Selain membangun kemitraan dan kerja sama dalam industri berat dan strategis, Indonesia dan Korea Selatan juga mengembangkan relasi lewat produk industri kecil dan kebudayaan.
Oleh
Mahdi Muhammad
·4 menit baca
Pergeseran tren dunia dalam satu dekade terakhir soal energi terbarukan tidak terlepas dari masalah besar, perubahan iklim dunia yang makin mencemaskan. Salah satu hal yang diupayakan industri otomotif dunia, yang dituding sebagai salah satu penyumbang polutan terbesar, adalah bagaimana mengurangi ketergantungan pada energi fosil, dalam hal ini minyak, dengan sumber energi baru terbarukan.
Kecenderungan ini yang ditangkap oleh Umar Hadi, Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan. Kecenderungan industri otomotif dunia yang menggeser produknya dari kendaraan yang menggunakan teknologi ”internal combustion engine” atau ICE, seperti yang masih banyak beredar di dunia saat ini, dan menggantikannya dengan kendaraan listrik berbasis baterai (battery electrified vehicle) menjadi salah satu ”jualannya” kepada pemerintah Korea Selatan.
Umar Hadi, ketika berbincang santai dengan Desk Internasional Kompas, Jumat pekan lalu, mengatakan, sebelum menyerahkan surat penugasannya kepada Presiden Korea Selatan Moon Jae-in, dia mempelajari platform politik dan program-programnya yang ditawarkan Presiden Moon. Salah satunya adalah soal energi hijau alias energi baru terbarukan.
Yang menjadi masalah, kata Umar, hal itu bisa berdampak terhadap nilai ekspor Indonesia ke Korsel, terutama batubara, yang memiliki persentase besar pada nilai ekspor hingga 40 persen. Indonesia adalah pemasok batubara nomor dua terbesar bagi Korsel setelah Australia.
Kesempatan datang ketika Umar bertemu secara langsung dengan Presiden Moon di Istana Biru untuk menyerahkan surat tugas sebagai Dubes RI di Korsel, Juli 2017.
”Setelah menyerahkan surat tugas, dalam perbincangan dengan Presiden Moon, saya sampaikan bahwa Indonesia adalah pemasok nomor dua batubara terbesar ke Korsel. Saya sampaikan bahwa saya tahu bahwa Anda akan mengubah kebijakan soal komposisi energi negaranya, termasuk mengurangi pembangkit listrik bertenaga batubara. Harus ada jalan keluar yang paling baik bagi kedua negara,” tutur Umar soal pembicaraannya dengan Presiden Moon.
Pada saat yang sama, Umar juga bercerita bahwa di Indonesia tengah ada gerakan yang sama seperti di Korsel yang mendengungkan soal pemanfaatan energi baru terbarukan (EBT) lebih besar dibandingkan dengan energi fosil. Selain itu, Gaikindo juga tengah dalam pembicaraan dengan Pemerintah Australia untuk bisa memasok kebutuhan kendaraan ke negara tersebut yang pasarnya mencapai 1,2 sampai 1,5 juta hingga tahun 2025. Umar mengatakan, kebutuhannya sangat mendesak, dengan beberapa perubahan di internal Korsel yang bisa berdampak ke Indonesia adalah untuk membuat sesuatu yang baru, memperbesar rantai pasokan industri manufaktur.
”Yang paling jelas adalah memang industri kendaraan bermotor. Pasar ASEAN dan Australia serta seluruh dunia,” katanya.
Beruntung, pejabat Dubes RI untuk Korsel sebelumnya, John A Prasetio, membuka fondasi bagi kedatangan beberapa calon investor, termasuk Hyundai Motor. Dari sana, jalan terbuka lebar untuk investasi pada pabrik mobil. Bahkan, selain manufaktur kendaraan roda empat, salah satu raksasa teknologi, LG, juga turut berinvestasi dalam produksi baterai kendaran bermotor di Indonesia.
Proses produksi kendaraan listrik berbasis baterai, cerita Umar, yang semula direncanakan dimulai pada tahun 2023 akan dipercepat produksinya menjadi akhir tahun 2022 setelah kesuksesan dua produk BEV Hyundai, Ionic dan Kona electric.
Kolaborasi
Tidak hanya industri manufaktur dan industri ”berat” yang mendapat perhatian. Masifnya gelombang industri kreatif dan industri budaya juga bisa menjadi pintu masuk kerja sama dua negara.
Salah satu yang coba dikenalkan adalah industri batik Indonesia. Umar mengatakan, pasar produk fashion di Korea Selatan per bulan bisa mencapai angka 6 juta dollar Amerika Serikat. Sementara hingga saat ini, nilai ekspor produk fashion Indonesia baru mencapai angka 200.000 dollar AS per tahun. ”Masih ada ruang yang luas untuk meningkatkannya. Kita terlalu dimanja oleh ekspor komoditas dasar sehingga produk-produk lain terlupakan,” kata Umar.
Tahun lalu, Kedutaan Besar RI mencoba menginisiasi kegiatan lelang batik. Nilai yang dihasilkan cukup lumayan, menurut Umar. Terutama karena yang diajak adalah para perajin usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Batik yang dipesan bukan satuan, melainkan dalam bentuk partai besar, seperti untuk seragam.
Upaya lain yang tengah dicoba adalah mendekatkan produk wastra atau bahan kain Nusantara ke warga Korea Selatan. Menggandeng perancang busana senior Samuel Wattimena, KBRI Seoul pekan lalu mengadakan pergelaran busana virtual untuk memperkenalkan berbagai jenis kain dengan pewarna alami yang bisa digunakan sebagai apa pun, mulai dari pakaian hingga kerajinan tangan.
Tidak hanya kain tradisional yang diperkenalkan, tetapi juga perhiasan desain Indonesia coba diperkenalkan pada pasar Korea Selatan.
Menurut Umar, masih banyak bidang dan sektor di industri kreatif yang bisa dikerjasamakan dan memberikan keuntungan epada masyarakat di kedua negara. Saking banyaknya, Umar mengatakan, dirinya meminta bidang industri kreatif ini ditangani oleh orang tersendiri, terpisah dengan yang menangani investasi pada umumnya.
Pada akhirnya, Umar berharap kerja sama Indonesia-Korea Selatan tidak melulu menggantungkan diri pada komoditas dasar semata, tetapi juga mengekspor barang atau sesuatu yang memiliki nilai tambah.