Dukung Unjuk Rasa, Milisi Etnis Buktikan Ancaman Mereka
Kelompok-kelompok perlawanan di Myanmar telah melancarkan serangkaian serangan terhadap pasukan militer junta sejak kudeta awal Februari lalu. Kelompok perlawanan dari etnis-etnis minoritas itu mendukung protes sipil.
Oleh
BENNY D KOESTANTO
·4 menit baca
YANGON, KAMIS — Salah satu kelompok perlawanan dari etnis minoritas Myanmar, Tentara Kemerdekaan Kachin, dilaporkan menyerang sebuah pos polisi di kota Shwegu, Negara Bagian Kachin, pada Rabu (31/3/2021). Langkah itu menjadi bukti terbaru atas ancaman sekaligus penegasan bahwa kelompok-kelompok perlawanan di Myanmar siap memperluas upaya untuk menentang junta militer negara itu pascakudeta pada 1 Februari 2021 lalu.
Sejumlah surat kabar lokal di Myanmar menyebutkan, serangan oleh gerilyawan Kachin itu merupakan indikasi keterlibatan mendalam angkatan bersenjata etnis minoritas dalam gerakan populer warga untuk menggulingkan junta yang mengudeta pemerintahan sipil. Tindakan tersebut menyusul konflik di Myanmar timur, di mana gerilyawan Karen merebut pos terdepan militer pada Sabtu (27/3/2021) pekan lalu. Langkah itu dibalas dengan serangan udara militer Myanmar yang menewaskan sekitar 10 penduduk desa dan mendorong ribuan warga lain mengungsi hingga melintasi perbatasan Myanmar ke Thailand.
Salah satu kelompok pemberontak etnis minoritas utama Myanmar, kelompok pemberontak Persatuan Nasional Karen, tengah pekan ini memperingatkan bakal meningkatnya ancaman konflik besar dengan junta. Kelompok itu juga menyerukan intervensi internasional atas tindakan keras militer terhadap penentang kudeta bulan lalu. Kelompok yang beroperasi di timur sepanjang perbatasan dengan Thailand itu mengatakan, pihaknya bersiap untuk serangan besar pemerintah. ”Sekarang, ribuan tentara darat militer Burma (nama lama Myanmar) memasuki wilayah kami dari semua lini,” kata kelompok itu dalam sebuah pernyataan. ”Kami tidak punya pilihan lain selain menghadapi ancaman serius yang ditimbulkan oleh tentara junta militer tidak sah untuk mempertahankan wilayah kami.”
Myanmar berada dalam kekacauan sejak militer menggulingkan pemerintah sipil terpilih yang dipimpin oleh Aung San Suu Kyi. Kota-kota besar dan kecil di seluruh negeri telah diliputi oleh protes terhadap kekuasaan militer. Pertempuran juga terjadi antara tentara dan pemberontak di daerah perbatasan, hingga mengakibatkan ribuan pengungsi membanjiri perbatasan.
Para pemimpin gerakan protes sipil disebut telah mencari aliansi dengan kelompok bersenjata etnis minoritas untuk meningkatkan tekanan pada junta. Mereka ingin membentuk apa yang mereka sebut sebagai tentara federal sebagai penyeimbang angkatan bersenjata pemerintah. Belum ada kejelasan terkait wacana itu.
Para pemimpin gerakan protes sipil disebut telah mencari aliansi dengan kelompok bersenjata etnis minoritas untuk meningkatkan tekanan pada junta. Mereka ingin membentuk apa yang mereka sebut sebagai tentara federal sebagai penyeimbang angkatan bersenjata pemerintah.
Lebih dari selusin etnis minoritas Myanmar telah mencari otonomi yang lebih besar selama beberapa dekade melalui siklus konflik bersenjata dan gencatan senjata yang tidak mudah. Beberapa kelompok besar kelompok perlawanan—termasuk Kachin, Karen, dan Tentara Arakan Rakhine di Myanmar bagian barat—secara terbuka telah mengecam kudeta militer atas pemerintahan sipil. Mereka pun mengatakan akan membela para pengunjuk rasa di wilayah-wilayah yang mereka kuasai.
Kelompok Kachin telah melancarkan serangkaian serangan terhadap pasukan pemerintah sejak kudeta. Kelompok itu mengatakan, babak pertempuran terakhir dipicu oleh serangan pemerintah terhadap empat pos terdepan milik mereka di Kachin. Setelah satu serangan Kachin pada pertengahan Maret, militer membalas dengan serangan helikopter di pangkalan Kachin.
Tekanan internasional
Respons atau langkah oleh sejumlah pemerintah terus dilakukan menanggapi dinamika di Myanmar. Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada Rabu memerintahkan para diplomatnya yang dinilai tidak memiliki kepentingan di Myanmar untuk segera keluar dari negara itu. Departemen Luar Negeri AS mengatakan sedang memerintahkan pemanggilan kembali para ”pegawai pemerintah AS nondarurat dan anggota keluarga mereka”. Keputusan itu diambil untuk melindungi keselamatan dan keamanan para staf dan keluarga mereka.
Dari Tokyo dilaporkan, Pemerintah Jepang mengambil keputusan untuk menghentikan bantuan baru ke Myanmar. Jepang adalah salah satu negara donor bantuan utama untuk Myanmar. Menteri Luar Negeri Jepang Toshimitsu Motegi mengatakan, penangguhan bantuan akan mengirimkan pesan yang jelas bagi semua pihak di Myanmar. ”Untuk Myanmar, Jepang adalah penyedia bantuan ekonomi terbesar,” kata Motegi kepada parlemen Jepang. ”Apa sikap Jepang dalam hal bantuan ekonomi? Tidak ada bantuan baru. Kami mengambil posisi yang jelas ini.”
AS, Inggris, dan Uni Eropa telah mengumumkan serangkaian sanksi yang menargetkan polisi dan komandan militer yang terkait dengan kudeta serta perusahaan milik militer. Namun, Jepang, yang memiliki hubungan ekonomi kuat dengan Myanmar dan hubungan jangka panjang dengan militernya, telah memilih untuk tidak mengambil tindakan hukuman yang lebih langsung. Media lokal Jepang menyebut, penangguhan tersebut dilaporkan hanya memengaruhi bantuan baru dan tidak atas proyek yang sudah ada. ”Kebijakan mana yang benar-benar efektif untuk Myanmar? Saya kira jawabannya jelas,” kata Motegi kepada komite legislatif parlemen Jepang. ”Bukan karena sanksi itu berani dan nonsanksi tidak berani.” (AFP/REUTERS)