenjata Filipina.
Menteri Luar Negeri Retno LP Marsudi mengatakan, sudah tidak ada lagi WNI disandera kelompok bersenjata di Filipina. Indonesia akan terus memperkuat pencegahan lewat upaya di dalam dan di luar negeri. Di luar negeri, pencegahan dilakukan lewat kerja sama dengan Malaysia dan Filipina.
Di dalam negeri, pencegahan dilakukan dengan peningkatan aktivitas perekonomian di daerah asal pekerja Indonesia di Malaysia. Dengan demikian, diharapkan mereka tidak perlu bekerja ke luar negeri.
”Kepada Bapak Arsyad, Bapak Arizal, Bapak Riswanto, dan Bapak Khairuddin, selamat berkumpul dengan keluarga,” ujar Retno saat penyerahan empat korban penyanderaan itu kepada perwakilan keluarga.
Khawatir
Arizal mengatakan, mereka sangat khawatir tewas selama penyanderaan. ”Makan tidak tenang karena khawatir ada bom atau tertembak. Setiap hari ketakutan,” ujarnya.
Militer Filipina memang rutin beroperasi ke basis-basis Abu Sayyaf. Dalam serangan-serangan itu, Manila kerap membombardir lokasi sebelum mengerahkan pasukan darat.
Selain operasi militer, penyebab kematian juga karena kekejaman milisi Abu Sayyaf. Salah seorang WNI yang diculik bersama Arizal, La Baa, dibunuh pada April 2020 di Patikul, Sulu.
Arizal menyebut, pembunuhan itu semakin mencemaskan dia dan rekan-rekan. ”Tidak setiap hari bisa makan. Kadang dua hari sekali baru makan,” katanya.
Makanan sulit antara lain karena penyandera terus bersembunyi dan berpindah. Dalam upaya perpindahan terakhir menuju Tawi-Tawi, perahu yang mereka tumpangi dihantam badai pada 18 Maret 2021 pagi. ”Kami berenang dari sekitar pukul sembilan. Pukul lima sore baru ada yang tolong,” ujarnya.
Perahu yang membawa mereka ke Tawi-Tawi dinaiki beberapa orang dan berlayar menjelang tengah malam. Setelah disambar badai pada 18 Maret 2021 pagi, para awak dan penumpang perahu penculik itu menyelamatkan diri masing-masing. Arizal dan sejumlah orang berenang bersama sampai akhirnya ditolong pada sore hari.
Pelayaran ke Tawi-Tawi merupakan bagian dari upaya penculik menghindari kejaran aparat Filipina. Atase Pertahanan Kedutaan Besar RI di Manila Kolonel M Reza Suud menyebut bahwa militer Filipina selalu menindaklanjuti setiap ada informasi terbaru soal lokasi Abu Sayyaf. Hal itu, antara lain, dilakukan kala ada kabar soal Arizal dan rekan-rekannya. ”Panglima (militer Filipina) ikut ke lokasi,” ujarnya.
Setelah diselamatkan warga, Arizal dan rekan-rekannya dievakuasi oleh militer Filipina. Selanjutnya, mereka diserahkan kepada KBRI Manila yang kemudian mengantar ke Jakarta.