Sejak 2013, sudah 234 anggota Minusma tewas. Setiap bulan, Minusma berulang kali menjadi sasaran serangan. Bahkan, pada Juni 2019, Minusma diserang 136 kali.
Oleh
kris mada
·3 menit baca
NEW YORK — Sebanyak empat anggota misi penjaga perdamaian yang diterjunkan Perserikatan Bangsa-Bangsa kembali tewas di Mali. Dengan kematian empat tentara itu, sudah 234 anggota pasukan penjaga perdamaian yang tewas di negara yang terletak di kawasan Sahel, Afrika, itu.
Juru bicara Sekretaris Jenderal PBB, Stéphane Dujarric, mengumumkan, penyerangan atas misi PBB itu terjadi pada Jumat (2/4/2021) siang waktu New York atau Sabtu dini hari WIB. Ia hanya menyebut serangan terjadi di Aguelhok, Kidal. Akibat serangan oleh sekitar 100 milisi itu, 19 tentara Chad terluka dan 4 tentara tewas. Tidak dijelaskan kapan waktu pasti serangan terjadi.
Para penyerang menembakkan mortir ke pangkalan pasukan PBB di Mali, Minusma. Setelah itu, ada bom mobil dan diikuti dengan penembakan aneka senjata api. Belum diketahui pihak mana yang bertanggung jawab atas serangan itu. Di kawasan Sahel, ada banyak kelompok bersenjata dan sebagian terafiliasi dengan Al Qaeda.
Bukan hanya Minusma, tentara Mali juga melaporkan serangan oleh kelompok militan pada Jumat. Dalam serangan itu, 3 tentara Mali dan 10 milisi penyerang tewas. Tentara Mali juga melaporkan 17 anggotanya terluka dalam insiden tersebut.
Minusma tercatat sebagai misi penjaga perdamaian PBB yang paling banyak menelan korban. Sejak 2013, sudah 234 anggota Minusma tewas. Setiap bulan, Minusma berulang kali menjadi sasaran serangan. Bahkan, pada Juni 2019, Minusma diserang 136 kali.
Kini, Minusma diperkuat 13.289 tentara dari berbagai negara. Indonesia juga ikut mengirim pasukan penjaga perdamaian ke Mali. Di antara seluruh anggota PBB, Perancis paling aktif mengirimkan tentara ke Minusma dan misi penjaga perdamaian lain yang diterjunkan PBB ke sekitar Sahel. Di kawasan itu, Paris mengirimkan sekitar 5.100 tentara yang sebagian besar ditempatkan di Mali utara dan Chad.
Dampak
Konflik bersenjata di Mali menelan nyawa 4.000 warga sipil sepanjang 2019 saja. Pada 2020, PBB mencatat 580 penduduk sipil di Mali tengah tewas. Korban tewas juga tercatat di kawasan lain.
Konflik juga memaksa banyak warga Mali mengungsi. Dari 600.000 pada 2010 menjadi 1,5 juta pada 2020. Meski sudah berlangsung bertahun-tahun, belum ada kejelasan bagaimana konflik di Mali bisa diselesaikan.
Dalam situasi itu, kehadiran Minusma amat dibutuhkan warga setempat. Selain tentara, Minusma juga mengerahkan pekerja untuk membantu penyediaan infrastruktur dan angkutan udara. Sebab, Pemerintah Mali praktis tidak berdaya menghadapi berbagai kelompok milisi bersenjata di negara itu.
Kondisi di Mali memasuki babak mengerikan sejak 2012 kala pemberontak Tuareg berkoalisi dengan Al Qaeda untuk menguasai Mali utara.
Paris memutuskan mengirim tentara untuk membantu Bamako merebut lagi daerah-daerah yang diduduki pemberontak. Sejak 2014, pemberontak tidak lagi menguasai satu pun daerah di Mali. Namun, mereka belum tumpas sepenuhnya dan terus menyerang dalam berbagai kesempatan. Kini, ada banyak milisi bersenjata di Mali, baik yang berlatar etnis maupun agama.
Pada Juli 2013, Minusma mulai beroperasi dengan fokus awal di Mali utara. Mandat Minusma adalah melindungi warga sipil, membantu perwujudan kesepakatan damai antara Bamako dan sejumlah milisi, serta membantu pihak berwenang meningkatkan kapasitas dalam menjalankan tugas. Minusma juga ditugasi memantau dugaan pelanggaran HAM oleh aparat dan milisi bersenjata di Mali.
Tugas Minusma tidak mudah karena para pihak, baik aparat maupun milisi, sama-sama kerap terlibat kekerasan terhadap warga sipil. Selain Al Qaeda melalui kelompok Al Nusra, di Mali juga ada Negara Islam Sahara Raya. Mali juga menjadi tempat aneka kelompok bersenjata berlatar etnis. (AFP/REUTERS)