India-Inggris Tahan Suplai, Negara Lain Harus Cari Sumber Alternatif
Banyak negara harus mencari lagi sumber-sumber alternatif vaksin Covid-19 setelah sejumlah produsen vaksin, seperti India, menahan sementara vaksin buatan mereka.
MANILA, SELASA —Negara-negara di Asia dan negara di belahan dunia yang lain harus mencari lagi sumber-sumber alternatif vaksin Covid-19 setelah India menahan sementara vaksin buatan mereka. Inggris pun akan mendahulukan vaksinasi ke semua penduduk berusia dewasa terlebih dulu sebelum menyediakan vaksin bagi negara lain.
Baca juga: India Prioritaskan Vaksin untuk Dalam Negeri
Korea Selatan, Indonesia, dan Filipina termasuk negara yang akan terdampak keterlambatan pengiriman vaksin yang sudah dijanjikan melalui program berbagi vaksin global yang didukung Organisasi Kesehatan Dunia Perserikatan Bangsa-Bangsa, COVAX, itu. Program ini dibuat untuk memastikan ketersediaan vaksin bagi negara-negara miskin.
”Rencana menambah jumlah vaksinasi setiap hari akan terganggu,” kata Kepala Vaksinasi Filipina, Carlito Galvez, Selasa (30/3/2021).
India, produsen vaksin terbesar di dunia, menahan sementara ekspor vaksin AstraZeneca yang dibuat oleh Institut Serum India (SII). Alasannya, pemerintah India hendak memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dulu. Padahal, seharusnya SII dijadwalkan mengirimkan 90 juta dosis vaksin COVAX pada Maret dan April. Belum diketahui jumlah ekspor vaksin yang akan dialihkan untuk kebutuhan domestik India.
Baca juga: Vaksinasi Covid-19, Pintu Melepas Rindu
Korea Selatan membenarkan kabar itu dan mengaku hanya akan menerima 432.000 dosis vaksin dari 690.000 dosis yang sudah dijanjikan. Itu pun pengirimannya akan ditunda sampai pekan ketiga April. ”Ketersediaan vaksin global sangat tidak jelas. Kami berusaha mencari sumber vaksin lain agar rencana vaksinasi tidak terganggu,” kata Kepala Tim Gugus Tugas Vaksinasi Covid-19 Korsel, Kim Ki-nam.
Upaya yang dilakukan Korsel itu, antara lain, berbicara langsung ke AstraZeneca untuk mempercepat pengiriman vaksin melalui kesepakatan yang berbeda. Sementara Presiden Filipina Rodrigo Duterte melonggarkan pembatasan impor vaksin oleh pihak swasta. Ia meminta berbagai perusahaan untuk membeli vaksin dengan harga berapa pun.
Baca juga: Penularan Domestik Meningkat, India Tunda Suplai Vaksin Global
Hal serupa dilakukan Vietnam yang meminta swasta segera membeli vaksin setelah suplai vaksin COVAX mereka dikurangi 40 persen dengan hanya menjadi 811.200 dosis vaksin dan pengiriman ditunda hingga beberapa pekan. Di Indonesia, sekitar 10,3 juta dosis vaksin dari COVAX juga kemungkinan ditunda hingga Mei mendatang.
Untuk alasan yang sama dengan India, Inggris juga akan memfokuskan kebutuhan vaksin dalam negeri sebelum diekspor ke negara lain, termasuk negara tetangganya, Irlandia. Sekitar 30 juta warga Inggris sudah menerima vaksin pertama. Menteri Bisnis Inggris Kwasi Kwarteng mengatakan, fokus pemerintah adalah memastikan semua rakyat Inggris aman terlebih dulu. ”Kalau ada kelebihan vaksin, akan kami bagi. Namun, saat ini tidak ada vaksin yang tersisa karena masih banyak warga yang harus divaksinasi,” ujarnya.
Baca juga: Uni Eropa-Inggris Saling Berebut Vaksin AstraZeneca
Inggris menyetujui pembelian puluhan juta dosis vaksin dari sejumlah produsen dan sekitar 60 juta dosis vaksin Novovax tengah diproduksi untuk kebutuhan Inggris. Perdana Menteri Inggris Boris Johnson termasuk salah satu dari 23 pemimpin negara yang mendukung ide membuat perjanjian internasional untuk membantu dunia bekerja sama menangani krisis kesehatan pada masa depan.
Alat diplomasi
Keputusan India menunda pengiriman vaksin dalam skema COVAX itu mengancam 64 negara miskin yang bergantung harapan pada COVAX. Bukan hanya penundaan itu yang menjadi masalah. Sebelumnya juga ada masalah pada produksi dan kurangnya kontribusi dana dari negara-negara kaya.
China dan Rusia bersiap mengatasi persoalan ini. Galvez mengatakan, Filipina memiliki hubungan diplomatik yang baik dengan China dan Rusia sehingga kepada merekalah Filipina meminta akses vaksin untuk April mendatang. Filipina dan Indonesia saat ini bergantung pada vaksin dari Sinovac Biotech, China. Bahkan, Filipina dan Vietnam juga telah sama-sama menyetujui vaksin buatan Rusia, Sputnik V. Begitu pula dengan sekitar 50 negara, mayoritas negara berkembang. Vaksin Sputnik V dijadwalkan tiba di Filipina pada April.
Baca juga: UEA-China Bangun Pabrik Vaksin Covid-19 Pertama di Kawasan Arab
Untuk memenuhi kebutuhan vaksin dunia, produsen vaksin China, Sinopharm, akan memproduksi vaksin di pabrik barunya di Uni Emirat Arab.
Keterlambatan ekspor vaksin itu rupanya tidak hanya dirasakan negara berkembang dan miskin, tetapi juga negara kaya seperti Jepang. Negara seperti Jepang saja bergantung pada produsen vaksin asing, seperti vaksin Pfizer yang dikirim dari Eropa. ”Ada saja orang yang memanfaatkan vaksin sebagai alat diplomasi. Ada yang mau memprioritaskan diri sendiri atau orang lain. Ada yang membeli 3-5 kali dosis vaksin lebih banyak dari jumlah penduduknya,” kata Menteri Urusan Vaksin Jepang Taro Kono.
Baca juga: Covid-19 dan Aksi Global bagi Penguatan Arsitektur Kesehatan Global
Taro menegaskan, semua pemimpin dunia harus segera duduk bersama dan memiliki pemikiran yang sama bahwa vaksin ini isu global. Bukan isu domestik.
Terkait dengan isu vaksin, dalam kesempatan terpisah, Menteri Luar Negeri Indonesia Retno LP Marsudi meyakini WHO akan terus berupaya agar pasokan vaksin multilateral tidak mengalami hambatan. ”Upaya Gavi dan WHO ini perlu terus didukung semua negara agar vaksin multilateral dapat berjalan dengan baik,” kata Retno yang ketika dihubungi tengah berada di Tokyo, Jepang, menghadiri pertemuan 2 plus 2 antara Menlu dan Menhan Indonesia-Jepang.
Indonesia, kata Retno lebih lanjut, terus mendorong pentingnya semua negara mendukung inisiatif kerja sama multilateral tentang vaksin.
Perjanjian internasional
Sebanyak 23 negara dan WHO mendukung ide membuat perjanjian internasional untuk menangani krisis kesehatan, termasuk pandemi Covid-19. Perjanjian itu akan memastikan akses vaksin yang adil dan obat-obatan serta diagnostik untuk pandemi yang diutarakan oleh Ketua Uni Eropa Charles Michel pada pertemuan G-20, November lalu.
Usulan perjanjian internasional itu mendapat dukungan resmi dari Fiji, Portugal, Romania, Inggris, Rwanda, Kenya, Perancis, Jerman, Yunani, Korea Selatan, Chile, Kosta Rika, Albania, Afrika Selatan, Trinidad-Tobago, Belanda, Tunisia, Senegal, Spanyol, Norwegia, Serbia, Indonesia, Ukraina, dan WHO. ”Akan ada pandemi atau darurat kesehatan lainnya. Tidak ada satu negara atau organisasi multilateral pun yang bisa menanganinya sendirian,” sebut para pemimpin dalam pernyataan tertulis.
Baca juga: Bocoran Laporan Penyelidikan WHO: Covid-19 Bukan dari Laboratorium
Tujuan utama perjanjian internasional itu untuk memperkuat ketahanan dunia pada pandemi di masa depan dengan memperbaiki sistem peringatan dini, berbagi data, penelitian, produksi dan distribusi vaksin, obat-obatan, dan diagnostik serta perlengkapan perlindungan diri. (REUTERS)