Fotografer lepas Polandia dideportasi dari Myanmar setelah dua pekan ditahan. Dia khawatir situasi di Myanmar mulai mengarah ke perang saudara.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
Robert Bociaga (29), fotografer lepas asal Polandia, Selasa (31/3/2021), dideportasi dari Myanmar setelah mendekam di tahanan selama dua pekan.
Setelah keluar dari tahanan, Bociaga meminta komunitas internasional untuk segera mengintervensi junta militer Myanmar. Ia khawatir situasi di Myanmar akan semakin parah karena sudah mengarah ke perang saudara.
”Jika komunitas internasional tidak segera bertindak tegas, krisis Myanmar akan memicu krisis regional,” kata Bociaga.
Sebelum ditahan pada 11 Maret lalu, Bociaga tidak mengalami kekerasan dan dalam kondisi aman. Ia ditangkap aparat keamanan ketika sedang meliput unjuk rasa di kota Taunggyi.
Saat itu tengah terjadi kericuhan karena pengunjuk rasa dan aparat keamanan bentrok. Bociaga dikepung dan dipukuli oleh tentara kemudian ditahan dan disidang.
Menurut Bociaga, tentara yang menangkapnya sepertinya tidak tahu bahwa ia warga asing karena ia memakai masker pelindung mulut. Sejak itu, banyak wartawan lokal yang ditangkap.
Saat sidang, Bociaga dinyatakan bersalah karena alasan visanya melebihi masa berlaku yang ditentukan dan bekerja untuk media asing. Ini dianggap ilegal bagi wartawan yang tidak memiliki akreditasi. Sebagai wartawan lepas, ia tidak bisa memperoleh kredensial media.
Bociaga berpura-pura bukan wartawan dan kepada hakim mengaku tidak bisa memperpanjang masa berlaku visanya yang sudah habis sejak September lalu. Visa tidak bisa diperpanjang karena pada waktu itu sedang ada kebijakan pembatasan terkait pandemi Covid-19.
Hakim, kata Bociaga, tampak sangat khawatir ada warga asing yang dipukuli dan ditangkap. Namun, hakim itu mengaku tidak memiliki kuasa melawan peraturan imigrasi.
Bociaga lalu dibebaskan tanpa perlu menjalani penyelidikan pemerintah. Rekan-rekan Bociaga di Myanmar sudah memberi tahu pengacara setempat dan kedutaan Jerman yang juga mewakili kepentingan Polandia di Myanmar.
Selama berada di dalam tahanan, Bociaga mendapatkan buah dan diperlakukan baik. Ketika memberikan pengakuan, ia juga diperbolehkan duduk di kursi. Sementara tahanan lain harus bersimpuh di lantai dengan kedua tangan di belakang kepala selama proses interogasi dengan polisi.
Belakangan diketahui, tuntutan atas alasan bekerja untuk media asing tidak dicantumkan dalam keputusan sidang. Bociaga ”hanya” dihukum denda 100 dollar AS karena visa yang melebihi batas waktu tinggal. Ia dibebaskan pada 22 Maret lalu.
Menurut Bociaga, tidak pernah ada penyelidikan untuk memastikan apakah ia benar-benar wartawan atau bukan. Jika benar ada, bisa jadi ia harus mendekam di penjara dalam waktu lama.
”Myanmar betul-betul masih negara yang kuno. Mereka memakai internet hanya untuk membuka Facebook. Mereka bahkan tidak mengecek melalui Google dan itu menyelamatkan saya,” kata Bociaga.
Bociaga menduga, karena ada upaya diplomatik dari kedutaan Jerman, ia mendapat perlakuan yang lebih baik ketimbang tahanan lain. Bahkan, ada petugas imigrasi yang meminjamkan uang untuk membayar denda lalu boleh mengembalikan ketika Bociaga sudah mendapatkan dompetnya kembali. Setelah itu, Bociaga akhirnya keluar dari Myanmar, Kamis lalu.
Pengalaman Bociaga itu diakuinya tidak traumatis, tetapi hanya membuang waktunya saja karena semestinya ia bisa turun ke lapangan, berbicara dengan warga, dan mendokumentasikan semua yang terjadi di Myanmar. Meski pernah ditahan, Bociaga mengaku tetap menyimpan kenangan indah dari Myanmar.
Sejak kudeta militer, 1 Februari lalu, rakyat Myanmar bergantung pada media sosial untuk mendapatkan informasi tepercaya.
Dengan banyaknya usaha, sekolah, rumah sakit, dan kantor pos yang tutup, Bociaga mengatakan awalnya para pengunjuk rasa berharap junta militer akan mengubah taktik dan mau berdialog dengan pengunjuk rasa.
Namun, yang terjadi malah situasinya menjadi semakin anarkistis, bahkan mulai mengarah ke perang saudara. (AP)