Perang Saudara di Myanmar di Depan Mata, China Ubah Sikap
Pemerintah China mengubah sikapnya dengan mendukung transisi demokrasi di Myanmar. Perubahan itu tidak terlepas dari kepentingan bisnisnya yang terancam apabila Myanmar terjerembap dalam perang saudara.
Oleh
Mahdi Muhammad
·6 menit baca
NEW YORK, KAMIS — Pemerintah China mengubah sikapnya terkait situasi di Myanmar dengan menyatakan keinginannya untuk melihat transisi demokrasi di negara itu. Pada saat yang sama, Beijing juga mendukung langkah Perhimpunan Bangsa-bangsa Asia Tenggara, seperti yang pernah dilontarkan Presiden Joko Widodo, untuk mengadakan pertemuan puncak para pemimpin negara anggota ASEAN guna membahas krisis di Myanmar.
Meski begitu, China tetap konsisten menentang penggunaan sanksi ekonomi terhadap Myanmar. Pernyataan dukungan untuk transisi demokrasi di Myanmar disampaikan Duta Besar China untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Zhang Jun dalam pertemuan tertutup Dewan Keamanan (DK) PBB, Rabu (31/3/2021) waktu setempat atau Kamis dini hari WIB.
”China berharap Myanmar akan memulihkan perdamaian, stabilitas, dan ketertiban konstitusional sedini mungkin dan terus memajukan transisi demokrasi dengan mantap,” kata Dubes Zhang dalam sebuah pernyataan.
Dia mengatakan, menjaga perdamaian dan stabilitas di Myanmar adalah kepentingan bersama bagi komunitas internasional. Jika Myanmar mengalami turbulensi berkepanjangan, hal itu akan menjadi bencana, tidak hanya bagi negara itu, tetapi juga kawasan secara keseluruhan.
Pernyataan Zhang di forum sidang menandai salah satu perubahan sikap China dalam menyikapi krisis di Myanmar. Sejak kudeta terjadi, 1 Februari lalu, Pemerintah China memperlihatkan keengganan untuk menyatakan sikap terhadap kondisi yang terjadi di Myanmar.
Duta Besar China untuk Myanmar Chen Hai, seperti dikutip beberapa media lokal pada laman kedubes di Facebook pada 16 Februari lalu, menyatakan bahwa, meski kondisi Myanmar bukan sebuah kondisi yang ingin disaksikan, Beijing tetap akan menjalin hubungan persahabatan dengan kedua pihak, yaitu junta militer dan pemerintahan sipil Myanmar yang digulingkan.
Perubahan sikap tersebut tidak terlepas dari kepentingan China menjaga investasinya di Myanmar agar tidak terdampak akibat kudeta militer yang sudah berlangsung selama dua bulan. Aksi pembangkangan nasional yang digalang para aktivis prodemokrasi dan warga sipil telah mengakibatkan ekonomi Myanmar terhenti. Pada saat yang sama, sejumlah negara Barat, termasuk AS dan Uni Eropa, terus mempertimbangkan pemberian sanksi yang lebih luas terhadap Myanmar.
Zhang mengatakan, tekanan sepihak dan seruan penjatuhan sanksi atau tindakan paksaan lainnya, dalam pandangan Beijing, hanya akan memperburuk ketegangan dan konfrontasi. Tekanan itu akan memperumit situasi dan tidak konstruktif. Dia juga menyerukan perlindungan bisnis asing, yang menjadi perhatian utama Beijing, setelah lusinan investasinya diserang karena dukungannya terhadap junta militer.
”Kehidupan dan properti orang Myanmar serta warga negara asing serta bisnis harus dilindungi dan setiap serangan terhadap mereka tidak dapat diterima,” katanya. Dia berharap para pihak di Myanmar tetap tenang, menahan diri, dan mengambil tindakan konstruktif untuk meredakan dan mendinginkan situasi.
Ancaman perang saudara
Perubahan sikap Beijing juga tidak terlepas dari peringatan berbagai pihak terkait kemungkinan meluasnya konflik di Myanmar menjadi perang saudara. Indikasi ini sudah terlihat selama beberapa pekan terakhir dan terlihat dari serangan militer Myanmar terhadap kelompok-kelompok perlawanan etnis di beberapa wilayah.
Peringatan tentang potensi meluasnya konflik disampaikan Utusan Khusus PBB untuk Myanmar Christine Schraner Burgener dalam pertemuan di Dewan Keamanan PBB tersebut. Ia mengatakan, Myanmar tengah berada di ambang spiral sebuah negara yang gagal. Burgener juga menyebut kemungkinan pecahnya perang saudara di negara itu pada skala yang belum pernah terjadi sebelumnya.
”Ini bisa terjadi di depan mata kita. Dan, kegagalan mencegah eskalasi kekejaman lebih lanjut akan merugikan dunia dalam jangka panjang daripada berupaya mencegahnya, terutama oleh negara-negara tetangga Myanmar dan kawasan yang lebih luas,” kata Schraner Burgener dalam presentasi virtual yang diperoleh kantor berita Associated Press (AP).
Schraner Burgener mendesak DK PBB untuk mempertimbangkan semua sarana yang tersedia untuk mengambil tindakan kolektif dan melakukan apa yang pantas diterima rakyat Myanmar, sekaligus mencegah bencana multidimensi di jantung Asia. ”Dewan harus mempertimbangkan tindakan yang berpotensi signifikan untuk membalik jalannya peristiwa karena pertumpahan darah sudah dekat,” katanya.
Inggris meminta pertemuan di Perserikatan Bangsa-Bangsa di New York sebagai respons atas kekerasan yang memburuk di Myanmar. Setidaknya 521 warga sipil telah tewas sejak kudeta terjadi 1 Februari lalu, sebanyak 141 di antaranya tewas pada Sabtu (27/3), saat junta memperingati Hari Angkatan Bersenjata.
Sehari setelahnya, militer Myanmar mulai menyerang permukiman beberapa kelompok etnis, mengakibatkan ribuan orang mengungsi ke wilayah perbatasan negara tetangga, khususnya Thailand.
Schraner Burgener mengatakan, intensifikasi pertempuran di Negara Bagian Kayin membuat ribuan orang melarikan diri ke Thailand. Konflik di Negara Bagian Kachin dengan Tentara Kemerdekaan Kachin di dekat perbatasan China meningkat ke titik tertinggi tahun ini. Dia juga mengatakan, kelompok etnis bersenjata di perbatasan timur dan barat Myanmar juga menunjukkan penentangannya atas kebrutalan militer.
”Tindakan kekerasan oleh militer ini sama sekali tidak dapat diterima dan membutuhkan pesan yang kuat dari komunitas internasional,” kata Duta Besar Inggris untuk PBB Barbara Woodward dalam jumpa pers virtual setelah sesi dewan. Dewan Keamanan ”harus memainkan perannya” dalam tanggapan internasional, katanya menambahkan.
Pernyataan DK PBB
Dewan sejauh ini telah mengeluarkan dua pernyataan. Isinya menyatakan keprihatinan dan mengecam kekerasan terhadap pengunjuk rasa di Myanmar, tetapi menghindari penggunaan istilah kecaman keras terhadap pengambilalihan tentara sebagai kudeta dan kemungkinan tindakan lebih lanjut. Usulan dimasukkannya kecaman keras terhadap kudeta mendapat penentangan dari China, Rusia, India, dan Vietnam.
Pernyataan pers yang diusulkan dari DK PBB urung dikeluarkan setelah pertemuan, Rabu kemarin. Penyebabnya, China meminta waktu tambahan untuk mempertimbangkan isinya. Beberapa diplomat anggota DK PBB mengatakan kemungkinan pernyataan terbaru DK PBB akan dikeluarkan pada hari Kamis ini.
Dewan Keamanan mengadopsi pernyataan Presiden DK, satu tingkat di bawah resolusi, pada 10 Maret yang menyerukan pembalikan kudeta, mengecam kekerasan terhadap pengunjuk rasa damai, dan menyerukan agar militer menahan diri sekuat tenaga untuk tidak melakukan kekerasan terhadap para pengunjuk rasa. Pernyataan itu juga menekankan perlunya menegakkan lembaga dan proses demokrasi serta menyerukan pembebasan segera para pemimpin pemerintah yang ditahan, termasuk Aung Sa Suu Kyi dan Presiden Win Myint.
Dalam pertemuan itu, Schraner Burgener juga menyatakan kekhawatirannya bahwa junta melakukan tindakan kejahatan dan pelanggaran hukum internasional yang serius. Ia menambahkan, kondisi di Myanmar akan lebih gawat karena Jenderal Ming Aung Hlaing, pemimpin junta, tampaknya bertekad untuk memperkuat cengkeramannya yang melanggar hukum atas kekuasaan dengan kekerasan.
”Tampaknya militer hanya akan terlibat jika mereka merasa mampu mengatasi situasi melalui penindasan dan teror. Jika kita menunggu hanya ketika mereka siap berbicara, pertumpahan darah akan segera terjadi,” ujar Schraner Burgener. Pintu mediasi dan dialog sudah tertutup karena junta menutupnya.
Utusan PBB itu juga meminta mereka yang memiliki akses ke militer, yang dikenal sebagai Tatmadaw, untuk memberi tahu mereka kerusakan reputasi Myanmar dan ancaman yang ditimbulkannya tidak hanya terhadap warganya, tetapi juga keamanan negara-negara tetangga. (AP/AFP/REUTERS)