Asal-muasal Virus Penyebab Covid-19 Masih Perlu Penelitian Lanjutan
Asal-usul virus penyebab Covid-19 hingga kini masih menjadi misteri. Dalam laporannya, tim investigasi Organisasi Kesehatan Dunia mengatakan, diperlukan kajian lebih lanjut untuk mengetahuinya.
GENEVA, SELASA — Tim peneliti gabungan yang dibentuk Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO belum bisa memastikan asal-muasal virus SARS-CoV-2, penyebab penyakit Covid-19 yang meluluhlantakkan dunia. Butuh penelitian lebih jauh dan lebih mendalam soal strain virus SARS-CoV-2 yang juga ditemukan di binatang kelelawar, apakah hanya ada di Wuhan atau negara dan kawasan lain, terutama di wilayh Asia Timur dan Asia Tenggara, yang wilayahnya banyak ditemui sebagai habitat hewan nokturnal ini.
Meski belum memastikan asal-muasal virus ini, pemimpin tim investigasi WHO, Dr Peter Ben Embarek, dalam penjelasannya, Selasa (30/3/2021), mengatakan, tim berkeyakinan bahwa virus SARs-CoV-2 beredar secara sporadis di Wuhan pada November dan Desember, atau bahkan sebelumnya telah beredar sejak Oktober 2019.
Baca juga: Tim WHO Mencoba Satukan Kepingan Informasi Asal-usul Covid-19
”Kami tengah menyelidiki bagaimana virus ini beredar di Wuhan. Apakah virus ini berasal dari kota lain atau bagian lain di China membutuhkan studi lanjutan,” katanya.
Kesimpulan tersebut dicantumkan dalam naskah akhir laporan 17 peneliti China dan 17 peneliti internasional soal Covid-19. ”Tidak ada virus yang berhubungan dengan SARS-CoV-2 di laboratorium mana pun sebelum Desember 2019 ataupun kombinasi genom yang dapat terkait dengan genom SARS-CoV-2. Berdasarkan hal itu, (dugaan) laboratorium sebagai asal pandemi dipertimbangkan (sebagai skenario yang) sangat tidak mungkin,” demikian tertulis di naskah laporan itu.
Tim peneliti gabungan yang ditugaskan WHO itu menyimpulkan, kecelakaan penelitian seperti itu amat jarang. Laboratoratorium di Wuhan juga dikelola sangat baik.
Tim juga menduga kuat SARS-CoV-2 berasal dari kelelawar. Masalahnya, virus korona di kelelawar amat berbeda dengan SARS-CoV-2. Karena itu, diduga ada inang perantara antara kelelawar dan manusia. Rantai yang hilang itu belum diketahui dalam penelitian tim yang terdiri dari 17 pakar China dan 17 pakar internasional itu.
Sepanjang 2020 memang ada laporan SARS-CoV-2 ditemukan di sejumlah hewan lain, seperti sigung, yang diambil bulunya, serta kelinci yang diambil bulu dan dagingnya. Bahkan, peternakan sigung di sejumlah negara dilaporkan turut memicu wabah Covid-19. ”Penambahan jumlah hewan yang rentan terhadap SARS-CoV-2, termasuk yang diternakkan di tempat padat, memungkinkan penyebaran penyakit dari hewan,” demikian tertulis di laporan WHO.
Pasar Huanan
Hal lain yang belum jelas, apakah wabah pertama dipicu dari Pasar Huanan, Wuhan, seperti diduga selama ini. ”Tidak ada kesimpulan kuat tentang peran pasar Huanan dalam asal-usul wabah atau bagaimana infeksi dimulai dari pasar,” demikian lanjut laporan itu.
Dalam laporan itu ditulis, pandemi juga berkemungkinan tidak dimulai dari makanan beku. Dugaan itu, menurut Mark Woolhouse, epidemiologi University of Edinburgh, terlampau jauh. ”Tidak ada bukti penguat bahwa orang terinfeksi dari kemasan (makanan beku),” kata Woolhouse.
Baca juga: Bocoran Laporan Penyelidikan WHO: Covid-19 Bukan dari Laboratorium
Woolhouse menambahkan, mungkin saja asal Covid-19 tidak pernah teridentifikasi. Pakar China yang bergabung dengan tim WHO, Liang Wannian, berpendapat senada. Pelacakan asal virus amat rumit dan butuh waktu lama. Hal itu, antara lain, ditunjukkan dengan upaya pelacakan asal-usul ebola yang tidak kunjung terungkap setelah penelitian 40 tahun.
Tudingan
Laporan setebal 124 halaman yang juga diperoleh New York Times berisi banyak detail baru, tetapi tidak ada hal baru yang diteliti secara lebih mendalam. Dan, hal itu tidak banyak meredakan kekhawatiran tentang peran Partai Komunis China untuk menutupi bahkan membersihkan informasi yang berguna bagi tim investigasi WHO ini. Laporan tersebut juga tidak menjelaskan dengan jelas apakah China akan mengizinkan para ahli dari luar untuk terus menggali.
”Penyelidikan berisiko tidak ke mana-mana. Dan kita mungkin tidak akan pernah menemukan asal mula sebenarnya dari virus tersebut,” kata Yanzhong Huang, peneliti senior bidang kesehatan global pada Council on Foreign Relations.
Salinan awal laporan yang diperoleh New York Times menyatakan bahwa China masih belum memiliki data atau penelitian untuk menunjukkan bagaimana atau kapan virus mulai menyebar. Beberapa orang yang skeptis mengatakan bahwa China mungkin memiliki lebih banyak informasi daripada yang mereka akui.
Tim ahli juga menolak kemungkinan ”sangat tidak mungkin” bahwa virus muncul secara tidak sengaja dari laboratorium China meskipun beberapa ilmuwan mengatakan itu adalah pertanyaan penting untuk dijelajahi.
Pemerintah China, meskipun memberikan akses dan kerja sama pada tingkat tertentu, telah berulang kali mencoba mengalihkan penyelidikan untuk keuntungannya. Apalagi tim gabungan yang terdiri dari 17 ilmuwan yang ditunjuk WHO dan 17 ilmuwan China banyak di antaranya memegang posisi resmi atau bekerja di lembaga yang dikelola pemerintah memberikan pengaruh besar bagi Beijing atas kesimpulannya.
Ilmuwan Tiongkok menyediakan semua data penelitian yang digunakan dalam laporan tersebut, sementara ilmuwan asing meninjaunya dan mewawancarai peneliti, dokter, dan pasien Tiongkok. Tidak jelas apakah tim yang dipilih oleh WHO mencari akses ke data lain atau izin untuk mengumpulkan lebih banyak.
Baca juga: Wajah Wuhan dan Misteri Satu Tahun Pandemi Korona
”Kami sangat prihatin tentang metodologi dan proses yang masuk ke dalam laporan itu, termasuk fakta bahwa pemerintah di Beijing tampaknya membantu menulisnya,” kata Menteri Luar Negeri Antony J Blinken dalam wawancara dengan CNN, Minggu (29/3).
Sikap meragukan AS terhadap laporan itu dibalik oleh Beijing yang mempersoalkan kemungkinan ada kebocoran pada pusat penelitian senjata biologis AS di Maryland. Tudingan itu disampaikan oleh Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian.
”Kapan AS akan seterbuka dan setransparan China soal epidemi dan pelacakan asalnya? Kapan tim WHO diundang ke AS untuk meneliti asal-usul? Kapan laboratorium Fort Detrick dibuka untuk peneliti internasional,” ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Zhao Lijian. Tudingan ada rekayasa dalam pembuatan laporan dan peneltian oleh tim investigasi, menurut Zhao, memberikan tekanan tambahan kepada tim yang dibentuk WHO.
Ia menegaskan, China adalah pihak pertama yang melaporkan epidemi kepada WHO. Informasi lain terkait pandemi ini juga pertama kali dilaporkan Beijing. ”Otoritas di Wuhan menerima pasien pertama pada 27 Desember 2019 dan pada 3 Januari 2020, China mulai menginformasikan kepada AS tentang epidemi dan langkah pencegahannya. Sejak itu, China selalu menginformasikan AS dan terus berkomunikasi,” ujar Zhao.
Kerja sama baru
Beberapa jam sebelum pengumuman resmi tentang asal-muasal virus SARS-CoV-2, sebanyak 24 kepala pemerintahan sepakat menyerukan ada perjanjian internasional baru untuk memerangi pandemi di masa depan dengan lebih baik dan terkoordinasi.
”Bersama-sama, kita harus lebih siap untuk memprediksi, mencegah, mendeteksi, menilai, dan merespons pandemi secara efektif dengan cara yang sangat terkoordinasi,” desak mereka dalam pernyataan bersama. Seruan ini juga menginginkan agar dunia membangun arsitektur kesehatan global yang lebih kuat yang bisa melindungi generasi masa depan.
Berkaca pada pengalaman pandemi Covid-19 global, warga dunia diingatkan bahwa tidak ada satu orang pun aman sampai semua orang aman.
Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus mendesak dunia untuk tidak membuang waktu untuk mempersiapkan yang berikutnya. ”Saatnya untuk bertindak sekarang. Dunia tidak bisa menunggu sampai pandemi selesai untuk mulai merencanakan yang berikutnya,” kata Tedros.
Sementara Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Antonio Guterres menyerukan agar negara-negara kaya memberikan lebih banyak keringan utang bagi negara miskin yang tengah berjuang mengatasi pandemi dan juga kemerosotan ekonomi mereka. Dia mendesak ”mekanisme utang baru” yang memungkinkan opsi seperti pertukaran utang, pembelian kembali, atau bahkan pembatalan untuk membantu negara-negara yang lebih miskin.
Berbicara di forum daring yang mencakup puluhan pemimpin dunia, dia mengatakan bahwa pandemi telah mendorong dunia ke ambang krisis utang dan membutuhkan tindakan segera. ”Kita perlu mengubah aturan,” ucapnya.
Baca juga: Menjalin Kerja Sama Global
Tidak hanya negara miskin yang bergelut dengan pandemi, beberapa negara kaya di Eropa kini tengah berjuang untuk mengatasi gelombang baru infeksi Covid-19.
Wakil Menteri Kesehatan Rusia Tatiana Semyonova, dikutip dari kantor berita TASS, mengatakan, meski 4,3 juta penduduk dari sekitar 145 juta warga Rusia telah menjalani vaksinasi dan beberapa daerah sudah melonggarkan pembatasan sosial, data kasus menunjukkan ada kemungkinan gelombang baru infeksi di negara itu.
Dalam 24 jam terakhir, otoritas kesehatan Rusia melaporkan 8.277 kasus virus korona baru, termasuk 1.291 kasus penularan baru di ibu kota Moskwa. Negara itu juga melaporkan 409 kematian, meningkatkan jumlah resmi menjadi 98.442.
Baca juga: Covid-19 dan Aksi Global bagi Penguatan Arsitektur Kesehatan Global
”Sayangnya, tingkat kejadian dan perkembangan penyakit memungkinkan kita untuk berbicara tentang gelombang ketiga infeksi virus korona,” kata Wamenkes Semyonova,
Pemerintah Italia menyatakan akan kembali memberlakukan karantina lima hari terhadap para pelancong yang berasal dari negara anggota UE. Pemerintah Jerman memutuskan memperketat pemeriksaan di perbatasan mereka, memastikan para pelancong yang datang ke negara itu itu tidak membawa virus. Meningkatnya jumlah kasus di Jerman membuat Kanselir Angela Merkel mengecam kepala negara bagian, termasuk rekan partainya sendiri, karena gagal memberlakukan kembali pembatasan.
Di Perancis, Presiden Emmanuel Macron kemungkinan besar akan mengumumkan langkah baru untuk mengatasi laju infeksi setelah karantian sebagian wilayah gagal.
Sementara di Papua Niugini, tetangga Indonesia, pemerintah menyulap sebuah pusat kegiatan olahraga menjadi rumah sakit darurat untuk merawat pasien Covid-19 yang terus bertambah di negara miskin itu. Kekurangan perawat dan dokter semakin menekan sistem di bawah tekanan.
”Kami memiliki perawat dan dokter yang menangis saat ini, bekerja sif malam/sif siang berturut-turut,” kata Matt Cannon, Kepala Eksekutif St John Ambulance Papua Niugini. (AFP/Reuters)