Kelompok Perlawanan Myanmar Peringatkan Potensi Konflik Besar
Krisis Myanmar berpotensi merusak stabilitas negara itu dalam skala lebih luas, dan bahkan berpotensi memicu perang saudara.
Oleh
Luki Aulia
·3 menit baca
YANGON, RABU —Krisis Myanmar berpotensi merusak stabilitas negara itu dalam skala lebih luas. Aparat keamanan junta tidak hanya menggunakan kekerasan untuk melibas massa rakyat prodemokrasi di kota-kota, tetapi juga untuk kelompok perlawanan etnis minoritas di daerah-daerah perbatasan.
Persatuan Nasional Karen, salah satu kelompok perlawanan etnis minoritas Myanmar, memperingatkan ancaman konflik besar-besaran. Kelompok ini juga mendesak komunitas internasional agar segera melakukan intervensi terhadap kekerasan aparat junta militer Myanmar.
Persatuan Nasional Karen (KNU) beroperasi di sepanjang perbatasan Myanmar timur dengan Thailand. Gencarnya serangan udara junta militer Myanmar membuat ribuan warganya mengungsi ke Thailand.
”Ribuan tentara Myanmar masuk ke wilayah kami dari segala penjuru. Kami tidak punya pilihan lain selain melawan demi mempertahankan wilayah kami,” sebut kelompok itu dalam pernyataan tertulisnya, Selasa (31/3/2021).
KNU mendesak komunitas internasional, khususnya Thailand, untuk membantu menyelamatkan warga Karen dari pembunuhan militer. Mereka juga meminta dunia memutuskan hubungan dengan junta militer agar kekerasan terhadap warga sipil bisa dihentikan.
Pasukan junta Militer Myanmar menggempur kelompok perlawanan di daerah pinggiran karena pengunjuk rasa antikudeta pernah mengajak kelompok-kelompok perlawanan di Myanmar untuk bersatu melawan militer. Juga sebaliknya, kelompok perlawanan menyatakan akan bereaksi jika junta tidak menghentikan pembantaian terhadap warga sipil tak bersenjata.
Kelompok perlawanan selama puluhan tahun melawan militer Myanmar untuk mendapatkan otonomi yang lebih luas di daerah-daerah pinggiran. Militer bersikukuh mempertahankan kekuasaan karena berkeyakinan hanya merekalah institusi yang mampu memastikan persatuan nasional.
Jika kelompok-kelompok perlawanan dan kelompok prodemokrasi bersatu melawan junta, besar kemungkinan akan memicu perang saudara. Situasi yang terjadi saat ini di Myanmar, jika tidak dikendalikan dengan baik dan junta terus melakukan tindakan represif, kemungkinan itu semakin dekat.
Pesawat militer Myanmar mengebom KNU akhir pekan lalu dan membuat 3.000 warga desa daerah itu mengungsi ke Thailand. Namun, dikabarkan para pengungsi tidak boleh masuk Thailand dan disuruh putar balik, yang lalu dibantah oleh Perdana Menteri Prayuth Chan-ocha.
Selain dengan KNU, militer Myanmar juga bertikai dengan kelompok perlawanan etnis Kachin di wilayah utara. Banyak warga setempat yang juga mengungsi ke India.
Selama dua bulan terakhir, sedikitnya 512 orang tewas. Meski begitu, ribuan pengunjuk rasa berbagai kota tetap turun ke jalan memprotes kudeta militer Myanmar.
Pembangkangan sipil membuat sebagian perekonomian Myanmar lumpuh. Negara-negara Barat mengecam kudeta dan kekerasan terhadap warga sipil serta meminta Aung San Suu Kyi segera dibebaskan.
Sejumlah negara juga sudah menjatuhkan sanksi terhadap junta militer Myanmar. Menteri Luar Negeri Amerika Serikat Antony Blinken mengatakan, negara-negara dan perusahaan-perusahaan yang berinvestasi pada bidang-bidang yang mendukung militer Myanmar sebaiknya menarik diri untuk menekan junta militer.
”Sebaiknya segala macam investasi dan dukungan kepada militer Myanmar dihentikan karena itu memberikan dukungan finansial pada militer untuk melawan rakyatnya sendiri,” kata Blinken.
Pemerintah AS, Selasa, memerintahkan semua pegawai Pemerintah AS yang bekerja di bidang nondarurat beserta keluarga segera meninggalkan Myanmar. AS sudah menangguhkan semua bentuk kerja sama dengan Myanmar yang tercakup dalam kesepakatan perdagangan dan investasi tahun 2013.
Penangguhan dilakukan hingga ada pemerintahan Myanmar yang dipilih secara demokratis. Pada awal bulan ini, AS menjatuhkan sanksi terhadap dua anggota junta militer Myanmar, termasuk kepala kepolisian, dua pejabat militer, dan memasukkan dua konglomerat ke dalam daftar hitam.
Menlu RI Retno Marsudi menegaskan, Indonesia menentang segala bentuk kekerasan aparat keamanan terhadap warga sipil. Retno juga menekankan pentingnya dialog untuk menyelesaikan krisis Myanmar.
”Dengan tetap menghormati prinsip non-interferensi, sejak awal ASEAN sudah menawarkan bantuan ke Myanmar. Dialog harus diupayakan untuk memulihkan demokrasi, perdamaian, dan stabilitas keamanan di Myanmar,” ujarnya.
Filipina juga mengeluarkan pernyataan tegas serupa. Junta militer Myanmar diminta untuk segera menghentikan kekerasan terhadap warga sipil yang tidak bersenjata. Thailand menyuarakan hal senada.
Junta Myanmar, disebutkan Thailand, sudah mendengar pesan-pesan dari komunitas internasional, tetapi tidak menanggapi dan tindakannya tergantung dari perkembangan situasi. (REUTERS/AFP/AP/LUK)