Nasionalisme vaksin membuat upaya melawan pandemi Covid-19 tertahan. Diperlukan upaya bersama untuk terus mendorong dan memperkuat komitmen serta kerja sama multilateral untuk menjamin kesetaraan akses pada vaksin.
Oleh
Luki Aulia
·6 menit baca
DAVID MAREUIL/POOL PHOTO VIA AP
Menteri Luar Negeri RI Retno LP Marsudi (kiri) dan Menteri Pertahanan RI Prabowo Subianto (kedua dari kiri) menggelar pertemuan dengan Menlu Jepang Toshimitsu Motegi (kanan) dan Menhan Jepang Kishi Nobuo (kedua dari kanan) pada awal pertemuan ”two-plus-two” menlu dan menhan Indonesia-Jepang di Iikura, Wisma Tamu Kementerian Luar Negeri Jepang, Tokyo, 30 Maret 2021.
Energi positif, kerja sama, dan mengesampingkan kepentingan diri sendiri demi masa depan lebih baik menjadi pesan yang dibawa oleh Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi saat berkunjung ke Jepang dan China. Saat bertemu—secara terpisah—dengan Perdana Menteri Jepang Yoshihide Suga, Menlu Jepang Toshimitsu Motegi, dan Menlu China Wang Yi, ketiga hal itu juga menjadi acuan saat membahas isu penanganan pandemi Covid-19, ketahanan kesehatan, serta pemulihan ekonomi.
Bagaimanapun, pandemi hanya bisa dikalahkan apabila tidak ada negara ”menjadi” egois, memikirkan keselamatannya sendiri. Untuk itu, komitmen bersama untuk menjamin akses vaksin untuk semua negara secara adil dan merata penting untuk selalu dijaga.
Indonesia, Jepang, dan China sama-sama prihatin dengan nasionalisme vaksin dan pembatasan suplai vaksin yang justru akan menghambat pemulihan dari pandemi. Oleh karena itu, para pihak perlu terus mendukung mekanisme multilateral untuk menyediakan vaksin, seperti Covax Facility.
India dan Inggris beberapa waktu lalu menunda pengiriman vaksin ke sejumlah negara karena mengutamakan kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu. Kenaikan jumlah kasus Covid-19 membuat mereka terpaksa mengambil langkah tersebut.
AP PHOTO/FARAH ABDI WARSAMEH
Pekerja mengangkut kotak-kotak vaksin Covid-19 AstraZeneca buatan Serum Institute of India (SII) dan disalurkan melalui Inisiatif Covax di Bandar Udara Mogadishu, Somalia, 15 Maret 2021. India menunda pengiriman vaksin ke sejumlah negara karena ingin memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Melihat itu, Retno menekankan pentingnya memastikan ketersediaan vaksin untuk semua menjadi target kerja sama jangka pendek. Sementara kerja sama jangka panjang difokuskan pada penelitian dan pengembangan vaksin. Contohnya, kerja sama penelitian, pengembangan, dan pembuatan vaksin antara Institut Teknologi Bandung dan Osaka University, Jepang.
Dalam pertemuan bilateral dengan Jepang, Indonesia mendorong penguatan pengelolaan vaksinasi dan laboratorium, baik untuk Covid-19 maupun penyakit menular lainnya. Sementara saat pertemuan bilateral dengan China, Indonesia mengajukan inisiatif agar menjadi pusat vaksin di Asia Tenggara. ”Ide ini masih tahap awal dan akan dibahas lebih lanjut,” kata Retno.
Sama seperti dengan Jepang, Indonesia juga mengusulkan kerja sama dengan China untuk penguatan riset pengembangan vaksin, pengembangan industri bahan baku, dan peningkatan kapasitas produksi vaksin nasional. Pada saat yang sama, Indonesia juga membahas kerja sama vaksin dengan Rusia.
Covax
Untuk menjamin kesetaraan akses vaksin, Retno yang juga termasuk salah satu pimpinan Covax AMC Engagement Group mengatakan, sebanyak 46 negara sudah memperoleh vaksin Covid-19 melalui program berbagi vaksin global yang didukung Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Covax sudah mengirimkan 28,3 juta dosis vaksin ke 46 negara. Covax berhasil mengumpulkan dana sekitar 6,3 miliar dollar AS dan sudah meminta produsen vaksin membuat sedikitnya 2,3 miliar dosis pada tahun ini.
Masalahnya, Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus, Kamis lalu, mengatakan, Covax kini menghadapi kesulitan memenuhi kebutuhan vaksin Covid-19 untuk negara-negara miskin. Ia mendesak sejumlah negara agar berbagi setidaknya 10 juta dosis kepada Covax.
”Saya sudah meminta produsen-produsen vaksin membantu membujuk negara-negara agar mau berbagi vaksin. Sampai sekarang belum ada yang mau berbagi 10 juta dosis vaksin,” ujarnya.
AFP/ TONY KARUMBA
Pengiriman pertama vaksin Covid-19 diturunkan dari penerbangan Qatar Airways di Bandar Udara Internasional Jomo Kenyatta, Nairobi, Kenya, Rabu (3/3/2021). Kenya menerima 1,02 juta dosis vaksin Oxford-AstraZeneca, bagian dari pesanan negara itu sebanyak 24 juta dosis vaksin.
Masih ada 36 negara yang ditargetkan mendapatkan vaksin Covax. Negara itu belum menjalankan program vaksinasi sama sekali. Mayoritas dari 36 negara itu, yakni 26 negara, merupakan negara berpendapatan menengah ke bawah dan negara berpendapatan rendah. Dari 536 juta dosis vaksin yang sudah dikirimkan ke seluruh dunia hingga akhir Maret, sebanyak 76 persen vaksin dikirim ke 10 negara berpendapatan tinggi, termasuk AS, dan hanya 5 persen atau 27 juta dosis ke benua Afrika.
Covax AMC Engagement Group merupakan forum 92 negara berkembang dan negara kurang berkembang atau negara miskin serta negara donor untuk menyediakan dan mendistribusikan vaksin bagi negara-negara berkembang dan miskin. Covax menetapkan target perolehan vaksin 20 persen dari total populasi bagi setiap negara berkembang dan miskin.
Indonesia, misalnya, hingga kini telah menerima 1.113.600 dosis vaksin AstraZeneca dari Covax. Pada tahap pertama, Indonesia akan menerima total 11.704.800 dosis vaksin AstraZeneca dan akan dikirimkan secara bertahap hingga Mei 2021. Sebelum Indonesia, Vietnam adalah negara pertama penerima vaksin dari Covax, lalu disusul dengan negara berkembang dan miskin lainnya.
AFP/NHAC NGUYEN
Seorang pejabat Kementerian Kesehatan Vietnam memeriksa dokumen pada kontainer berisi kiriman pertama vaksin Covid-19 AstraZeneca/Oxford, sebagai bagian dari program Covax, di terminal kargo Bandar Udara Internasional Noi Bai, Hanoi, Vietnam, 1 April 2021.
Namun, sebagaimana diberitakan kantor berita Deutsche Welle, pada 23 Maret lalu, Presiden Filipina Rodrigo Duterte pada 1 Februari lalu mengeluhkan keterlambatan penerimaan vaksin dari Covax dan ia menyalahkan Uni Eropa (UE) yang menangguhkan pengiriman vaksinnya. Keluhan ini menyusul kritik WHO, akhir Januari lalu, kepada UE yang mengendalikan ekspor vaksin AstraZeneca yang diproduksi oleh UE.
Sampai sejauh ini, UE telah menyediakan sekitar 950 juta dollar AS dalam bentuk bantuan dan hibah pandemi kepada ASEAN dan negara anggota UE. Negara-negara UE juga telah menyumbang sekitar 2,2 miliar euro kepada Covax. Dari bantuan itu, sekitar 32 juta dosis vaksin Covax diharapkan bisa diterima negara anggota ASEAN masing-masing 7 juta dosis hingga akhir Maret dan 15 juta pada awal Juli. Kamboja, Indonesia, dan Filipina sudah menerima vaksin sumbangan UE itu.
Data terbaru dari State of Southeast Asia Report yang dirilis Institut Yusof Ishak ISEAS, bulan lalu, menyebutkan, UE telah memberi bantuan yang lebih banyak ketimbang Amerika Serikat, China, dan Jepang. Sampai sejauh ini, Jepang baru menyumbang 200 juta dollar AS ke Covax. Berbeda dengan UE yang menggunakan pendekatan bantuan vaksin multilateral, China dan Rusia lebih gigih menggenjot diplomasi vaksin lewat mekanisme bilateral, termasuk dengan mitra ASEAN. Hal ini yang dikhawatirkan karena vaksin justru akan menjadi semacam alat politik dan untuk menaikkan posisi tawar.
”Karena kegigihan diplomasi vaksin China, semua orang mengira semua vaksin hanya datang dari China atau Covax. Padahal, donaturnya dari banyak negara,” kata peneliti senior di Institut untuk Kerja Sama dan Perdamaian di Kamboja, Bradley J Murg.
INDONESIAN PRESIDENTIAL PALACE VIA AP, FILE
Foto yang dirilis Istana Kepresidenan Indonesia pada 6 Desember 2020 ini memperlihatkan kontainer berisi vaksin Covid-19 buatan perusahaan China, Sinovac, akan dinaikkan pesawat Garuda Indonesia di Bandar Udara Internasional Beijing di Beijing, China.
Murg menilai diplomasi vaksin ini semestinya tidak dilakukan secara bilateral, tetapi multilateral, karena pandemi ini harus diselesaikan secara bersama-sama. Dalam berita yang diangkat Deutsche Welle itu disebutkan, AS, India, Jepang, dan Australia atau disebut Quad, yang akan memberikan bantuan 1 miliar dollar AS kepada Covax dan vaksin tambahan khusus untuk kawasan Indo-Pasifik.
Mandiri
Dalam seri dialog publik webinar Aliansi untuk Kerja Sama Afrika (AAP) bersama Michigan State University, pekan lalu, Roberto Lopez, yang memimpin jaringan organisasi Amerika Selatan untuk akses universal untuk obat darurat, Acción Internacional para la Salud, mengakui mekanisme Covax merupakan yang terbaik. Namun, hanya kelompok multilateral yang kuat saja yang bisa menjalin kerja sama dengan para pemangku kepentingan vaksin untuk memperoleh paten dan akses luas pada vaksin.
Agar tidak sepenuhnya bergantung pada negara-negara maju, ia mengusulkan agar negara-negara berpendapatan menengah dan rendah bekerja sama mengatasi krisis kesehatan dengan meningkatkan kemampuan ilmiah dan teknologi farmasi.
Perwakilan tetap India di Organisasi Perdagangan Dunia, Brajendra Navnit, Januari lalu, pernah mengingatkan, sebenarnya WHO memiliki inisiatif Pool Akses Teknologi Covid-19 yang mendorong kontribusi sukarela atas kekayaan intelektual, teknologi, dan data. Inisiatif ini bertujuan untuk mendukung upaya berbagi akses vaksin yang adil merata ke seluruh dunia dan membuat produk medis berskala besar untuk memerangi virus seperti korona ini.
Hanya saja, inisiatif ini sepi peminat. Padahal, pandemi Covid-19 hanya akan bisa berakhir apabila semua negara di dunia bekerja sama.