Deklarasi yang ditandatangani pemerintah transisi Sudan dan Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan Sektor Utara menegaskan pemisahan agama dan negara, netralitas negara dalam urusan agama, dan kebebasan beragama di Sudan.
Oleh
Musthafa Abd Rahman, dari Kairo, Mesir
·3 menit baca
KAIRO, KOMPAS -- Pemerintah transisi Sudan dan salah satu faksi pemberontak utama, Gerakan Pembebasan Rakyat Sudan Sektor Utara atau SPLM-N pimpinan Abdelaziz al-Hilu, Minggu (28/3/2021) waktu Juba, ibu kota Sudan Selatan, menandatangani deklarasi prinsip yang menegaskan, Sudan sebagai negara sekuler.
Deklarasi juga menegaskan, pemisahan agama dan negara, netralitas negara dalam urusan agama, jaminan kebebasan beragama, dan negara tidak mengadopsi satu agama tertentu sebagai agama resmi negara itu.
Dalam konteks pemerintahan, deklarasi prinsip itu menegaskan, kesepakatan menerapkan pemerintah otonomi di wilayah-wilayah Sudan di bawah payung negara federal dan membentuk satu badan militer yang mencerminkan keberagaman Sudan. Deklarasi tersebut akan menjadi pijakan perundingan damai antara pemerintah transisi dan SPLM-N yang dimulai bulan depan.
Sebelumnya, pada 3 Oktober 2020 di Juba, pemerintah transisi Sudan juga menandatangani kesepakatan damai dengan beberapa kelompok pemberontak yang tergabung Front Revolusi Sudan (SRF) dengan deklarasi prinsip bahwa Sudan sebagai negara sekuler. SRF adalah gabungan kelompok oposisi bersenjata dari Darfur, Kordofan selatan, dan Nil Biru.
Pasca-kesepakatan damai dengan SRF dan SPLM-N, kini hanya tinggal satu kelompok oposisi bersenjata yang belum mencapai kesepakatan damai dengan pemerintah transisi Sudan, yakni Gerakan Pembebasan Sudan (SLM) pimpinan Abdelwahid Mohamed al-Nour. Pemerintah transisi diberitakan masih membujuk SLM agar bersedia menandatangani kesepakatan damai mengikuti jejak faksi-faksi oposisi bersenjata yang terdahulu.
Ketua SPLM-N Abdelaziz al-Hilu mengatakan, deklarasi prinsip itu akan memberi kebebasan beragama dan menjamin hak asasi manusia di Sudan. Presiden pemerintah transisi Sudan, Letjen Abdel Fattah al-Burhan, mengatakan, penandatanganan deklarasi prinsip merupakan awal hakiki dari masa transisi di Sudan.
Sipil demokratis
Deklarasi prinsip yang telah disepakati semakin meneguhkan bahwa Sudan, setelah penggulingan rezim Presiden Omar Hassan al-Bashir pada 11 April 2019, memutuskan untuk menuju negara sekuler. Keputusan itu adalah berpijak pada deklarasi konstitusi yang disepakati pemerintah transisi Sudan pada 4 Juli 2019 bahwa Sudan sebagai negara sipil demokrasi.
Pemerintah transisi Sudan yang dibentuk pada 15 Mei 2019 adalah gabungan dari sipil (Koalisi Kekuatan untuk Kebebasan dan Perubahan/FFC) dan dewan transisi militer (TMC). Tugas utama pemerintah transisi untuk enam bulan pertama ialah menciptakan perdamaian, menghentikan perang, dan menandatangani kesepakatan damai. Pemerintah transisi yang mendapat mandat tugas selama 39 bulan dipimpin secara bergantian antara militer dan sipil. Pihak militer mendapat giliran pertama memimpin pemerintah transisi yang kini dipegang Letnan Jenderal Abdel Fattah al-Burhan.
Di bawah kepemimpinan Al-Burhan, Sudan secara mengejutkan berjalan berbalik arah dibanding era Al-Bashir. Sudan di bawah Al-Bashir dikenal konservatif dan cenderung anti-Barat. Bahkan, Sudan ditetapkan sebagai pendukung teroris karena Al-Bashir pada awal 1990-an menampung Pemimpin Tanzim Al Qaeda Osama bin Laden.
Sudan pada era Al-Burhan cenderung pro-Barat. Bahkan, ia melakukan revolusi dalam kebijakan luar negeri dengan menandatangani kesepakatan damai dengan Israel pada Oktober 2020. Sudan kini masuk dalam forum Abraham Accord, bersama sejumlah negara Arab (Uni Emirat Arab, Bahrain, dan Maroko) menandatangani kesepakatan damai dengan Israel. Sebagai imbalannya, AS mencabut Sudan dari daftar negara pendukung teroris.
Di dalam negeri, Al-Burhan melakukan revolusi dengan menandatangani kesepakatan damai dengan banyak faksi oposisi bersenjata dengan berpijak para prinsip Sudan negara sekuler. Al-Burhan dan pemerintah transisi yakin pembangunan hanya bisa dilakukan jika perang saudara berakhir dan hubungan dengan semua negara dibangun.
Al-Burhan juga menginginkan Sudan lebih diterima di Barat dengan cara menampilkan Sudan sebagai negara moderat.