Kisah Kasih Tahanan 6299 dan Sekelumit Romantika Kehidupan di Jalur Gaza
Rami Aman, aktivis perdamaian Palestina, ditahan kelompok Hamas di Gaza setelah berinteraksi secara virtual dengan aktivis perdamaian Israel. Di penjara, ia dipaksa menceraikan istrinya sebagai syarat pembebasan dirinya.
Oleh
Mahdi Muhammad
·6 menit baca
Rami Aman (39) tidak berpikir dia tengah melakukan tindakan subversif ketika bergabung dalam sebuah ruang rapat virtual melalui platform rapat daring Zoom, April lalu. Di ruang itu, dia bersama puluhan aktivis perdamaian Palestina bertukar cerita dengan ”rekannya”, aktivis perdamaian Israel. Mereka bertukar cerita dan harapan tentang hubungan kedua negara dan harapan-harapan ke depan.
Di ruang virtual itu, Aman berbagi cerita soal soal ”penguncian (lockdown) ganda” yang dirasakan oleh rakyat Palestina di Jalur Gaza. Selain penguncian karena pandemi Covid-19, mereka selama 14 tahun hidup di bawah blokade ketat Israel dan Mesir. Hal-hal seperti itu, menurut Aman, selayaknya disuarakan ke dunia luar.
”Saya ingin memberi tahu orang-orang banyak, bagaimana keadaan ketika Anda hidup di bawah pendudukan dan pengepungan Israel, kehilangan hak-hak yang dinikmati seluruh dunia,” kata Aman ketika diwawancara di atap rumahnya di Gaza.
Cerita mengalir dari mulut Aman dan puluhan orang yang berada di ruang virtual itu. Selama lebih dari dua jam, Aman dan kelompok aktivis perdamaiannya, Komite Pemuda Gaza, berbicara tentang gambaran hidup berdampingan dengan puluhan orang Israel.
Meski sebenarnya tidak tertutup, saat berita pertemuan virtual itu keluar, media sosial dipenuhi dengan kemarahan warganet. Para peserta, termasuk Aman, dicap sebagai pengkhianat. Beberapa pihak mendesak Hamas, yang berkuasa di Gaza sejak 2007, untuk bertindak.
Penjara bernama ”Bus”
Selang beberapa hari setelah berita soal pertemuan virtual itu viral di media sosial, pada 9 April lalu Aman dan tujuh anggota organisasi tempatnya bergabung, Komite Pemuda Gaza, dipanggil oleh petugas Keamanan Dalam Negeri. Badan ini adalah badan yang khusus menangani para pembangkang dan orang-orang yang dituduh bekerja sebagai mata-mata bagi Israel.
Setibanya di kantor Keamanan Dalam Negeri, tanpa basa-basi, mata Aman ditutup dan segera dikirim ke ”Bus”, sebuah ruangan di mana para tahanan dipaksa duduk di sebuah kursi mungil selama berhari-hari atau bahkan berminggu-minggu dengan sedikit waktu istirahat.
”Mereka tidak menunjukkan bukti apa pun yang bisa membuktikan bahwa saya bersalah,” kata Aman.
Selama berada di ”Bus”, Aman yang juga seorang penulis itu duduk di kursi sejak pukul 06.00 hingga pukul 01.00 dini hari, kecuali ketika dia dibawa ke luar ruangan dan pindah ke ruangan lain untuk diinterogasi atau ketika waktu shalat tiba. Petugas hanya mengizinkan Aman untuk mencopot penutup matanya ketika dia pergi ke kamar mandi.
Para tahanan yang ada di dalam ”Bus” diizinkan untuk istirahat di atas pukul 01.00 dini hari. Tidak ada kasur, tidak ada alas tidur. Mereka tidur di samping kursi tempat mereka duduk sepanjang hari, meringkuk dibekap jaket yang mereka kenakan sepanjang malam. Beberapa jam kemudian, petugas membangunkan mereka untuk shalat Subuh.
Di sana, kata Aman, dirinya tidak dipanggil oleh petugas yang menculiknya dengan nama lengkap, tetapi dipanggil dengan nomor tahanan yang disematkan kepadanya: 6299.
Ketika diinterogasi, petugas memfokuskan pertanyaan-pertanyaannya pada rapat virtual Zoom dan siapa yang berada di belakang kegiatan itu. Petugas berulang kali juga mendesak Aman untuk menceritakannya di bawah tekanan bahwa dia dituduh bekerja sama dengan Israel. Ancamannya adalah hukuman mati.
Aman menuturkan, dirinya berada di dalam ”Bus” selama 18 hari sebelum dipindahkan ke sebuah sel kecil. Di sanalah interogasi mengarah ke sebuah hal baru yang aneh.
Pilih cerai atau penjara?
Keanehan yang dituturkan Aman menyangkut status pernikahannya. Dua bulan sebelum dikurung dalam ”Bus”, Aman melaksanakan nikah kontrak dengan putri seorang pejabat Hamas yang diasingkan dan kini berdiam di Mesir. Sebagai pasangan baru, pasangan ini tidak sempat merayakan pernikahan mereka dengan upacara atau selebrasi apa pun karena pandemi Covid-19. Meski demikian, keduanya dianggap sah sebagai pasangan suami istri.
Aman menuturkan, dirinya sebenarnya pernah bertemu dengan sang istri, yang tidak disebutkan namanya karena alasan keamanan, pada 2018 setelah sang istri bercerai dari suami pertamanya. Dalam perbincangannya, perempuan yang kemudian dinikahinya ini percaya dengan pesan perdamaian yang sering disampaikan Aman. Sang istri itu pun bergabung dengan Komite Pemuda Gaza. Bahkan, dia sempat bergabung dalam beberapa kali diskusi bersama generasi muda Israel.
Aman mengatakan, istrinya ditangkap tak lama berselang dirinya dijebloskan ke ”Bus”. Setelah itu, dia tak pernah mendengar kabar tentang istrinya.
Akan tetapi, tiba-tiba seorang petugas berbicara kepadanya dan menyatakan bahwa sang istri—yang baru dinikahinya dua bulan sebelumnya—tidak ingin melanjutkan hubungan mereka. ”Dia tidak menginginkanmu. Lebih baik kalian berdua bercerai,” kata Aman, menirukan perkataan sang petugas.
Selama berada di sel, Aman menahan diri untuk tidak mengambil keputusan apa pun soal pernikahannya. Pada 28 Juni, akhirnya dia bertemu langsung dengan sang istri yang mengunjunginya di tahanan. Di sana Aman diberi tahu bahwa sang istri telah dibebaskan dengan jaminan.
Di dalam ruangan, mereka tidak sendirian. Seorang petugas mengamati dan mendengarkan setiap perkataan yang mereka ucapkan. ”Ini bukan perempuan yang saya kenal. Jelas dia berada di bawah tekanan berat,” kata Aman. Aman tetap menolak menceraikannya.
Bulan Juli, Aman sedikit bisa bernapas lega. Dia dipindahkan ke penjara pusat Hamas. Tidak ada lagi interogasi atau penyiksaan.
Menyerah pada tekanan
Meski sudah tak ada tekanan dan penyiksaan, Aman akhirnya menyerah pada tekanan. Dia menandatangani surat cerai setelah dijanjikan akan dibebaskan keesokan harinya.
Akan tetapi, apa yang terjadi? Janji hanya tinggal janji. Kebebasan yang dijanjikan tidak terbukti. Aman tetap berada di penjara itu selama dua bulan. Sehari setelah Mesir membuka perbatasannya dengan Gaza yang memungkinkan delegasi Hamas melakukan perjalanan ke Kairo, Aman bebas. Namun, bukan bebas murni, melainkan tetap menjalani status hukuman percobaan setelah ”pengadilan” Hamas menyatakan dirinya bersalah telah melemahkan semangat revolusioner rakyat Palestina.
Setelah bebas dari penjara, barulah Aman mengetahui bahwa istrinya telah dibawa delegasi Hamas ke Mesir untuk diserahkan kepada keluarganya. Wartawan Associated Press menghubungi istri Aman. Istri Aman mengonfirmasi bahwa dirinya dipaksa untuk bercerai, meninggalkan Aman di Gaza. Dia mengaku ingin bersatu kembali dengan Aman.
Seorang pejabat senior Hamas yang diyakini terlibat dalam masalah ini tidak menanggapi permintaan komentar yang dikirimkan berulang kali. Aman sendiri menghabiskan hari-harinya berbicara dengan pengacaranya, kelompok hak asasi manusia, dan mengirim pesan kepada pejabat Hamas agar bisa dipertemukan dan bersatu kembali dengan sang istri. Dia juga mengetahui bahwa dirinya dilarang meninggalkan Gaza.
Eyad Bozum, juru bicara Kementerian Dalam Negeri Hamas, mengatakan bahwa masalah tersebut sedang dalam proses untuk diselesaikan. Dia tidak merinci lebih lanjut.
”Perlakuan menyedihkan terhadap Rami Aman oleh otoritas Hamas mencerminkan praktik sistematis mereka dalam menghukum orang-orang yang dianggap mengancam ortodoksi mereka,” kata Omar Shakir, Direktur Israel-Palestina di Human Rights Watch.
Yang dilakukan oleh kelompok Hamas, penguasa di Gaza, terhadap Aman dan hubungannya dengan sang istri bisa dilihat sebagai upaya menepis sindiran bahwa mereka mendukung upaya Aman dan kelompoknya menjangkau aktivis perdamaian Israel.
Pengalaman Aman menunjukkan kendala berat pada kebebasan berekspresi di wilayah yang dikuasai Hamas serta permusuhan mereka terhadap setiap pembicaraan tentang hidup berdampingan dengan Israel. Untuk saat ini, Aman mencoba mengesampingkan aktivisme politiknya. ”Sekarang saya memiliki pertempuran pribadi saya: kembali ke istri saya,” katanya. (AP)